Search This Blog

Wednesday, October 7, 2020

Kalakanji

 Judul: Kalakanji'

Penulis: Imam Budhi Santosa

Penerbit: Interlude



Sejak baca Ngudud dan Profesi Wong Cilik , Imam Budhi Santosa menjadi salah satu penulis favorit karena menurut saya beliau ini tipe penulis yang Njogjani banget, bukan sekadar Njawani. Tulisan-tulisannya selalu khas dengan aroma 90an dengan tema-tema lokal tetapi serasa ada unsur kreatif dan upaya merangkul dinamisnya zaman. Tidak hanya saya menemukan nilai-nilai masa kecil yang ternyata bermakna begitu mendal, tetapi juga banyak ilmu dari mereka yang pinggiran, pedesaan, atau wong cilik. Karena mencari ilmu atau ngelmu bisa dari mana saja, yang penting pelajaran apa yg bisa kita petik darinya.

Kumpulan esai Kalakanji ini sayangnya tidak sedahsyat dua buku lain yg sudah saya baca. Temanya tidak runtut, pembahasannya beda-beda sehingga lebih mirip bunga rampai esai dengan berbagai kepentingan, dan gaya menulisnya tidak konsisten. Hal yang lumrah kita jumpai dalam sebuah kumpulan tulisan. Karena Kalakanji ini memang belasan artikel dan esai beliau yang dikumpulkan dari tahun sebelum 2000 lalu dipaksakan untuk dijilid dalam dua tema besar: budaya dan sastra.

Esai-esai awal dan paling akhir menurut pendapat saya adalah yg paling menarik. Bagian awal penulis menggelar pengetahuan kecil tapi jarang diketahui terkait budaya Jawa dan juga Jogja. Jenis tema yang sangat saya gandrungi. Bagian akhir tentang proses kreatif penulisan puisi yang menurut saya berhasil beliau tulis dengan runtut dan dengan bahasa sederhana sehingga cocok diterapkan anak smp, SMA, dan mereka yang pemula dlm menulis puisi. Salah satunya, menulis sastra memang membutuhkan olah rasa dan pikiran karena itu memang dibutuhkan diam agar bisa berkonsentrasi. Mungkin inilah jawaban dari mengapa mengarang itu tidak gampang. Kita cenderung untuk gegas bergerak, bukan diam dan ketinggalan.

Esai esai lain banyak yang sifatnya pesanan. Meskipun setelah dibaca alasannya memang tulisan-tulisan ini ditulis sebagai pembuka atau pendamping dari suatu acara atau kegiatan. Jadi memang tidak murni pesanan, bisa juga wujud kepedulian penulis pada salah satu sosok atau tema atau peristiwa. Sayangnya, pada esai esai jenis inilah standar esai terasa jatuh karena tema jadi terbatasi dan penulis tidak diberi panggung untuk menunjukkan ciri khasnya. Batasan tema dan tuntutan momen menjadikan tulisan terasa monoton dan standar. Contohnya ketika penulis mengutip tujuh jenis kecerdasan sampai dua kali dengan model salin semua.

Rasa memang memiliki poin utama dalam mencipta karya sastra. Tanpanya, sebuah tulisan bisa terasa hambar, mengenyangkan, menyenangkan, ataupun membosankan. Produktivitas menulis memang harus diutamakan karena penulis juga tidak selamanya bisa mencari makan lewat tulisan tulisan idealisme. Keberadaan pasar memang harusnya jadi pendukung penulis dalam mempertahankan hidup dan kemudian melanjutkan idealismenya. Pada akhirnya, melestarikan idealisme juga akan terganjal jika sumber penghidupan tersendat tidak lancar.

Kayaknya saya kudu koleksi karya-karya beliau deh.

No comments:

Post a Comment