Search This Blog

Monday, August 6, 2012

The Search for Merlin, The Grey Labyrinth


Judul         : The Search for Merlin, The Grey Labyrinth
Penulis       : Tyas Palar
Penyunting : Tantrina DA
Sampul       :Tyo Bvs
Cetakan     : 1, Oktober 2011
Penerbit     : Imania



Pernahkah terbayangkan oleh Anda bahwa ada pertautan terselubung antara berbagai peristiwa dalam sejarah dengan kisah-kisah para penyihir dunia? Apakah Anda pernah menebak bahwa Kerajaan Britania Raya yang berjaya “menguasai” hampir separuh dunia pada abad 18 hingga awal abad 20 itu adalah berkat jasa para penyihir dan alkemis? Apakah sosok Merlin yang legendaris itu benar-benar ada dalam sejarah dan turut bertanggung jawab dalam mengatur jalannya sejarah? Kalau Anda ingin tahu jawabannya, atau Anda mungkin seorang penggemar fiksi-sejarah, maka cobalah membaca buku The Grey Labirynth karya Tyas Palar ini.

Sebagai sekuel dari The Death to Come, buku ini adalah seri kedua dari trilogi The Search of Merlin. Sebagaimana buku pertamanya, Tyas Palar tetap konsekuen memasukkan berbagai peristiwa sejarah Abad Pertengahan hingga awal abad ke-19 sebagai alur utama dalam cerita. Dalam arti, penulis menggunakan lini masa peristiwa yang terjadi di Eropa pada saat itu, dan memasukkan tokoh-tokoh fantasinya untuk mengisi kekosongan-kekosongan yang ada. Inilah yang unik dari seri ini, karena menyertakan tahun kejadian serta tempat berlangsungnya peristiwa. Awalnya di mulai dari Genoa pada tahun 1346 dan berakhir di Salisbury 1756. Membaca nama-nama eksotis tersebut, pembaca bisa menebak bahwa buku ini mengambil setting di kota-kota Eropa pada abad-abad pertengahan dan pencerahan. Satu point plus dari seri ini.

Trilogi The Search of Merlin sendiri mengisahkan tentang para penyihir dunia yang memiliki kemampuan di atas rata-rata manusia biasa. Mereka berumur panjang dan mampu merapalkan mantra-mantra. Sebagaimana seri Harry Potter, para penyihir di buku ini memilih untuk mengasingkan diri dari manusia biasa. Premis ini digunakan untuk mengisi fakta bahwa dalam sejarah Eropa, sama sekali tidak terdengar adanya andil dari para penyihir hebat ini. Alkisah, para penyihir di seluruh dunia dipersatukan oleh sebuah badan bernama Dewan Penyihir, mereka inilah yang mengawasi (lebih seringnya menindas sih) para penyihir agar tidak melakukan hal-hal sihir yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia biasa.

Prinsip utama mereka adalah tidak untuk mencampuri jalannya sejarah—meskipun sebagai penyihir mereka punya kemampuan untuk melakukannya. Contohnya adalah ketika terjadi Wabah Hitam atau Black Death, di mana peristiwa ini benar-benar pernah terjadi di Eropa pada abad 14-15 dan merengggut nyawa hampir sepertiga penduduk Eropa. Para penyihir sebenarnya mampu memperingatkan manusia akan bahayanya, tapi karena mereka dilarang mencampuri jalannya sejarah maka mereka diam saja. Para penyihir tidak terpengaruh wabah karena darah mereka mengandung aura sihir.

Dalam seri kedua ini, rupanya muncul sejumlah penyihir yang hendak memberontak pada Dewan Penyihir. Dengan dimotori oleh empat penyihir besar, mereka bersekongkol melakukan ujicoba berbahaya, menculik anak-anak berbakat alkemis dari Arabia, dan masuk ke dalam ranah politik kerajaan Britania. Dan di kastil Warwick, mereka menjalankan rencananya ini. Dewan penyihr tidak bisa tinggal diam, mereka pun mengutus Adrian of Wallachia, Johann-Jakob Moleschott, Wangg Feiyan, Idris, Sergius, William Gray, Ivar, Tariq, dan Edward A. Twickenham untuk membereskan para pembangkang itu. Tapi, rupanya mereka salah perhitungan. Pihak musuh telah menemukan senjata magis yang sangat berbahaya, perpaduan antara ilmu pengetahuan, alkemis dan sihir, dengan kekuatan menghancurkan nan luar biasa. Lalu, apakah mereka berhasil mengalahkan pemberontak? Bagaimana dengan nasib Eropa dan Britania? Mari dibaca sendiri, dan saya yakin Anda tidak akan menyesal.

Kelebihan utama dari buku ini tentu saja adalah aspek sejarahnya. Ada begitu banyak peristiwa bersejarah, tokoh-tokoh yang ebnar-benar hidup pada masa itu, yang semuanya ikut diselipkan oleh sang penulis dalam cerita. Pun, gaya penceritaannya mengalir, karakter-karakternya jelas walaupun agak susah untuk mengingatnya karena di setiap bab menceritakan satu tokoh dengan melompat-lompat. Untungnya, ada daftar nama tokoh di bagian depan sehingga membantu saya untuk melacak kembali siapa di A dan siapa si B.

Kelemahannya, disamping terlalu tipis (padahal ceritanya menarik), novel ini kurang secara narasi tempat. Untuk setting, penulis hanya membubuhkan tahun dan nama sebuah kota di Eropa dalam setiap awal bab. Misalnya, London 1756, Shamballa tahun sekian, Genoa tahun sekian, dan Pegunungan Pyrenees tahun sekian. Dengan menyuguhkan nama kota yang benar-benar ada di dunia ini, penulis seperti menjanjikan kepada pembaca untuk menggambarkan keadaan kota A di suatu waktu tertentu. Misalnya, bagaimana bangunan-bangunan di kota Genoa, kehidupan sosial di London, keajaiban di Shamballa, eksotisnya Konstantinopel.  Tapi, narasi tentang kota-kota tersebut masih sangat kurang dalam dua seri ini—padahal inilah yang menurut saya bisa menjadi magnet bagi pembaca untuk mengambil buku ini. Sudah bukan rahasia lagi, pembaca sangat menyukai cerita dengan setting Abad Pertengahan dan Abad Pencerahan di Eropa, lengkap dengan kondisi fisik kota, pakaian yang dikenakan, atau situasi sosialnya. Mungkin, sedikit riset akan membuat novel ini semakin memikat. Kritikan lain juga bisa dibaca pada resensi keren dari komunitass fikfan Indo yang bisa dibaca  di sini.

Terlepas dari kekurangannya, novel ini sangat recommended bagi pembaca yang menyukai bacaan berlatar sejarah. Kita juga harus angkat jempol pada sang penulis, yang dengan risetnya berhasil menyatukan antara peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi dengan cerita rekaannya sendiri. Keduanya dipadukan secara apik, membentuk sebuah alur cerita yang seru dengan karakter-karakter nan unik dan tak terlupakan. Semoga, buku ketiganya The Age of Misrule akan segera terbit, sehingga kita bisa terbuai lagi dalam romantisme era para penyihir dan alkemis di Eropa pada Abad Pertengahan dan Pencerahan. 

4/5 bintang untuk buku menawan ini.

4 comments: