Judul: Pacarku Jatuh dari Langit
Pengarang: Heruka
Penyunting: Diandra Kreatif
Tebal: 624 hlm
Cetakan: 1, Mei 2017
Penerbit: Diandra Kreatif
Pertama,
saya suka sama cara penulis mengulirkan cerita, lancar sekali. Sejak halaman awal, saya sudah merasa betah
membacanya, lebih karena teknik penulis yang lumayan terasah dan bukan karena
ceritanya. Kisah tentang malaikat yang jatuh ke bumi dan jatuh cinta pada
manusia sudah beberapa kali diangkat dalam novel, di antaranya Hades dan seri The Mortal Instrument karya Cassandra Clare. Penulis kemudian mengangkat
lagi tema ‘malaikat jatuh (cinta)’ tapi kali ini dengan setting Indonesia, dengan dunia
SMA-nya yang khas. Ini yang bikin buku ini seger dan saya bisa bertahan
membacanya ... setidaknya sampai halaman 200-an. Melewati titik kritis ini, saya
mulai merasakan kebosanan. Pada 200 halaman pertama bisa saya selesaikan dalam 3 – 4
hari, tetapi setelah itu kecepatan baca saya menurun drastis sehingga akhirnya
butuh waktu hampir 2 minggu untuk membaca buku setebal 600 halaman ini. Ada
apakah?
"Pilihan untuk bahagia
akan selalu ada. Meskipun awalnya tak nampak seperti kebahagiaan. Itu semua
tergantung padamu, apakah kau akan mensyukurinya atau tidak.” (hlm. 127)
Saya
masih menjumpai masalah klasik yang sering muncul dalam buku-buku indie di buku ini: editing yang setengah hati. Entah bagaimana proses editing buku ini di tangan penerbit, tetapi saya pikir banyak
bagian dalam novel ini yang bisa dipangkas tanpa mengurangi atau mengubah jalan
cerita utamanya. Mungkin editor fokus ke typo dan tanda baca jadi agak abai pada ketebalan. Mungkin juga, penulis merasa sayang memangkas naskahnya. Saya bisa memahaminya. Memotong
sebagian dari naskah—yang ditulis dengan bergadang selama ratusan malam atau
dengan rela melewatkan hari libur di rumah—memang tidak mudah. Ibaratnya, kita
membuang sebagian dari hasil jerih payah. “Mikirnya susah-susah kok dibuang!”
gitu mungkin. Tetapi dalam dunia penerbitan, ketebalan naskah adalah hal yang
sangat sensitif karena akan berpengaruh pada harga buku (naskah tebal = kertas
lebih banyak = harga lebih mahal). Belum lagi dari sisi pembaca, penulis
sebaiknya juga mempertimbangkan apakah pembaca masih kuat membaca ratusan
halaman tambahan padahal seharusnya nggak harus gitu.
"Dan ingatlah, Lola,
rasa bersalah itu bukan sesuatu yang buruk. Jangan sampai itu mencegahmu
menjadi orang yang lebih baik” (hlm. 606)
Pacarku Jatuh dari Langit (setelah saya baca, sepertinya judulnya
lebih cocok kalau Pacarku Turun dari
Langit) berkisah tentang guardian. Jadi,
konon setiap manusia punya guardian yang
akan menjaganya. Nah, ini adalah
kisah seorang cewek remaja bersama Lola dengan guardiannya yang bernama Revan. Lola
tinggal bersama adiknya di sebuah rumah susun sederhana. Ayah dan ibunya sudah
bercerai. Ibunya menikah lagi dan bahagia dengan keluarga barunya. Sementara
sang ayah memutuskan bekerja di pertambangan yang jauh agar tidak terkenang
mantan istrinya. Lola harus menjaga adiknya, sekaligus tetap menjalani
kehidupan normalnya sebagai anak SMA. Lola bahkan mengambil pekerjaan paruh
waktu menjadi pelayan kafe untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan adiknya.
Mungkin karena keteguhan Lola inilah dia dihadiahi seorang eh sesosok guardian
berwujud cowok ganteng bersayap.
