Search This Blog

Monday, April 29, 2013

Perempuan Berkalung Sorban



Judul     : Perempuan Berkalung Sorban
Pengarang          : Abidah el Khalieqy
Tebal                     : 246 halaman
Cetakan               : 1 edisi revisi 2012
Penerbit              : Araska

 

                “Perempuan bukanlah pelayan bagi laki-laki. Bukan juga budak kehidupan.” (hlm 77)

                Sebuah novel yang penuh kontroversi. Tidak heran sejak awal kemunculannya, novel ini langsung menuai hiruk-pikuk di Tanah Air karena temanya yang memang cukup sensitif: kesetaraan gender. Sorban yang biasanya dipakai laki-laki Muslim, kini disematkan pada perempuan. Judul ini tentunya turut mengundang penasaran, pertanyaan, dan entah berapa sanggahan atau bahkan hujatan. Tapi, satu hal yang jelas, para pria akan belajar banyak untuk melihat dunia dari sudut pandang perempuan saat membaca buku ini. Sebaliknya, pembaca perempuan juga akan belajar banyak tentang pentingnya nilai-nilai “sebagai manusia” yang juga ada dalam diri mereka. Bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda, ya itu betul, tapi keduanya adalah setara dan harus saling bahu-membahu dalam menjalani biduk kehidupan (atau rumah tangga).

                “Di dunia ini, semua yang diciptakan oleh Allah, apa saja jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya sama baiknya, sama bagusnya, sama enaknya. Sebab, Allah juga memberikan kenikmatan yang sama pada keduanya. Tinggal bagaimana kita mensyukurinya.” (hlm 27)

                Annisa, putri seorang pemilik pondok pesantren, sejak kecil telah merasa ada yang salah dengan sistem pendidikan di lingkungan pondok. Walaupun pesantren ayahnya adalah pesantren putri, dominasi kuasa laki-laki seolah tetap merasuk sedemikian rupa. Ia sering bertanya, kenapa kakak-kakaknya yang laki-laki boleh bermain sepuasnya (padahal ia harus di rumah membantu ibu), boleh tidur sehabis sholat Subuh (padahal ia harus siap ada di dapur untuk masak), boleh sekolah yang tinggi (padahal ia harus dinikahkan pada usia SMP), dan boleh naik kuda (padahal ia sangat mahir naik kuda). Beberapa pertanyaan itu memang terjawab lewat pengalamannya, ada yang memang secara kodrati benar, tapi banyak pula pemahaman tentang laki-perempuan yang harus diluruskan. 

            Nisa tahu bahwa wanita adalah mahkluk yang cenderung lemah lembut sehingga dirinya harus dijaga dan dirawat, diproteksi di dalam rumah, sebelum kelak diambil sang pujaan hati untuk disunting. Ia paham mengapa wanita harus seperti permata yang sebaiknya tetap dirawat di rumah agar kemilaunya tidak tertutup kusamnya dunia. Nisa mencoba menerima dalil bahwa perempuan harus begini dan begitu demi ketaatannya kepada Ayah dan Bunda an juga agama (lebih tepatnya ulama karena para ulama menganjurkan demikian).

Tapi, apa jadinya jika sang pangeran tercinta adalah bajingan tak tahu diri? Pada usia paskapubertas, Nisa “terpaksa” menikahi anak seorang kyai sahabat ayahnya yang ternyata seorang pria busuk. Samsudin nama pria itu, tidak lebih sebagai seorang anak mursal dari keluarga terhormat, dan Nisa sebagai muslimah diwajibkan melayani suaminya, apa pun dan bagaimanapun. Dunia remajanya musnah di bawah kezaliman suami yang ternyata lebih suka menyiksanya, menganggapnya tidak lebih sebagai sarana pelampiasan hasrat, seolah barang belian yang bisa diperlakukan sekenanya. Katanya putra kiai, tapi pria itu sama sekali tidak paham apalagi mengamalkan hukum dan adab suami-istri yang dianjurkan dalam Islam. Dan Nisa, sekali lagi sebagai perempuan, hanya bisa pasrah, diam, dan bersabar karena dulu ibunya pernah bilang bahwa sabarnya seorang istri adalah ibadah—termasuk ketika suaminya mengambil istri kedua. Tapi, apakah tetap bersabar walau dizolimi lahir batin itu termasuk ibadah?

