Judul: Rival Brother
Pengarang: Sayfullan
Penyunting: Vivekananda G
Tebal: 285 hlm
Cetakan: 2017
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Pengarang: Sayfullan
Penyunting: Vivekananda G
Tebal: 285 hlm
Cetakan: 2017
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Sudah lama saya tidak membaca novel seri remaja. Jadi
wajarlah kalau awal-awal membaca “Rival Brother” ini saya agak kagok-kagok
gimana gitu karena saya tidak seganteng Tristan eh sudah lupa rasanya jadi remaja (begini ...
saya lebih memilih kata DEWASA ketimbang TUA).
Jadi begini, beberapa bulan terakhir ini saya nekat baca buku-buku karya
para pengarang senior macam Kuntowijoyo, Borges, Agus Noor, dan Newt Scamander
sehingga stabilitas saya hampir goyang gitu saat disodori novel remaja ini. Mau
tak mau, sel-sel kelabu di otak saya butuh menyesuaikan diri terlebih dulu
untuk bisa menikmati bacaan merah jambu ini agar bisa menghasilkan ulasan yang
jujur sekaligus tetap tidak terasa menjilat ke penulisnya awww dijilat dong
Beib. Maaf sebelumnya buat bang Say karena saya butuh agak lama bacanya. Bukan
maksud sok sibuk atau apa, tetapi kata orang, semua yang didapatkan dengan
perjuangan dalam waktu lama maka hasilnya akan lebih berbekas. Cinta juga
demikian, konon. Sebenarnya, halaman 1 – 19 bisa saya selesaikan dalam sekali
duduk, tetapi begitu sampai Chapter 1 kecepatan baca saya langsung bubar jalan.
Kenapa? Karena saya pengen kayak Tristan tapi sayang tinggi badan tak
mengizinkan. *batuk duit
Secara kasar (Bang Say, jangan kasar-kasar ih mainnya) novel
ini mengisahkan kisah (halah, editor opo koe ki Yon) dua kakak-adik yakni Tristan
dan Elnino, yang bersaing demi mendapatkan hati seorang cewek bernama Afta. Sejak
awal-awal kisah, saya sudah mau males nerusin baca karena the story is so
typical, as well as the characters. Tristan yang ketua tim basket sekaligus
anggota rohis sekolah (Duh, jadi pengen punya anak kayak Tristan gini). Elnino
yang walau badboy tapi tetap punya
pesona sendiri dan tidak kalah populer dibandingkan kakaknya. Sedihnya
lagi, saya sama sekali nggak ada mirip-miripnya sama mereka berdua. Ini yang
bikin saya sebel! Oke skip. Kemudian, masuk bab 1 saya langsung ketemu sama Afta yang SMA
bangetsssss. Sudah deh, mood baca saya langsung terjun bebas membayangkan
cerita novel ini bakal se-flat kisah-kisah FTV* yang predictable banget endingnya itu. Tetapi, bukankah Pak Kyai mengajarkan kita untuk tidak
berprasangka sebelum merasakan sendiri. Jadi, saya pun memantapkan tekad untuk membaca buku ini
sampai selesai tadi malam. Ternyata, Pak Kyai memang selalu benar. Jangan
berprasangka sebelum mencoba merasakan sendiri. Saya larut pada serunya persahabatan geng Afta, pada cute-nya
interaksi Tristan – Afta, juga pada karakter Elnino yang labil nggak
ketulungan. Saya tak malu mengakuinya, membaca buku ini mengingatkan saya pada
indahnya masa remaja.
Jadi, Tristan dan Elnino ini memperebutkan Afta, sementara
Afta bingung mau pilih yang mana. Elnino sendiri sudah pacaran sama Farrah,
sementara Tristan masih jomlo setelah ditolak Farrah, tapi Elnino tetap nggak
mau ngalah sama Kakaknya. Panjang ya? Ember,
kalau kata Mbak Ajjah yang sama rumpiknya dengan Bang Say. Receh sih, ceritanya kok ababil banget, tapi saya
langsung sadar diri bahwa ini memang novel remaja. Malah nggak nyambung kalau novel
remaja tapi kisahnya dewasa, apalagi
dewasa plus-plus. Bahaya!!! Bang, kapan-kapan nulis cerita dewasa juga ya,
dewasa dalam tanpa petik gitu *kedip-kedip ganas. Dari awal, nuansa Rival
Brother memang sudah remaja banget: taruhan nggak penting antara Tristan – El,
labilnya Afta saat harus memilih antara dua cowok, persaingan antar geng cewek
yang lebih serem daripada antrean di kasir saat awal bulan. Awalnya saya “meh”
gitu, tetapi setelah berulang kali saya mengingatkan diri bahwa Rival Brother adalah novel remaja, saya
kok malah menyukai semuanya. Memang, akan lebih adil menilai sesuatu sesuai
porsinya. Saya mencoba menempatkan secara adil, buku populer ya jangan
dibandingkan dengan buku sastra berat. Membaca sebuah novel remaja ya kudu coba
dengan sudut pandang pembaca remaja walau saya sudah tidak remaja sejak
belasan tahun lalu.
