"Sejarah mencatat, republik ini lahir karena anak-anak muda pecinta buku yang peduli pada bangsanya. Para founding fathers kita--Tan malaka, Sukarno, Tirto Adi Suryo, Marco Kartodikromo, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Agus Salim--adalah para pecinta buku yang mau belajar dari buku dan berani berbuat." (Anton Kurnia)
Tanggal 17 Mei lalu, kita memperingati Hari Buku Nasional. Dalam waktu yang hampir bersamaan, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan laporan sebuah penelitian dari sebuah lembaga luar yang menyebut hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang suka membaca buku. Dengan kata lain, indeks minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Sebuah prosentase yang sangat rendah tentunya karena angka itu membuat negara kita hanya lebih tinggi dari negara Botswana yang letak tepatnya penulisnya juga belum tahu ada di mana. Tanpa mengenyampingkan beragam variabel yang menelurkan hasil penelitian Internasional tersebut, tetap saja kita layak merasa miris seraya mencoba tabah mengakui betapa minat baca di sekitar kita memang masih sangat rendah. Jamak kita jumpai, di tempat-tempat umum, lebih banyak orang yang sibuk dengan gawainya ketimbang orang yang asyik dengan buku di tangannya.
Membaca buku secara umum memang masih dianggap sebagai sesuatu yang mewah di negeri ini. Banyak kita, yang dengan entengnya, mengeluarkan uang Rp50.000 untuk membeli paket data namun butuh berpikir lebih dari lima kali saat hendak membeli buku dengan harga yang sama. Buku dan membaca buku memang masih sesuatu yang asing bagi kebanyakan kita. Ini sebuah fakta yang miris sebenarnya karena jika kita mau membuka lembar-lembar sejarah, bangsa ini dibangun oleh orang-orang besar yang gemar membaca buku. Dalam tulisannya yang sangat inspiratif untuk memperingati hari Buku Sedunia, Zen RS, menyebut Indonesia sebagai sebuah nation yang dibangun salah satunya oleh para pecinta buku, pemamah buku, dan para penulis buku.
Baik Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, M. Syahrir, dan Pram sama sadar bahwa bukulah yang membuat mereka tiba pada titik keberadaan mereka saat itu. Buku telah mempertemukan Soekarno dan Hatta dengan tokoh-tokoh besar dunia, memunculkan inspirasi sekaligus dorongan tentang gerakan kemerdekaan. Begitu juga, Tan Malaka, M. Syariffudin, Moh. Yamin, bahkan hingga Musso yang kiri itu. Ada sebuah kisah menarik disampaikan oleh Zen RS dalam tulisannya "Sejarah Indonesia Sebagai Permusyawaratan Buku" tentang pertemuan antara Musso dan Soekarno yang diakhiri dengan saling bertukar buku. Soekarno memberikan kepada Musso yang baru kembali dari pembuangannya di Uni Soviet buku Sarinah karyanya, sementara Musso berjanji akan memberikan buku karyanya segera kepada Soekarno. Terlepas dari buku Musso yang malah membuat keduanya saling bersebrangan, patut kita rayakan perjumpaan mereka yang diwarnai dengan saling bertukar karya intelektual berupa buku, bukan tukar proyek atau grativikasi.
Ketika perjuangan fisik belum cukup, maka diperlukan pergerakan dalam jalur lain, jalur yang kemudian ditempuh juga oleh para tokoh pergerakan nasional, yakni jalur literasi. Ditulislah kemudian buku-buku yang kelak akan dibaca dan turut mendorong serta mengobarkan keinginan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Buku-buku yang membuat tokoh-tokoh muda itu mantap kukuh mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Soekarno menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933), Moh. Hatta merampungkan Alam Pikiran Yunani, Sutan Sjahrir menghasilkan Perjuangan Kita, dan Tan Malaka menyusun Madilog-nya nan masyhur itu. Dalam situasi nyawa terancam karena perang, atau tubuh dan pikiran terasingkan dalam masa pembuangan, mereka masih produktif menghasilkan karya pikiran nan spektakuler. Tentunya, selain menulis, orang-orang besar ini juga tidak melupakan membaca karena tidak mungkin buku-buku besar itu keluar dengan sendirinya dari pikiran tanpa adanya asupan bacaan yang bagus.
Begitu banyaknya buku-buku dan orang-orang yang mencintai buku dalam sejarah berdirinya republik tercinta ini, semestinya kita malu ketika sebagai generasi penerus kita malah jauh-jauh dari buku. Terlebih, ketika pendidikan dan akses terhadap buku saat ini tidak sesulit seperti zaman penjajahan dulu, selayaknya kita lebih banyak berkarya dan juga membaca. Masih mengutip tulisan Zen RS yang sangat menyadarkan di Hari Buku Sedunia kemarin, tentang Mantan Perdana Mentri kita, Amir Sjarifuddin yang bahkan tidak bisa lepas dari buku hingga menjelang akhir kehidupannya. Setelah kegagalannya dalam Perundingan Renville yang membuatnya turun dari kursi kekuasaan, beliau semakin tertarik pada paham kiri yang akhirnya membuatnya dituding terlibat langsung dalam Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Hukumannya adalah eksekusi mati.
Mencintai dan beserta buku sampai akhir hayat, para bapak bangsa kita benar-benar para pecinta dan pembaca buku. Malulah kita sebagai generasi penerus bangsa kepada para mereka jika membaca pun kita masih malas. Padahal, para pendiri bangsa ini mencintai dan beserta buku sampai akhir hayatnya. Mari kita membaca buku. Jika pun kau belum sempat membacanya, maka timbunlah dulu karena sebaik-baik menimbun adalah menimbun amal kebaikan dan menimbun buku
No comments:
Post a Comment