Judul : Perempuan
Berkalung Sorban
Pengarang :
Abidah el Khalieqy
Tebal :
246 halaman
Cetakan :
1 edisi revisi 2012
Penerbit :
Araska
“Perempuan bukanlah pelayan bagi laki-laki.
Bukan juga budak kehidupan.” (hlm 77)
Sebuah
novel yang penuh kontroversi. Tidak heran sejak awal kemunculannya, novel
ini langsung menuai hiruk-pikuk di Tanah Air karena temanya yang
memang cukup sensitif: kesetaraan gender. Sorban yang biasanya dipakai
laki-laki Muslim, kini disematkan pada perempuan. Judul ini tentunya turut mengundang
penasaran, pertanyaan, dan entah berapa sanggahan atau bahkan hujatan. Tapi, satu hal
yang jelas, para pria akan belajar banyak untuk melihat dunia dari sudut
pandang perempuan saat membaca buku ini. Sebaliknya, pembaca perempuan juga akan
belajar banyak tentang pentingnya nilai-nilai “sebagai manusia” yang juga ada dalam
diri mereka. Bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda, ya itu betul, tapi
keduanya adalah setara dan harus saling bahu-membahu dalam menjalani biduk
kehidupan (atau rumah tangga).
“Di dunia ini, semua yang diciptakan oleh
Allah, apa saja jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya
sama baiknya, sama bagusnya, sama enaknya. Sebab, Allah juga memberikan
kenikmatan yang sama pada keduanya. Tinggal bagaimana kita mensyukurinya.” (hlm
27)
Annisa,
putri seorang pemilik pondok pesantren, sejak kecil telah merasa ada yang salah
dengan sistem pendidikan di lingkungan pondok. Walaupun pesantren ayahnya adalah
pesantren putri, dominasi kuasa laki-laki seolah tetap merasuk sedemikian
rupa. Ia sering bertanya, kenapa kakak-kakaknya yang laki-laki boleh bermain
sepuasnya (padahal ia harus di rumah membantu ibu), boleh tidur sehabis sholat
Subuh (padahal ia harus siap ada di dapur untuk masak), boleh sekolah yang
tinggi (padahal ia harus dinikahkan pada usia SMP), dan boleh naik kuda
(padahal ia sangat mahir naik kuda). Beberapa pertanyaan itu memang terjawab
lewat pengalamannya, ada yang memang secara kodrati benar, tapi banyak pula pemahaman tentang laki-perempuan yang harus diluruskan.
Nisa tahu bahwa wanita adalah mahkluk yang cenderung lemah
lembut sehingga dirinya harus dijaga dan dirawat, diproteksi di dalam rumah,
sebelum kelak diambil sang pujaan hati untuk disunting. Ia paham mengapa wanita
harus seperti permata yang sebaiknya tetap dirawat di rumah agar kemilaunya
tidak tertutup kusamnya dunia. Nisa mencoba menerima dalil bahwa perempuan
harus begini dan begitu demi ketaatannya kepada Ayah dan Bunda an juga agama (lebih tepatnya ulama karena para
ulama menganjurkan demikian).
Tapi, apa jadinya jika sang
pangeran tercinta adalah bajingan tak tahu diri? Pada usia paskapubertas, Nisa
“terpaksa” menikahi anak seorang kyai sahabat ayahnya yang ternyata seorang
pria busuk. Samsudin nama pria itu, tidak lebih sebagai seorang anak mursal dari keluarga terhormat, dan Nisa
sebagai muslimah diwajibkan melayani suaminya, apa pun dan bagaimanapun. Dunia
remajanya musnah di bawah kezaliman suami yang ternyata lebih suka menyiksanya,
menganggapnya tidak lebih sebagai sarana pelampiasan hasrat, seolah barang
belian yang bisa diperlakukan sekenanya. Katanya putra kiai, tapi pria itu sama
sekali tidak paham apalagi mengamalkan hukum dan adab suami-istri yang
dianjurkan dalam Islam. Dan Nisa, sekali lagi sebagai perempuan, hanya bisa
pasrah, diam, dan bersabar karena dulu ibunya pernah bilang bahwa sabarnya
seorang istri adalah ibadah—termasuk ketika suaminya mengambil istri kedua.
Tapi, apakah tetap bersabar walau dizolimi lahir batin itu termasuk ibadah?
“Tak ada agama apa pun yang membenarkan perempuan disakiti, oleh siapa pun.”
