Search This Blog

Wednesday, October 30, 2013

The White Tiger

Judul : The White Tiger
Pengarang : Aravind Adiga
Penerjemah : Rosemary K
Editor : Benedicta RW
Cetakan : 1, 2010 (352 hlm)
Penerbit : Sheila (Penerbit Andi)


http://mauritia.files.wordpress.com/2010/05/eg4gpk.jpg


                Setiap tahunnya, India menghasilkan entrepreneur-enterprenuer dalam jumlah ribuan. Negeri ini tengah bangkit dengan orang-orang kalangan kelas bawah yang naik ke kelas menengah yang kemudian menjadi penopang utama kemajuan negeri ini. Tetapi, meski taraf kehidupan meningkat, hal itu tidak disertai dengan peningkatan sikap, perilaku, wawasan, pandangan, atau keyakinan atas tradisi yang begitu dipegang erat di India. Banyak di antara entrepreneur itu yang kemudian sukses tetapi kehidupannya masih diwarnai nilai-nilai lamanya. Seorang kasta rendahan tetaplah dianggap kasta rendahan oleh kasta yang atas. Di lain pihak, banyak yang masih memandang kesuksesan semata dari jas atau pakaian necisnya, tanpa memandang isi dompetnya (terlepas apakah isi dompetnya itu didapat secara halal atau haram). Banyak di antara entrepreneur itu yang kemudian sukses tetapi kehidupannya seolah tidak beranjak dari plane yang sama. Untunglah, setiap tahun ada 1 macan putih yang lahir dari para entrepreneur  ini. Ia begitu spesial karena ia adalah yang merdeka dan bebas, yang menggorok leher majikannya sendiri.

                The White Tiger menggunakan sudut penceritaan yang unik. Buku ini disusun sebagai email bersambung yang dikirimkan oleh Balram kepada Perdana Menteri Cina Wen Jiabao. Ditulis berturut-turut dalam tujuh malam, dalam email itu Balram mengisahkan bagaimana kisah hidupnya sejak dari kecil hingga ia akhirnya menjadi seorang entrepreneur yang membunuh majikannya sendiri padahal majika itu telah begitu baik. Lahir dari seorang keluarga pembuat gula-gula, ayah Balram terpaksa bekerja di pertambangan batu bara. Desa mereka yang miskin berada di bawah cengkeraman dinasti keluarga pemilik tambang batu bara yang lintah darat, mengisap potensi alam dan rakyatnya sampai habis. Lebih parah lagi, warga desa rata-rata tidak berpendidikan. Mereka besar-menikah-menggantikan pekerjaan ayahnya-lalu meninggal dengan tubuh kurus kering kena TBC. Keindahan dalam kehidupan mereka seolah hanya menikah dan memiliki anak, juga keluarga. Selain itu, hampir-hampir tidak ada. Bahkan melihat kota besar pun ibarat mimpi.

                Balram beruntung terlahir sebagai anak yang cerdas sehingga ia disekolahkan. Pendidikan pula yang membuat ia tidak ingin berakhir menjadi seperti ayahnya yang akhirnya meninggal karena TBC, kecapekan menanggung hidup. Ia memutuskan untuk pergi ke kota dan menjadi sopir. Beruntunglah dia karena menemukan majikan seperti Tuan Ashok yang baru lulus dari Amerika. Cara-cara Amerika telah menjadikan Ashok majikan yang jauh lebih manusiawi ketimbang majikan-majikan lain di India. Dan, Balram merasa begitu bersyukur karena itu. Tetapi, sudah menjadi fakta bahwa kepribadian dan watak yang sudah tertanam sejak kecil adalah sesuatu yang sangat sulit diubah. Ashrok adalah seorang kerabat tuan tanah maka masih tersisa secuil jiwa tuan tanah dalam dirinya. Balram yang seorang kasta rendahan, akhirnya tetap saja menjadi kasta rendahan meskipun ia telah menjadi pengusaha sukses. Melalui buku ini, kita akan disuguhi bagaimana India memandang dirinya sendiri seperti apa adanya. Pandangan yang jujur dan kelewat sarkartis dari sudut pandang seorang kasta rendahan.

                Kemajuan yang datang terlalu cepat kadang tidak diimbangi dengan kesiapan batin. Begitu pula, kemajuan itu lebih sering menampakkan istana megah di luar, tetapi bagian dalamnya adalah perumahan kumuh. Jomplangitas antara kedua sisi inilah yang sepertinya hendak digambarkan oleh The White Tiger.  Sejak awal, buku ini sudah dipenuhi oleh sarkartisme terhadap India. Tentang agamanya, tentang kehidupan rakyat miskinnya, dan terutama tentang kondisi politik dan perilaku orang-orangnya. Banyak yang bilang buku ini bikin enek saat membacanya karena terlampau banyaknya sindiran atau sarkasme yang seolah tanpa henti digelontorkan sang penulis. Memang, semua itu benar adanya dan sekaligus bisa menjadi refleksi bagi pemerintah dan rakyat (tidak hanya di India) di seluruh dunia. Penulisan  buku ini dan penghargaan Man Booker Prize yang didapat merupakan bukti betapa karya ini memang jujur memotret fenomena di luar sana apa adanya. Fenomena yang jika saja kita mau berhenti sebentar dan ikut menenggok, memang benar adanya. Hanya saja, seluruh sarkasme dalam buku ini terlalu banyak dan susul-menyusul, apalagi dikisahkan dari sudut pandang orang dari kasta bawah yang pandangan hidupnya penuh sinisme serta diliputi dengan peristiwa-peristiwa keseharian yang memang begitu muram—walau dia menceritakannya dengan sudut pandang ceria alias ceria yang sarkastis. Kesimpulannya: ini buku yang jujur, tetapi terlalu sarkartis!

                Buku yang hebat karena kejujurannya, tapi sangat sarkartis sehingga saya tidak tega mengambil kutipan-kutipan hebat tapi sarkartis dalam buku ini. Tapi, kalau harus memilih satu, saya sangat suka dengan kutipan ini:

                “Saya berjalan di antara buku-buku dan menghirup aromanya: rasanya bagai oksigen setelah aroma apak rumah bordil.
 
(hlm 275)

                

5 comments:

  1. woww...kayaknya bukunya menantang deh :) udah beberapa org yg bilang buku ini sarkastis banget, jadi penasaran...terjemahannya baguskah?

    ReplyDelete
  2. Buku fav aku nih Dion!! *maklum penggemar sinisme sarkasme* hihihi..

    ReplyDelete
  3. Hahaha.. Dion spaneng ya baca ini XD
    Sama kayak teh Nisa, aku juga suka bahasa sarkasme, wekekek

    ReplyDelete
  4. Ada kata "Jomplangitas" hahahaha
    Dari dulu tuh udah sering liat buku ini, tapi aku selalu ngira itu buku semacam chiklit or teenlit dan kupikir yg nulis org indonesia tuh. Eh ternyata buku bagus..harus baca nih

    ReplyDelete