Afta yang labil, Farrah yang cantik tapi percaya zodiak,
Nanda yang imut tapi setia, Javier yang nyentrik, Tristan yang tipikal anak baik-baik
banget, El yang badboy ababil; semua karakter ini relatabble banget sama kehidupan anak-anak SMA zaman now. Entah ya
kalau SMA yang sekarang, tetapi dengan ketidakdewasaan karakter-karakter mereka
justru makin menguatkan kalau novel ini memang pas untuk pembaca remaja.
Biarkan anak-anak muda itu menjelajahi dunianya, melakukan kesalahan, dan kemudian mereka belajar dari
kesalahan itu. Izinkan mereka jatuh cinta, lalu terluka. Setidaknya mereka pernah
merasakan sakitnya dan tidak ingin orang lain juga merasakan sakit yang sama
akibat ulahnya. Seperti kata El di halaman 138: “Tapi, gue yakin luka bisa lebih ampun memberi pelajaran daripada
perhatian.” Tokoh yang terlalu sempurna malah lebih mengundang rasa iri
ketimbang rasa mawas diri. Untung saja Tristan hanya satu orang di buku ini.
Kalau ada masukan buat novel ini mungkin perpindahan sudut
pandangnya yang agak tidak teratur. Yah, walau hanya El dan Afta yang bercerita
di Rival Brother, tetapi tidak ada kode
yang jelas saat keduanya mulai bercerita. Mungkin, font-nya bisa dibedakan
antara Afta dan El, jadi pembaca langsung ngeh
kalau yang ngomong si cantik Afta, bukan si badung El. Saya juga agak
kurang cocok dengan banyaknya “kebetulan bagus” yang muncul di novel ini. Yha
memang sih, kalau sudah jodoh semesta akan mendukung, tetapi sepertinya semesta
terlalu ikut campur dalam kisah Afta. Mulai dari pertemuan mereka, hingga kedua
orang tua yang sohiban, trus Ainun dan Mufi yang seolah mengorbit banget ke
Afta, sampe mereka ikut pindah ke Jakarta ketika Afta pindah ke Jakarta. Juga,
Afta yang seolah ga perlu perjuangan banget untuk bisa jadi cewek populer di
sekolah barunya padahal baru pindahan. Si Afta ini kalau di serial Rick Riordan
pasti puterinya Dewi Aphrodhite deh karena semua kebetulan bagus sepertinya
berpusar mengelilingi dirinya.
Deskripsi karakter
menurut saya (menurut saya loh ya) juga kurang detail, Bang. Saya belum bisa membayangkan seperti apa
sosok Afta yang berambut pendek dan punya poni itu. Juga sosok El dan Tristan,
jujur saya sulit membayangkan mereka kecuali anak SMA yang ramping dan tinggi. Untuk
alur dan kejutan di belakang (hmmm ... kok istilahnya gini amat yha) sudah
lumayan kece kok, ada naik turun sebelum klimaks (?), serta sejumput “umpetan”
yang menerbitkan rasa penasaran. Covernya juga, walau manis dan eye-cacthing
abis, tapi menurut saya kurang cowok. Tapi setelah saya amati, ternyata ada
perintilan-perintilan kecil yang menggambarkan detail novel ini dan itu saya malah jadi sukak:
gajah, air kobokan (infuse water woy!),
lambang-lambang zodiak, daun mint, dan stroberi. Eh stroberi ini di bagian mana
yha kok saya lupa? Pada akhirnya, “Jahat
dan baik memang sebuah pilihan.”(161). Terima kasih telah menjadi baik dengan menulis novel yang
menghibur ini Bang.*peluk klomoh*
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlay
ReplyDelete