Judul :
The White Tiger
Pengarang
: Aravind Adiga
Penerjemah
: Rosemary K
Editor :
Benedicta RW
Cetakan :
1, 2010 (352 hlm)
Penerbit
: Sheila (Penerbit Andi)
Setiap
tahunnya, India menghasilkan entrepreneur-enterprenuer
dalam jumlah ribuan. Negeri ini tengah bangkit dengan orang-orang kalangan
kelas bawah yang naik ke kelas menengah yang kemudian menjadi penopang utama
kemajuan negeri ini. Tetapi, meski taraf kehidupan meningkat, hal itu tidak
disertai dengan peningkatan sikap, perilaku, wawasan, pandangan, atau keyakinan
atas tradisi yang begitu dipegang erat di India. Banyak di antara entrepreneur itu yang kemudian sukses
tetapi kehidupannya masih diwarnai nilai-nilai lamanya. Seorang kasta rendahan tetaplah dianggap kasta
rendahan oleh kasta yang atas. Di lain pihak, banyak yang masih memandang
kesuksesan semata dari jas atau pakaian necisnya, tanpa memandang isi dompetnya
(terlepas apakah isi dompetnya itu didapat secara halal atau haram). Banyak di
antara entrepreneur itu yang kemudian
sukses tetapi kehidupannya seolah tidak beranjak dari plane yang sama. Untunglah, setiap tahun ada 1 macan putih yang
lahir dari para entrepreneur ini. Ia begitu spesial karena ia adalah yang
merdeka dan bebas, yang menggorok leher majikannya sendiri.
The White Tiger menggunakan sudut
penceritaan yang unik. Buku ini disusun sebagai email bersambung yang
dikirimkan oleh Balram kepada Perdana Menteri Cina Wen Jiabao. Ditulis
berturut-turut dalam tujuh malam, dalam email itu Balram mengisahkan bagaimana
kisah hidupnya sejak dari kecil hingga ia akhirnya menjadi seorang entrepreneur yang membunuh majikannya
sendiri padahal majika itu telah begitu baik. Lahir dari seorang keluarga
pembuat gula-gula, ayah Balram terpaksa bekerja di pertambangan batu bara. Desa
mereka yang miskin berada di bawah cengkeraman dinasti keluarga pemilik tambang
batu bara yang lintah darat, mengisap potensi alam dan rakyatnya sampai habis.
Lebih parah lagi, warga desa rata-rata tidak berpendidikan. Mereka
besar-menikah-menggantikan pekerjaan ayahnya-lalu meninggal dengan tubuh kurus
kering kena TBC. Keindahan dalam kehidupan mereka seolah hanya menikah dan
memiliki anak, juga keluarga. Selain itu, hampir-hampir tidak ada. Bahkan
melihat kota besar pun ibarat mimpi.
Balram
beruntung terlahir sebagai anak yang cerdas sehingga ia disekolahkan.
Pendidikan pula yang membuat ia tidak ingin berakhir menjadi seperti ayahnya
yang akhirnya meninggal karena TBC, kecapekan menanggung hidup. Ia memutuskan
untuk pergi ke kota dan menjadi sopir. Beruntunglah dia karena menemukan
majikan seperti Tuan Ashok yang baru lulus dari Amerika. Cara-cara Amerika
telah menjadikan Ashok majikan yang jauh lebih manusiawi ketimbang
majikan-majikan lain di India. Dan, Balram merasa begitu bersyukur karena itu. Tetapi,
sudah menjadi fakta bahwa kepribadian dan watak yang sudah tertanam sejak kecil
adalah sesuatu yang sangat sulit diubah. Ashrok adalah seorang kerabat tuan
tanah maka masih tersisa secuil jiwa tuan tanah dalam dirinya. Balram yang
seorang kasta rendahan, akhirnya tetap saja menjadi kasta rendahan meskipun ia
telah menjadi pengusaha sukses. Melalui buku ini, kita akan disuguhi bagaimana
India memandang dirinya sendiri seperti apa adanya. Pandangan yang jujur dan
kelewat sarkartis dari sudut pandang seorang kasta rendahan.
Kemajuan
yang datang terlalu cepat kadang tidak diimbangi dengan kesiapan batin. Begitu
pula, kemajuan itu lebih sering menampakkan istana megah di luar, tetapi bagian
dalamnya adalah perumahan kumuh. Jomplangitas antara kedua sisi inilah yang sepertinya
hendak digambarkan oleh The White
Tiger. Sejak awal, buku ini sudah
dipenuhi oleh sarkartisme terhadap India. Tentang agamanya, tentang kehidupan
rakyat miskinnya, dan terutama tentang kondisi politik dan perilaku
orang-orangnya. Banyak yang bilang buku ini bikin enek saat membacanya karena terlampau banyaknya sindiran atau
sarkasme yang seolah tanpa henti digelontorkan sang penulis. Memang, semua itu
benar adanya dan sekaligus bisa menjadi refleksi bagi pemerintah dan rakyat
(tidak hanya di India) di seluruh dunia. Penulisan buku ini dan penghargaan Man Booker Prize
yang didapat merupakan bukti betapa karya ini memang jujur memotret fenomena di
luar sana apa adanya. Fenomena yang jika saja kita mau berhenti sebentar dan
ikut menenggok, memang benar adanya. Hanya saja, seluruh sarkasme dalam buku
ini terlalu banyak dan susul-menyusul, apalagi dikisahkan dari sudut pandang
orang dari kasta bawah yang pandangan hidupnya penuh sinisme serta diliputi
dengan peristiwa-peristiwa keseharian yang memang begitu muram—walau dia
menceritakannya dengan sudut pandang ceria alias ceria yang sarkastis.
Kesimpulannya: ini buku yang jujur, tetapi terlalu sarkartis!
Buku
yang hebat karena kejujurannya, tapi sangat sarkartis sehingga saya tidak tega
mengambil kutipan-kutipan hebat tapi sarkartis dalam buku ini. Tapi, kalau
harus memilih satu, saya sangat suka dengan kutipan ini:
“Saya berjalan di antara buku-buku dan
menghirup aromanya: rasanya bagai oksigen setelah aroma apak rumah bordil.
(hlm 275)
(hlm 275)
woww...kayaknya bukunya menantang deh :) udah beberapa org yg bilang buku ini sarkastis banget, jadi penasaran...terjemahannya baguskah?
ReplyDeleteBuku fav aku nih Dion!! *maklum penggemar sinisme sarkasme* hihihi..
ReplyDeleteHahaha.. Dion spaneng ya baca ini XD
ReplyDeleteSama kayak teh Nisa, aku juga suka bahasa sarkasme, wekekek
nyahahahha. buku epik bulan ini XD
ReplyDeleteAda kata "Jomplangitas" hahahaha
ReplyDeleteDari dulu tuh udah sering liat buku ini, tapi aku selalu ngira itu buku semacam chiklit or teenlit dan kupikir yg nulis org indonesia tuh. Eh ternyata buku bagus..harus baca nih