Search This Blog

Wednesday, December 18, 2013

The Emerald Atlas (Buku-Buku Permulaan)



Judul : The Emerald Atlas (Buku-Buku Permulaan)
Pengarang : John Stephens
Penerjemah : Poppy D. Chusfani
Cetakan: 1, Juli 2011
Tebal : 480 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama



12403507


                Ribuan tahun yang lalu, kaum penyihir benar-benar ada di Bumi ini. Mereka tinggal dan berinteraksi dengan manusia biasa, mendirikan kota-kota purba, kerajaan-kerajaan tua, dan dewan-dewan penyihir yang sangat berkuasa. Tetapi, sihir akhirnya kalah dengan jumlah manusia yang terus bertambah dan berkembang biak. Lambat laun, para penyihir mulai tersingkir dan terdesak oleh manusia biasa sehingga komunitas sihir pun memutuskan untuk menutup dunia mereka dari pandangan dan pengetahuan manusia biasa. Beberapa pulau dan bagian benua menghilang dari peta dunia, menghilang dibalik tabir sihir tak kasat mata yang membawa serta wilayah-wilayah manusia di sekitarnya. Untuk melestarikan sihir, dewan sihir kuno memutuskan untuk mengumpulkan seluruh pengetahuan tentang sihir dalam sebuah kitab. Tapi, karena sangat berbahaya—bahkan bagi seorang penyihir—untuk memegang kekuatan sedahsyat itu sendirian, maka diputuskan untuk menyimpan seluruh pengetahuan itu dalam tiga kitab sihir. Ketika pasukan Alexander Agung menyerang Iskandariah ribuan tahun lampau, dewan penyihir memutuskan untuk menyembunyikan kitab-kitab tersebut. 


                Kate, Michael, dan Emma adalah tiga bersaudara yatim piatu yang menghabiskan tahun-tahun awal kehidupan mereka berpindah-pindah dari satu panti asuhan ke panti asuhan yang lain. Kecuali Kate, mereka tidak tahu bagaimana rupa dan siapa orang tua mereka. Hanya ada inisial P di belakang nama ketiganya. Tapi, satu hal yang pasti, ketiganya percaya bahwa orang tua mereka masih hidup dan kelak mereka pasti akan dipertemukan kembali. Petualangan besar telah menanti di depan, dan terbukti bahwa ketiga anak ini bukanlah 3 anak biasa ketika mereka tiba di sebuah kota terpencil yang tidak ada dalam peta, Cambridge Falls—sebuah kota tersihir yang terlindungi dari dunia luar. Di kota inilah ketiganya menemukan sebuah buku kuno yang entah bagaimana bisa membawa mereka melintasi waktu kembali ke Cambridge Falls di masa lampau. Ketiganya tidak mengetahui bahwa mereka baru saja menemukan kitab Atlas Emerald, salah satu dari tiga Kitab-Kitab Permulaan.


                Terlempar ke masa lampau, mereka mendapati kota itu berada di bawah penguasaan seorang Countess keji yang pandai menyihir. Ia menyandera anak-anak di kota itu, kemudian menjadikannya sebagai tawanan agar para pria dan lelaki di kota itu mau menggali gunung demi menemukan sebuah artefak sihir yang sangat kuat. Tanpa sengaja, Michael jatuh ke tangan sang penyihir sehingga Kate dan Emma harus bahu-membahu menyelamatkannya. Bermula dari upaya menyelamatkan saudaranya, petualangan mereka ternyata lebih dahsyat, kota itu membutuhkan bantuan dari ketiga anak tersebut. Dari yang semula anak-anak yatim piatu tak berdaya, ketiganya  harus berlomba dengan sang Countess yang dipersenjatai dengan makluk-makluk mengerikan: penjerit hingga para entitas kuno yang hanya berkeliaran di perut bumi. Belum lagi para kurcaci yang tidak dapat ditebak dan diduga. Dan, ketika akhirnya tiba, warga kota Cambridge Falls sadar bahwa inilah saat untuk bersatu dan melawan tirani sang Countess. Dan baik Kate, Michael, serta Emma pun terlibat dalam sebuah petualangan melawan kejahatan yang akan mempengaruhi masa depan mereka, seterusnya.


                The Atlas Emerald dari segi cerita mirip dengan seri Narnia, The Lion, the Witch,  and the Wardrobe. Mengangkat kisah tentang 3 bersaudara/ri yang terlempar ke dunia lain dan mengalami petualangan besar di sana. Satu hal yang membedakan, penulis menggunakan tema sihir dalam porsi yang lebih banyak dalam buku ini ketimbang yang bisa kita temukan pada seri Narnia. Petualangan di dalam buku ini bisa dibilang “ramah” dan tidak terlalu dark, cocok dibaca remaja 10 tahun ke atas. Adegan pertempurannya agak nanggung menurut saya, kurang epik kalau boleh dibilang. Tetapi karena ada embel-embel “buku” (saya suka sekali buku-buku yang berkisah tentang buku), maka jadilah buku ini salah satu koleksi yang must-read. Dari segi terjemahan, seperti biasa, mbak Poppy memang tak pernah mengecewakan. Hanya saja, saya belum menemukan ciri khas Mbak Poppy dalam penerjemahan buku ini. Belum tampak keberanian atau sedikit dinamisasi terjemahan sebagaimana yang biasa kita temukan dalam terjemahan beliau. Tapi, secara garis besar, proses penerjemahannya berhasil dan sangat bisa dinikmati. Untuk cover, saya suka warnanya tapi tidak suka formatnya.




No comments:

Post a Comment