Judul: Kalakanji'
Penulis: Imam Budhi Santosa
Penerbit: Interlude
Sejak baca Ngudud dan Profesi Wong Cilik , Imam Budhi Santosa menjadi salah satu penulis favorit karena menurut saya beliau ini tipe penulis yang Njogjani banget, bukan sekadar Njawani. Tulisan-tulisannya selalu khas dengan aroma 90an dengan tema-tema lokal tetapi serasa ada unsur kreatif dan upaya merangkul dinamisnya zaman. Tidak hanya saya menemukan nilai-nilai masa kecil yang ternyata bermakna begitu mendal, tetapi juga banyak ilmu dari mereka yang pinggiran, pedesaan, atau wong cilik. Karena mencari ilmu atau ngelmu bisa dari mana saja, yang penting pelajaran apa yg bisa kita petik darinya.
Kumpulan esai Kalakanji ini sayangnya tidak sedahsyat dua
buku lain yg sudah saya baca. Temanya tidak runtut, pembahasannya beda-beda
sehingga lebih mirip bunga rampai esai dengan berbagai kepentingan, dan gaya
menulisnya tidak konsisten. Hal yang lumrah kita jumpai dalam sebuah kumpulan
tulisan. Karena Kalakanji ini memang belasan artikel dan esai beliau yang
dikumpulkan dari tahun sebelum 2000 lalu dipaksakan untuk dijilid dalam dua
tema besar: budaya dan sastra.
Esai-esai awal dan paling akhir menurut pendapat saya adalah
yg paling menarik. Bagian awal penulis menggelar pengetahuan kecil tapi jarang
diketahui terkait budaya Jawa dan juga Jogja. Jenis tema yang sangat saya
gandrungi. Bagian akhir tentang proses kreatif penulisan puisi yang menurut
saya berhasil beliau tulis dengan runtut dan dengan bahasa sederhana sehingga
cocok diterapkan anak smp, SMA, dan mereka yang pemula dlm menulis puisi. Salah
satunya, menulis sastra memang membutuhkan olah rasa dan pikiran karena itu
memang dibutuhkan diam agar bisa berkonsentrasi. Mungkin inilah jawaban dari
mengapa mengarang itu tidak gampang. Kita cenderung untuk gegas bergerak, bukan
diam dan ketinggalan.
Esai esai lain banyak yang sifatnya pesanan. Meskipun
setelah dibaca alasannya memang tulisan-tulisan ini ditulis sebagai pembuka
atau pendamping dari suatu acara atau kegiatan. Jadi memang tidak murni
pesanan, bisa juga wujud kepedulian penulis pada salah satu sosok atau tema
atau peristiwa. Sayangnya, pada esai esai jenis inilah standar esai terasa
jatuh karena tema jadi terbatasi dan penulis tidak diberi panggung untuk
menunjukkan ciri khasnya. Batasan tema dan tuntutan momen menjadikan tulisan
terasa monoton dan standar. Contohnya ketika penulis mengutip tujuh jenis
kecerdasan sampai dua kali dengan model salin semua.
Rasa memang memiliki poin utama dalam mencipta karya sastra. Tanpanya, sebuah tulisan bisa terasa hambar, mengenyangkan, menyenangkan, ataupun membosankan. Produktivitas menulis memang harus diutamakan karena penulis juga tidak selamanya bisa mencari makan lewat tulisan tulisan idealisme. Keberadaan pasar memang harusnya jadi pendukung penulis dalam mempertahankan hidup dan kemudian melanjutkan idealismenya. Pada akhirnya, melestarikan idealisme juga akan terganjal jika sumber penghidupan tersendat tidak lancar.
Kayaknya saya kudu koleksi karya-karya beliau deh.
No comments:
Post a Comment