“Tak ada agama apa pun yang membenarkan perempuan disakiti, oleh siapa pun.” (hlm 138)

Tapi, Nisa dari dulu adalah wanita pemberani yang cerdas. Ia tidak segan mempertanyakan apa-apa yang menurutnya keliru dan tidak adil, terutama terkait posisi perempuan dalam Islam. Benarkan Islam meletakkan derajat perempuan lebih rendah di bawah pria padahal Al-Qur’an sendiri jelas-jelas mengatakan bahwa “suami merupakan pakaian bagi istri, dan istri merupakan pakaian bagi suami.” Ayat ini melambangkan kesetaraan, bahwa antara laki-laki dan perempuan memang berbeda tapi keduanya setara dan saling membutuhkan. Maka jiwanya berontak, dan ia tetap teguh mendorong dirinya agar tetap maju dan berpendidikan. Ia menyempatkan bersekolah walau Samsudin kurang suka. Sampai, keluarga Nisa tahu bagaimana perilaku suami Nisa yang sebenarnya, dan perceraian pun dilakukanlah, kali ini dengan dukungan sang ibu Nisa. Akhirnya, Nisa terbebas dan bisa kembali mengecap udara. Penderitaannya di masa lamapu dibalas dengan hadirnya kembali sosok LekKhudori, seorang pria matang berpendidikan yang benar-benar tahu cara memperlakukan perempuan secara setara.

Dari tujuannya, novel ini masuk kategori novel feminisme muslim. Lewat karya ini, penulis menantang para perempuan muslim agar berani menggunakan hak-hak mereka, agar tidak menutup mata atas penindasan kaum lelaki yang sering menggunakan dalil agama untuk memaksakan kehendak dan eksistensinya. Dengan runtut, Abidah mampu menunjukkan betapa Islam sesungguhnya sangat mendukung kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Ia juga menegaskan tentang perbedaan antara wahyu langit (agama) dengan tradisi/kebudayaan Bumi (yang dinota bene dikendalikan oleh kaum lelaki). Bahwa agama tidaklah sama dengan budaya, dan bahwa masa kini tidaklah sama dengan masa lalu. Semua ada konteks dan situasinya tersendiri, yang harus diolah dan ditinjau kembali selama tidak menyimpang dari aturan-aturan utama, yakni wahyu langit. Secara cerdas, penulis meminta perenpuan muslim agar lebih cerdas dan mampu menuntut hak-haknya, di mana hak-hak itu sendiri sudah dijamin sendiri oleh Islam. Sebuah buku yang bagus, sayang typo bertebaran. Kalau diedit lagi pasti bakal lebih bagus.

“Kini, baru dapat kurasakan bahwa ilmu telah memberikan banyak hal kepada kita, terutama hak-hak dan juga kewajiban kita yang lebih hak dan proporsional. (hlm 205)



7 comments:

  1. emmmmm.......

    saya rasa terkadang ada yg salah paham dengan apa itu hak perempuan dan apa itu kewajibannya..
    wah2x.. bisa panjang klo mau komen soal feminisme.. udh dulu deh haha

    #kilasbukublogwalking

    ReplyDelete
  2. wah ada kutipan tentang ayat yang mengandung kesetaraan gender, problematika yang terjadi di setiap bangsa mengapa dalam ayat-ayat kitab suci tercantum klausal tentang kesetaraan tetapi dalam praktek sosial-kultural hal tersebut justru bertolak belakang ?
    Klo tdk salah ada edisi lain buku ini yang berseri ya ?

    ReplyDelete
  3. termis yang diangkat cukup menarik, meski masih debatable. Tapi semoga realisasinya dalam kehidupan kenyataan nggak seperti yang digambarkan dalam novel ini

    ReplyDelete
  4. wahhh menarik banget nih, isu kesetaraan gender dari kacamata agama. tapi kalau soal pesantren, kebetulan kerjaanku yg sekarang memungkinkan aku berkunjung ke banyak pesantren, dan memang pesantren perempuan dan laki2 itu langsung keliatan banget bedanya, at least dari segi fasilitas...sayang sih memang...

    ReplyDelete
  5. Aku pernah noton filmnya tapi masih blm bisa menangkap apa pesannya, kecuali ttg Nisa yg pembangkang dan suka mempertanyakan segalanya. Rupanya ttg feminisme perempuan yaa

    ReplyDelete
  6. nikmatnya baca review mas Dion

    ReplyDelete
  7. Mmm... aku juga masih bingung batasan feminisme perempuan itu mau sampai mana. :D

    ReplyDelete