Search This Blog

Monday, September 2, 2013

86

Judul     : 86
Pengarang          : Okky Madasari
Sampul                 : Restu Ratnaningtyas
Cetakan               : pertama, Maret 2011
Tebal                     :  252 halaman
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama

86

                Cerita yang bagus bukanlah cerita yang sok mengurui, tapi mendidik dengan cara menunjukkan. Dan, itulah yang dengan begitu piawai telah dilakukan oleh Okky Madadari melalui novel 86 ini. Setelah sukses merebut perhatian masyarakat luas dengan novel Entrok-nya, penulis yang juga berlatar belakang dunia jurnalistik ini kembali menelurkan sebuah karya yang ditulis berdasarkan sebuah fenomena  negatif yang tampaknya sudah begitu mengejala di negara kita: KORUPSI. Tulisannya selalu khas, bercirikan sederhana namun menangkap apa-apa yang nyata. Gejala dan kebiasaan manusia yang sering kita jumpai dalam keseharian mampu ia angkat kembali dan disuguhkan ke hadapan pembaca dalam sebuah prosa yang mencerahkan.

                Novel 86 berkisah tentang tema besar korupsi, juga kong kalingkong alias suap-menyuap yang rupanya sudah mengakar kuat di berbagai sendi kehidupan bangsa ini. Arimbi yang bekerja sebagai juru ketik di sebuah pengadilan tinggi negeri di Jakarta menjalani hari-hatinya dengan begitu biasa, dengan begitu polos. Berangkat pagi dan pulang malam, naik angkot dan terjebak kemacetan, menjadi saksi tidurnya para hakim yang mulia terhormat saat tengah sidang, dan hidupnya tetap begitu-beitu saja, tidak ada yang istimewa. Seperti anak-anak muda mapan Jakarta, Arimbi senang-senang saja dengan hidupnya yang bak robot. Namun, mana ada sih orang yang benar-benar bisa dibiarkan dengan urusannya sendiri di negeri ini? Masyarakat kita adalah masyarakat yang ingin tahu, sayangnya keingintahuan itu seperti bukan pada tempatnya. Bukannya sibuk ingin tahu dalam hal ilmu pengetahuan, kita malah sibuk  ingin tahu dengan urusan orang: siapa pacaran sama siapa, kapan nikahnya si A, mengapa si B selalu pulang malam, dan lain-lain sejenisnya

Salah satu keingintahuan itu adalah pertanyaan dari keluarga tentang kapan Arimbi mencari pasangan hidup. Ia juga sering dibanding-bandingkan dengan  si A yang anaknya sukses setelah jadi lurah atau pegawai kelurahan, sementara Arimbi yang bekerja sebagai PNS di Jakarta hanya begitu-begitu saja hidupnya, rumah pun masih mengontrak. Gaji 2,5 juta tampaknya ngepas sekali untuk hidup di Jakarta, hingga secara perlahan Arimbi yang polos pun mulai bertanya-tanya mengapa dirinya tidak bisa seperti Anisa (teman sebelahnya yang bermobil) dan Bu Danti (yang bisa bolak-balik ke Singapura beberapa minggu sekali). Lingkungan yang kotor itu pun mulai mengubahnya. Semuanya terjawab oleh istilah 86, sebuah istilah yang dengan segera Arimbi akan sering mengucapkannya.

“Ungkapan 86 awalnya digunakan du kepolisian, yang artinya sudah dibereskan, tahu sama tahu. Tapi kemudian digunakan sebagai penyelesaian berbagai urusan dengan menggunakan uang.” (hlm 94).

Maka, mulailah Arimbi berkenalan dan kemudian ketagihan dengan keampuhan dua angka sakti itu. Cukup dengan bilang “delapan enam lah”, maka uang mulai mengalir ke kantongnya. Semakin lama, semakin ia terjerat oleh rayuan 86, Arimbi semakin mengetahui borok-borok korupsi yang ternyata sudah menggerogoti hingga ke lingkungan kepolisian dan pengadilan, dua unsur yang seharusnya menjadi hamba hukum dan tempat di mana keadilan seharusnya ditegakkan. Namun, lingkungan yang sudah telanjur “kotor” membuat Arimbi terbuai di dalamnya. “Daripada tidak kebagian, toh yang lain juga begitu, “ begitu kilahnya.

Jeratan angka 86 terhadap gadis itu semakin menguat saat Arimbi menikah dengan Ananta. Dengan dalih untuk membangun kehidupan berkeluarga, mulailah Arimbi memberanikan diri untuk mengambil lebih dan lebih lagi. Bahkan, ia kini turut kong kalingkong bersama Bu Danti yang ternyata jauh lebih berpengalaman darinya. Ketika akhirnya keadilan berbicara dan Arimbi harus masuk penjara, kekuatan angka 86 ternyata juga sampai di sana. Akankah Arimbi kapok dan menghentikan perilaku nistanya ini? Ataukah ia akan semakin terjerat parah? Mau tahu? Berani bayar berapa? Ntar cincau deh, tahu beres pokoknya wkwkwk.

Dengan simpel novel ini mengangkat tema berat melalui kehidupan gadis sederhana bernama Arimbi. Melalui  penjalanan hidupnya, penulis seolah berupaya menunjukkan bahwa lingkungan ternyata masih menyumbang pengaruh paling besar dalam mengubah seseorang. Lingkungan yang salah bisa membuat orang kalah jika ia tidak berhati-hati, Arimbi adalah contohnya. Namun, korupsi sebagai sebuah gejala yang sudah telanjur meluas dan mengejala semestinya juga harus dilawan, sekecil apapun itu. Kisah Arimbi menunjukkan bahwa bahkan korupsi yang sedikit-sedikit dimaklumi akhirnya akan tumbuh semakin besar dan tak terkendali. Bacalah, novel ini bisa menjadi satu percikan kecil untuk menyalakan kembali semangat memerangi korupsi yang sapatutnya kita dukung bersama.

“Harta yang baik itu adalah harta yang tidak memunculkan rasa waswas ketika kita menggunakannya.” 

2 comments:

  1. Kayaknya bagus ceritanya. Jarang-jarang nih ada tema begini..

    Mantap reviewnya, Mas Dion!

    ReplyDelete