Search This Blog

Monday, September 2, 2013

The Book of Lost Things (Kitab tentang Yang Telah Hilang)

Judul                     : The Book of Lost Things (Kitab tentang Yang Telah Hilang)
Pengarang          : John Connolly
Penerjemah       : Tantri Lesmana
Sampul                 : Rob Ryan
Cetakan               : Keempat, 2010
Halaman              : 472
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama

               The Book of Lost Things

                “Segala yang bisa dibayangkan adalah nyata.” (Pablo Picasso)

                Kutipan di atas sangat tepat sekali menggambarkan isi dari buku ini. David, seorang bocah yang merasa ditinggalkan oleh ayahnya yang menikah lagi, berupaya mencari penghiburan lewat cerita. Dan, kisah apa lagi yang bisa menjadi pengalih perhatian dari dunia nyata selain kisah fiksi fantasi. Sayangnya, kisah fantasi itu tidaklah selalu menyenangkan seperti yang sering kita baca dalam buku-buku dongeng dunia. Sering kali, apa yang tersuguhkan dalam kisah itu benar-benar berbeda dengan yang ada dalam bayangkan kita. Di dunia ini, segala sesuatu ada harganya, termasuk sebuah cerita. Maka, ketika David yang marah pada dirinya, pada ibu tirinya, pada ayahnya, pada mereka yang telah mengabaikannya, ia tanpa ragu mengikuti suara-suara dalam buku cerita yang membujuknya untuk masuk ke dunia ajaib yang hanya ada dalam buku-buku cerita.

                Dan, masuklah David ke sebuah dunia yang benar-benar berbeda dari dunianya. Ia tiba di negeri fantasi  yang menawarkan petualangan seru. Sayangnya, ia langsung menyesali keputusannya untuk masuk ke dunia tersebut karena yang menantinya di sana hanyalah gigi taring yang berlumuran darah, cakar setajam silet yang suka mengoyak, hutan-hutan kelam berisi makhluk air kegelapan, serta penyihir kejam yang suka menyula di atas kastilnya. Namun, ia tetap harus menempuh petualangan ini demi mencari Kitab tentang Yang Telah Hilang, sebuah buku yang bisa mengirimkannya pulang kembali ke dunia nyata. Perhatian, kisah ini bukanlah untuk konsumsi anak-anak. Karena walau masuk dalam genre fantasi, tapi Gramedia melabeli  buku ini sebaai novel dewasa, karena banyak hal-hal yang seharusnya tidak boleh dibaca(apalagi dilihat) oleh anak-anak  dalam buku ini. Petualangan David adalah petualangan maut, dan ia harus bisa melewati itu semua jika ingin kembali ke dunianya.

                Dari awal, dongeng ini sudah kelam. Mungkin penulis terinspirasi oleh dongeng-dongeng Grimm bersaudara yang ternyata kejam dalam versi aslinya. Dalam perjalannya, David akan menjumpai serigala dan manusia setengah serigala, SnowWhite yang jauh dari kesan anggun dan *uhuk* ramping, penyihir penjaga kastil yang gemar mengoleksi tengkorak para ksatria, hingga monster-monster bercakar yang sebaiknya tidak dituliskan di sini demi kebaikan pembaca sekalian. Untungnya, John Connolly sangat piawai dalam menuliskan cerita. Petualangan-petualangan David dituliskan lewat alur yang naik turun, mendebarkan, dan tidak terduga. Kita tidak akan tahu apa yang menanti David di balik pepohonan di depannya. Alurnya dijaga agar tidak membuat pembaca bosan. Pertempuran dan cabikan dan keberanian muncul silih berganti, dengan plesetan versi horor dari dongeng-dongeng klasik dunia.

Susah sekali berpisah dari buku ini kalau belum benar-benar selesai membacanya. Di samping seru, banyak adegan berdarah-darah dalam novel ini sehingga sebaiknya anak-anak dijauhkan (untuk sementara) dari membaca buku ini. Perhatian, ini adalah dongeng untuk orang dewasa. Tapi, pembaca akan mengalami sebuah pengalaman membaca yang menyenangkan, ironis tapi menghibur. Dengan kisah-kisah yang sama sekali baru. Di akhir cerita, buku ini akan ditutup dengan penuh rasa kepuasan. Bukan puas seperti “hidup bahagia selama-lamanya”, tapi perasaan puas ketika kita sudah menyelesaikan sebuah perjalanan dan kemudian bertambah dewasa dan lebih baik setelahnya—bagaimanapun ujung dari perjalanan itu. Sebagaimana David, yang bertambah semakin dewasa dalam memandang semuanya. Ini adalah sebuah kisah yang tidak hanya menghibur, namun juga mendewasakan pembaca.


“…dan menjelaskan kepada mereka bahwa kisah-kisah itu ingin diceritakan dan buku-buku itu ingin dibaca, dan segala sesuatu yang perlu mereka ketahui tentang kehidupan serta negeri yang ditulisnya, atau tentang negeri atau dunia apa pun yang mereka bayangkan, semua itu ada di dalam buku-buku.” (hlm 467)

No comments:

Post a Comment