Judul buku: Drunken Monster
Penulis: Pidi Baiq
Penulis: Pidi Baiq
Ilustrasi Sampul dan Isi: Pidi Baiq
Penerbit: Pastel Books
Cetakan: 4, Agustus 2015
Tebal: 290 halaman
Penerbit: Pastel Books
Cetakan: 4, Agustus 2015
Tebal: 290 halaman
Kalau saja belum baca Dilan, saya pasti bakal terkaget-kaget
dengan gaya menulis (dan gaya bagi-bagi duit) Pidi Baiq yang sangat nyentrik di
buku ini. Beberapa kalimat urutannya bolak-balik, kadang bikin jengkel naluri
editor. Tapi, seperti dicantumkan dalam pengantar buku ini, kisah-kisah dalam
buku ini ditulis untuk mencairkan apa-apa yang terlalu normal dan formal di
kehidupan kita. Lewat petualangannya, Pidi Baiq mengajak kita berdialog dengan
orang-orang pinggiran yang sering kali hanya lewat begitu saja dalam batas
pandangan. Buat orang-orang yang terlampau kaku (kayak saia), apa yang
dilakukan si tokoh aku di buku ini mungkin iseng yang keterlaluan--yah walaupun
Pidi kemudian menutupinya dengan memberikan uang dalam jumlah lumayan kepada
para korbannya. Tidak hanya ibu penjual rokok dan tukang becak depan kompleks
yang dikerjain Pidi di buku ini, sampai Pak Polisi pun iyaaaa. Ampun bener kan
yha!!!
Saya awalnya kurang setuju dengan si aku yang banyak
bohongnya hanya untuk menyalurkan rasa isengnya. Tetapi, semakin ke belakang,
saya kok mulai memaklumi (dan menikmati) keisengan-keisengan si tokoh yang
lebih digerakkan oleh jiwa kreatifnya dan bukan oleh niat yang buruk. Lagi
pula, untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar berbeda kadang memang
diperlukan cara-cara yang juga berbeda dari biasanya. Kapan lagi bisa gantian
minta uang ke pak polisi kalau tidak dengan ide pura-pura ketinggalan SIM.
Kapan lagi bisa mengajak para tukang becak nongkrong ke kafe kekinian kalau
tidak diakali dulu (walau akhirnya memang terbukti para tukang becak itu cenderung
merasa kurang nyaman saat berada di kafe). Dalam pandangan saya, Pidi Baiq
dengan kreativitasnya sendiri memilih untuk usil sebagai caranya berbagi kepada
orang-orang lain.
Orang bilang, kita harus sesekali keluar pakem untuk bisa
jadi orang kreatif. Ini sepertinya yang juga hendak ditunjukkan penulis lewat
seri ini. Ya nggak keluar pakem gimana kalau pagi-pagi sehabis nganterin anak
eh dia udah nyangsang di Tangkupan Perahu. Udah gitu, pas turunnya pakai drama
ngusilin mamang pejual rokok. Dalam bab-bab buku ini, kita akan diajak
menyaksikan tingkah polah Pidi dalam mengusili orang-orang kecil. Tidak dengan
maksud untuk mengganggu mereka, tetapi untuk menyadarkan mereka (dan mungkin
juga kita) bahwa hidup janganlah selalu kaku dan serius. Bagian pas Pidi berusaha
menenangkan istrinya yang marah karena dia pulang telat juga bikin ngakak tapi juga so
sweet mantap. Ada kalanya, bercanda itu baik dan menyenangkan, juga
mendekatkan orang-orang yang jarang dekat. Maka tidak mengejutkan, ketika
sampai di penghujung akhir buku ini, rasanya saya ingin terus berjalan-jalan
menikmati kota Bandung bersama si tokoh aku yang asyik-nyentrik tapi baik ini.
Bahkan sampai di penghujung belakang buku ini, Pidi Baiq
masih menyisakan pancingan tawa dalam biodata singkatnya. Simak saja: “Selain menulis
dia juga makan diakhiri dengan minum. Kalau mandi suka telanjang. Selalu ingin
sembuh kalau dia sedang sakit. Dilan banget kan ya wkwkwk. Bintang tiga,
jangan?
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete