Judul :
86
Pengarang :
Okky Madasari
Sampul :
Restu Ratnaningtyas
Cetakan :
pertama, Maret 2011
Tebal : 252 halaman
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cerita yang bagus bukanlah
cerita yang sok mengurui, tapi mendidik dengan cara menunjukkan. Dan, itulah
yang dengan begitu piawai telah dilakukan oleh Okky Madadari melalui novel 86 ini. Setelah sukses merebut perhatian
masyarakat luas dengan novel Entrok-nya,
penulis yang juga berlatar belakang dunia jurnalistik ini kembali menelurkan
sebuah karya yang ditulis berdasarkan sebuah fenomena negatif yang tampaknya sudah begitu mengejala
di negara kita: KORUPSI. Tulisannya selalu khas, bercirikan sederhana namun
menangkap apa-apa yang nyata. Gejala dan kebiasaan manusia yang sering kita
jumpai dalam keseharian mampu ia angkat kembali dan disuguhkan ke hadapan
pembaca dalam sebuah prosa yang mencerahkan.
Novel 86 berkisah tentang tema besar korupsi,
juga kong kalingkong alias suap-menyuap yang rupanya sudah mengakar kuat di
berbagai sendi kehidupan bangsa ini. Arimbi yang bekerja sebagai juru ketik di
sebuah pengadilan tinggi negeri di Jakarta menjalani hari-hatinya dengan begitu
biasa, dengan begitu polos. Berangkat pagi dan pulang malam, naik angkot dan
terjebak kemacetan, menjadi saksi tidurnya para hakim yang mulia terhormat saat
tengah sidang, dan hidupnya tetap begitu-beitu saja, tidak ada yang istimewa.
Seperti anak-anak muda mapan Jakarta, Arimbi senang-senang saja dengan hidupnya
yang bak robot. Namun, mana ada sih orang yang benar-benar bisa dibiarkan dengan
urusannya sendiri di negeri ini? Masyarakat kita adalah masyarakat yang ingin
tahu, sayangnya keingintahuan itu seperti bukan pada tempatnya. Bukannya sibuk
ingin tahu dalam hal ilmu pengetahuan, kita malah sibuk ingin tahu dengan urusan orang: siapa pacaran
sama siapa, kapan nikahnya si A, mengapa si B selalu pulang malam, dan
lain-lain sejenisnya
Salah satu keingintahuan itu
adalah pertanyaan dari keluarga tentang kapan Arimbi mencari pasangan hidup. Ia
juga sering dibanding-bandingkan dengan
si A yang anaknya sukses setelah jadi lurah atau pegawai kelurahan,
sementara Arimbi yang bekerja sebagai PNS di Jakarta hanya begitu-begitu saja
hidupnya, rumah pun masih mengontrak. Gaji 2,5 juta tampaknya ngepas sekali
untuk hidup di Jakarta, hingga secara perlahan Arimbi yang polos pun mulai
bertanya-tanya mengapa dirinya tidak bisa seperti Anisa (teman sebelahnya yang
bermobil) dan Bu Danti (yang bisa bolak-balik ke Singapura beberapa minggu
sekali). Lingkungan yang kotor itu pun mulai mengubahnya. Semuanya terjawab
oleh istilah 86, sebuah istilah yang
dengan segera Arimbi akan sering mengucapkannya.
“Ungkapan 86 awalnya digunakan du kepolisian, yang artinya sudah
dibereskan, tahu sama tahu. Tapi kemudian digunakan sebagai penyelesaian
berbagai urusan dengan menggunakan uang.” (hlm 94).
Maka, mulailah Arimbi berkenalan
dan kemudian ketagihan dengan keampuhan dua angka sakti itu. Cukup dengan
bilang “delapan enam lah”, maka uang mulai mengalir ke kantongnya. Semakin
lama, semakin ia terjerat oleh rayuan 86, Arimbi semakin mengetahui borok-borok
korupsi yang ternyata sudah menggerogoti hingga ke lingkungan kepolisian dan
pengadilan, dua unsur yang seharusnya menjadi hamba hukum dan tempat di mana
keadilan seharusnya ditegakkan. Namun, lingkungan yang sudah telanjur “kotor”
membuat Arimbi terbuai di dalamnya. “Daripada tidak kebagian, toh yang lain
juga begitu, “ begitu kilahnya.
Jeratan angka 86 terhadap gadis
itu semakin menguat saat Arimbi menikah dengan Ananta. Dengan dalih untuk
membangun kehidupan berkeluarga, mulailah Arimbi memberanikan diri untuk
mengambil lebih dan lebih lagi. Bahkan, ia kini turut kong kalingkong bersama
Bu Danti yang ternyata jauh lebih berpengalaman darinya. Ketika akhirnya
keadilan berbicara dan Arimbi harus masuk penjara, kekuatan angka 86 ternyata
juga sampai di sana. Akankah Arimbi kapok dan menghentikan perilaku nistanya
ini? Ataukah ia akan semakin terjerat parah? Mau tahu? Berani bayar berapa?
Ntar cincau deh, tahu beres pokoknya wkwkwk.
Dengan simpel novel ini
mengangkat tema berat melalui kehidupan gadis sederhana bernama Arimbi.
Melalui penjalanan hidupnya, penulis
seolah berupaya menunjukkan bahwa lingkungan ternyata masih menyumbang pengaruh
paling besar dalam mengubah seseorang. Lingkungan yang salah bisa membuat orang
kalah jika ia tidak berhati-hati, Arimbi adalah contohnya. Namun, korupsi
sebagai sebuah gejala yang sudah telanjur meluas dan mengejala semestinya juga
harus dilawan, sekecil apapun itu. Kisah Arimbi menunjukkan bahwa bahkan
korupsi yang sedikit-sedikit dimaklumi akhirnya akan tumbuh semakin besar dan
tak terkendali. Bacalah, novel ini bisa menjadi satu percikan kecil untuk
menyalakan kembali semangat memerangi korupsi yang sapatutnya kita dukung
bersama.
“Harta yang baik itu adalah harta
yang tidak memunculkan rasa waswas ketika kita menggunakannya.”
Kayaknya bagus ceritanya. Jarang-jarang nih ada tema begini..
ReplyDeleteMantap reviewnya, Mas Dion!
Terima kasih :)
Delete