(hlm 138)
Tapi, Nisa dari dulu adalah
wanita pemberani yang cerdas. Ia tidak segan mempertanyakan apa-apa yang
menurutnya keliru dan tidak adil, terutama terkait posisi perempuan dalam
Islam. Benarkan Islam meletakkan derajat perempuan lebih rendah di bawah pria
padahal Al-Qur’an sendiri jelas-jelas mengatakan bahwa “suami merupakan pakaian
bagi istri, dan istri merupakan pakaian bagi suami.” Ayat ini melambangkan
kesetaraan, bahwa antara laki-laki dan perempuan memang berbeda tapi keduanya
setara dan saling membutuhkan. Maka jiwanya berontak, dan ia tetap teguh
mendorong dirinya agar tetap maju dan berpendidikan. Ia menyempatkan bersekolah
walau Samsudin kurang suka. Sampai, keluarga Nisa tahu bagaimana perilaku suami
Nisa yang sebenarnya, dan perceraian pun dilakukanlah, kali ini dengan dukungan
sang ibu Nisa. Akhirnya, Nisa terbebas dan bisa kembali mengecap udara.
Penderitaannya di masa lamapu dibalas dengan hadirnya kembali sosok LekKhudori,
seorang pria matang berpendidikan yang benar-benar tahu cara memperlakukan
perempuan secara setara.
Dari tujuannya, novel ini masuk
kategori novel feminisme muslim. Lewat
karya ini, penulis menantang para perempuan muslim agar berani menggunakan
hak-hak mereka, agar tidak menutup mata atas penindasan kaum lelaki yang sering
menggunakan dalil agama untuk memaksakan kehendak dan eksistensinya. Dengan
runtut, Abidah mampu menunjukkan betapa Islam sesungguhnya sangat mendukung
kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Ia juga menegaskan tentang perbedaan
antara wahyu langit (agama) dengan tradisi/kebudayaan Bumi (yang dinota bene
dikendalikan oleh kaum lelaki). Bahwa agama tidaklah sama dengan budaya, dan
bahwa masa kini tidaklah sama dengan masa lalu. Semua ada konteks dan
situasinya tersendiri, yang harus diolah dan ditinjau kembali selama tidak
menyimpang dari aturan-aturan utama, yakni wahyu langit. Secara cerdas, penulis
meminta perenpuan muslim agar lebih cerdas dan mampu menuntut hak-haknya, di
mana hak-hak itu sendiri sudah dijamin sendiri oleh Islam. Sebuah buku yang
bagus, sayang typo bertebaran. Kalau
diedit lagi pasti bakal lebih bagus.
“Kini, baru dapat kurasakan bahwa ilmu telah memberikan banyak hal
kepada kita, terutama hak-hak dan juga kewajiban kita yang lebih hak dan
proporsional. (hlm 205)
emmmmm.......
ReplyDeletesaya rasa terkadang ada yg salah paham dengan apa itu hak perempuan dan apa itu kewajibannya..
wah2x.. bisa panjang klo mau komen soal feminisme.. udh dulu deh haha
#kilasbukublogwalking
wah ada kutipan tentang ayat yang mengandung kesetaraan gender, problematika yang terjadi di setiap bangsa mengapa dalam ayat-ayat kitab suci tercantum klausal tentang kesetaraan tetapi dalam praktek sosial-kultural hal tersebut justru bertolak belakang ?
ReplyDeleteKlo tdk salah ada edisi lain buku ini yang berseri ya ?
termis yang diangkat cukup menarik, meski masih debatable. Tapi semoga realisasinya dalam kehidupan kenyataan nggak seperti yang digambarkan dalam novel ini
ReplyDeletewahhh menarik banget nih, isu kesetaraan gender dari kacamata agama. tapi kalau soal pesantren, kebetulan kerjaanku yg sekarang memungkinkan aku berkunjung ke banyak pesantren, dan memang pesantren perempuan dan laki2 itu langsung keliatan banget bedanya, at least dari segi fasilitas...sayang sih memang...
ReplyDeleteAku pernah noton filmnya tapi masih blm bisa menangkap apa pesannya, kecuali ttg Nisa yg pembangkang dan suka mempertanyakan segalanya. Rupanya ttg feminisme perempuan yaa
ReplyDeletenikmatnya baca review mas Dion
ReplyDeleteMmm... aku juga masih bingung batasan feminisme perempuan itu mau sampai mana. :D
ReplyDelete