Judul : The Apuila’s Child
Pengarang : Ruwi Meita
Editor : Ainini M.
Tata cetak : Fitri Raharjo
Sampul : Agus
Cetakan: 1, September 2013
Penerbit : De Teens
Adalah sebuah tantangan yang tidak mudah untuk bisa membuat
sebuah novelet fantasi dengan jumlah
halaman kurang dari 130. Dalam hal ini, penulis dituntut untuk bisa meringkas
sekaligus menyempurnakan sebuah cerita, tanpa banyak plot holes yang bertebaran di sana-sini, sekaligus tetap bisa
memberikan hiburan bagi pembaca. Ajang #fikfanDIVA yang resmi berakhir April
2013 kemarin telah menyisakan tujuh naskah yang layak terbit, dan The Apuila’s Child adalah naskah yang
meraih juara pertama dalam event penulisan novelette fantasi tersebut.
The Apuila’s Child benar-benar membawa
sesuatu yang baru dari segi cerita. Penulis mampu mengkaitkan antara Letusan
Krakatau tahun 1883 dan Letusan Merapi tahun 2010 dengan kisah tentang anak
malaikat yang terbuang. Kisah-kisah fantasi tentang para keturunan nephilim atau malaikat yang terbuang ke
Bumi mungkin sudah sering kita jumpai di jagat fiksi fantasi luar, tapi untuk
di Indonesia sejauh ini saya baru menjumpainya di novelette ini. Dan,
kepiawaian Ruwi Meta benar-benar terbukti ketika naskah fantasi yang
barat-sentris ini ternyata minim sekali suasana Baratnya. Nama-nama yang
digunakan juga asli nama lokal, bahkan setting lokasinya pun di Jogja. Inilah
beberapa yang membuat naskah ini begitu istimewa.
Tentang
konsep cerita, The Apuila’s Child berkisah
tentang keturunan para Apuila atau malaikat yang jatuh ke Bumi. Karena berbagai
sebab, salah satunya cinta, sejumlah malaikat rela memotong sayapnya agar ia
bisa tinggal di Bumi. Mereka kemudian menikah dengan manusia biasa, dan
menurunkan ras campuran yang disebut donahue.
Kaum Donahue
ini bisa berumur panjang melebihi rata-rata manusia biasa, tapi pada usia
1.000 tahun ia akan disebut alok. Donahue
Rubi adalah salah satu anak Apuila yang mengabdikan diri untuk merawat
anak-anak yang kurang beruntung. Usianya hampir 200 tahun tetapi ia masih
sesegar gadis remaja. Dalam persinggahannya di dunia manusia, ia bertemu dengan
Oren, sosok anak kecil yang karena masa lalunya yang pahit membuatnya “bisu”.
Ia juga menemukan Kemuning, seorang anak Apuila dengan emosi yang
meledak-ledak.
Seorang
anak Apuila memiliki 12 jari, 4 jari tambahan ini disebut silandil dan merupakan “tombol” kekuatan mereka. Mereka mampu
mengeluarkan kabut gaib yang dapat dimanipulasi menjadi hampir apapun di alam
roh, bahkan bisa untuk mengambil sesuatu dari masa lalu menggunakan serbuk
waktu. Sayangnya, seorang anak Apuila akan selalu terancam oleh keberadaan
kelompok Apulia hitam yang berupaya menguasai dunia. Untungnya, ada pasukan balin pimpinan Ganendra yang menghalangi
mereka. Ganedra juga membuat ramalah tentang terjadinya petaka di ulang tahun
ke -1000 seorang anak apuila, yang jatuh tepat pada saat Merapi meletus tahun
2010. Donanhue Rubi pun bahu membahu bersama Oren dan Kemuning, serta berbagai
makhluk ajaib untuk menangkal ramalan buruk tersebut. Namun, muncul musuh
baru dari sisi yang tidak diduga-duga.
Berhasilkah mereka menyelamatkan dunia dari letusan selanjutnya? Bacalah di
buku yang tipis namun seru ini.
Satu
hal yang kurang dari buku ini adalah kurang
tebal. Ada banyak sekali hal yang hilang (atau memang terpaksa dihilangkan)
demi mengenapi syarat halaman yang hanya 130 halaman. Sekiranya boleh
dipertebal, pasti kisah tentang anak-anak Apuila ini akan benyak menghadirkan sisi-sisi lain yang
menarik dari sosok Donahue Rubi, Kemuning, dan juga Oren. Walau tipis, penulis
juga mampu membangun karakter-karakter utamanya dengan cukup kuat. The Apuila’s Child benar-benar
membuktikan bahwa penulisnya telah berpengalaman dalam dunia tulis-menulis.
Semoga, penulis berkenan menulis versi yang lebih tebal dan lebih lengkap dari
kisah fantasi ini.
masuk list~! :)
ReplyDelete