Search This Blog

Thursday, August 23, 2012

All Flowers in Shanghai


Judul               : All Flowers in Shanghai
Pengarang       : Duncan Jepson
Penerjemah     : Istiani Prajoko
Penyunting      : Dian Pranasari
Korektor          : Sidik Nugraha
Isi                   : Eri Ambardi
Cetakan           : 1, Juni 2012
Penerbit           : Serambi


                Berbeda dengan kerajaan kuno lainnya yang sudah mati, yang bahasanya menggambarkan bunga dan pohon, China telah berkembang dan bertahan selama lima ribu tahun. Negara ini bertahan hidup dengan memaksa penduduknya agar dengan senang hati mematuhi adat dan aturan kuno, tidak peduli penyiksaan diri dan rasa sakit seperti apapun yang dibutuhkan atau penipuan diri seperti apapun yang diharuskan. (115)

                Petikan di atas mungkin adalah ungkapan yang paling menggambarkan isi dari novel bersampul wanita cantik berbaju peranakan ini. Ketika kebesaran sejarah dan budaya dijunjung tinggi melebihi segalanya, maka apapun harus dikorbankan demi menjamin agar sejarah itu tetap lestari dan terwariskan. Adalah Xiao Feng, anak gadis kedua dari keluarga Feng yang dipaksa untuk menjalani takdir yang bukan miliknya. Awalnya, ia adalah gadis ceria yang bebas, yang senang menangami bunga-bungaan liar bersama kakeknya. Sebagai anak kedua, ia tidak menanggung beban “penerus keluarga” sebagai mana yang ditanggung oleh kakaknya. Berbeda dengan sang kakak yang sejak kecil telah digembleng menjadi wanita yang highclass dan berbudaya, ia tumbuh apa adanya, mencintai bunga dan udara bebas, mencintai pemuda pilihannya.

                Namun, takdir kehidupan sungguh cepat berbelok arah. Sang kakak divonis menderita kanker dan akhirnya meninggal sacara pahit ketika ia tengah bersiap menunggu hari pernikahannya, sebuah pernikahan yang diatur dengan calon suami dari keluarga terpandang. Sebagai anak kedua, Xiao Feng dipaksa oleh Ma untuk menggantikan posisi kakaknya. Ia harus menikah dengan Xiong Fa, pemuda yang sejak dari awal diperuntukkan untuk kakaknya. Dengan hati yang tak rela dan jiwa yang separuh hidup, ia akhirnya memasuki ranah keluarga suaminya, keluarga Sung. Sebagaimana hidup dalam keluarga China yang teguh memegang tradisi, keluarga Sung sangat menjunjung putra sulungnya yang diharapkan tampil menjadi pewaris garis keturunan keluarga. Pria adalah segalanya sementara anak perempuan ada untuk dinikahkan dengan keluarga terpandang. Sebagai istri, Xiao Feng menanggung beban berat untuk melahirkan anak laki-laki yang sehat untuk keluarga Sung.

                Ketika akhirnya anak itu lahir, dan dia perempuan, Feng memutuskan untuk membalas dendam. Semua intrik dan perlakuan kejam yang diterimanya dari keluarga Sung, pengkhianatan yang dilakukan oleh Ma dan Ba (orang tuanya sendiri) dengan menyerahkannya kepada pria yang tidak ia cintai, sebuah kutukan yang memaksanya harus hidup menanggung beban metal dengan menjadi anggota keluarga Sung; semua itu telah menjadikannya kejam. Ia marah karena dirinya adalah perempuan di masa yang salah, ia marah karena anaknya juga perempuan dan bahwa ia juga harus menanggung siksaan sebagai “terlahir sebagai perempuan China” sebagaimana yang telah ia alami. Xiao Feng memutuskan untuk membohongi keluarga Sung dan membuang bayi itu—sebuah keputusan yang kelak akan sangat disesalinya.

Aku tak mau anak perempuan, tak ada gunanya … lemah dan rapuh. Keluarga ini harus menjadi kuat. Anak perempuan diperlakukan dengan buruk oleh semua orang, bahkan keluarga mereka sendiri. (hlm 223).

                Dan, Feng pun menjelma sebagaimana Kakaknya dan Ma-nya yang ambisius. Ia menggelar rencana, hendak membalas dendam pada tradisi yang tidak menguntungkannya sebagai perempuan. Ia menjadi Nyonya Sung yang seutuh-utuhnya, yang glamor, yang suka berfoya-foya, yang penuh intrik dan ambisi. Hanya pelayan setianya nan bersahaja, Yan, yang sesekali mengingatkan dirinya bahwa jauh di dalam dirinya Xiao Feng tetaplih seorang gadis nan rapuh. Waktu berlalu dan ia berhasil mengalahkan saingan-saingannya, ia juga mampu membalaskan dendamnya kepada sang suami tanpa terlihat, dan akhirnya ia mampu melahirkan seorang bayi laki-laki—yang cacat salah satu kakinya. Bayi inilah yang menggugah kesadarannya, yang membangkitkan naluri keibuannya sehingga ia menyesali keputusan untuk membuang anak yang pertama. Perlahan, keadaan mulai membaik. Xiong Fa mulai “mencintainya” sebagai istri, tapi robekan luka di jiwa Xiao Feng tak pernah sembuh. Ia tetap memberontak pada keluarga Sung dengan caranya sendiri tanpa harus dikeluarkan dari wangsa keluarga tersebut.

                Tahun berganti, dan revolusi pun meletus. Cara-cara China yang lama mulai digusur oleh prinsip kesetaraan model sosialis yang dibawa Mao Ze Dong. Kota Shanghai pun tidak luput dari hempasannya. Para bangsawan dan pejabat yang dulu hidup mewah kini dirobohkan satu per satu oleh kekuatan rakyat. Rakyat jelata, pemuda-pemudi yang begitu mudah dipengaruhi oleh paham-paham baru, berubah menjadi kaum revolusioner yang menuntut kesetaraan warga negara. Republik Rakyat China telah tumbuh di atas puing-puing sistem feodalisme yang telah membuat Kerajaan China berdiri selama lima ribu tahun. Dan, sekali lagi, hidup Feng pun berubah.
Novel yang ditulis dengan begitu mendetail ini sekali lagi menyorot tentang keagungan sebuah budaya berbasis prinsip patrinereal, yakni prinsip kekerabatan dari garia ayah/laki-laki. Dengan setting kota Shanghai pada tahun-tahun menjelang perang dan pecahnya revolusi, penulis dengan jeli mampu menggambarkan bagaimana rasanya menjadi perempuan di dalam sebuah keluarga China nan konservatif.

            Hanya saja, walaupun pengarang mengatakan dalam keterangan di bagian belakang buku bahwa ia adalah anak seorang imigran dari China, tampak sekali bahwa novel ini ditulis semata dari pandangan seorang yang besar dan hidup di Barat. Jepson mampu menggambarkan dengan detail segala pernak-pernik khas China, tapi narasinya kurang mampu memunculkan kesan seorang China dalam diri Xiao Feng.  Wanita ini terlalu memberontak, hampir-hampir tidak ada keindahan dalam menjadi seorang wanita China dalam separuh awal bagian buku ini, yang kemudian diperparah lagi dengan keadaan yang tak kalah menggenaskannya di seperempat akhir. Seolah-olah, menjadi perempuan China pada masa itu adalah tidak ada bagus-bagusnya.

            Entahlah, mungkin novel ini—sebagai mana novel-novel lain bertema perempuan China lainnya—ditulis untuk mengkritik konservatisme yang masih begitu kental di China. Sementara, bagian akhir yang begitu murah mungkin mewakili apa yang ada dalam pandangan orang Barat tentang China yang sosialis. Semoga, kelak bisa muncul novel-novel sejenis namun dengan pandangan yang berimbang, sebuah pandangan dari wanita yang hidup dalam cara China, yang tidak hitam-putih tapi ada ruang abu-abu di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Pearl S. Buck.

No comments:

Post a Comment