Dari
ini, saya sudah siap-siap. Jangan-jangan, Lola jadi klepek-klepek sama Revan kayak Bella
yang menye-menye sama Edward
Cullen. Syukurlah, itu tidak terjadi. Tampak sekali kehidupan telah menempa
karakter Lola menjadi gadis keras yang tidak mudah ditaklukkan. Dia memang ada
rasa sama Revan, tetapi gadis itu lebih sering bikin Revan pusing ketimbang
membuat hatinya berbunga-bunga. Sosok Lola benar-benar mampu menggambarkan
ungkapan ‘wanita kadang memang sukar dimengerti’. Saya sendiri sampai geregetan
‘ini Lola maunya apa sih!’. Dalam membentuk karakter Lola inilah penulis layak mendapatkan acungan jempol. Lewat
karakter Lola yang berubah-ubah, saya bisa menemukan sosok terluka yang utuh.
Lola tidak sok-sokan kuat terus, kadang dia menangis di dalam hati, bahkan
dia sempat berpikir untuk mengakhiri semua. Lola adalah sosok
protagonis yang manusiawi, dan inilah yang bikin karakternya menarik. Sementara
sosok Revan mungkin sudah sering kita jumpai dalam karakter pahlawan yang
ganteng-tapi-cenderung-membosankan, begitu mudah ditebak. Sementara, Lola adalah sosok yang penuh enigma.
Bahkan, dibanding Revan, saya lebih memilih Juno.
Untuk
salah ketik, saya kok tidak menemukannya *mungkin kelewat maaf. Mungkin ada beberapa kata yang belum
baku, tetapi tidak sampai mengganggu (misalnya hutang dan nampak). Sekali lagi, yang paling mengganggu
adalah tebalnya buku ini. Ceritanya sebenarnya sederhana, bisa digambarkan
seperti ini:
1. Lola ketemu Revan
2. Lola pelan-pelan mulai jatuh cinta sama Revan
3. Revan membantu Lola melalui berbagai cobaan
4. Lola menemukan fakta tentang ayah dan ibunya
5. Lola menjadi incaran kaum mud, yang merupakan lawan dari guardian
6. Revan berjuang melindungi Lola dari para mud
7. Pecah pertempuran antara para guardian dan mud
8. Pengorbanan
Garis
besarnya mungkin seperti itu. Terlihat sederhana mungkin, tetapi menjadi tidak
sederhana ketika kita membacanya dalam cerita yang sudah utuh. Saya terutama
kagum sama kemampuan penulis mengekspresikan ungkapan perasaan dalam kata-kata
yang tertuang di atas kertas. Banyak sekali kutipan kalimat yang bisa mewakili
hal-hal yang kita rasakan di dalam diri. Ini salah satu yang bikin saya bertahan
sampai halaman 600 walau kalau boleh jujur, secara cerita saya belum puas
karena ending-nya belum seepic yang
saya nantikan meskipun penulis juga mampu dengan cerdas menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang awalnya saya
kira bakal jadi plothole—meskipun jawabannya
juga belum sangat memuaskan sih. Ending-nya memang
dibiarkan menggantung sehingga membuka kesempatan kepada pembaca untuk
menafsirkan sesuai versi masing-masing. Ini teknik yang bagus, tetapi juga
berpotensi bikin pembaca tidak puas.
Setelah sampai di halaman terakhir, saya masih belum mendapatkan jawaban memuaskan atas sejumlah pertanyaan. Saya masih bertanya-tanya benarkan ibu Lola begitu tega meninggalkan dia dan adiknya sebatang kara, bahkan dia sibuk dengan keluarga barunya yang kaya raya. Saya tahu, apa pun bisa terjadi dalam dunia fiksi, tetapi perasaan seorang ibu tak akan pernah menipu. Juga, gimana nasib para mud yang sayapnya berubah, lalu kemana si Revan pergi (dia mati ataukah harus menjalani hukuman abadi), juga tentang asal muasal mud dan guardian ini saya juga masih butuh cerita lagi. We want more! We want more! Kesimpulannya, secara cerita, buku ini bisa dikatakan tidak mengecewakan, mungkin hanya sedikit melelahkan. Seandainya bisa lebih ditipiskan lagi, pasti lebih nikmat membaca buku ini—dan juga tidak menyita banyak kertas sebagaimana yang dikhawatirkan penulis di halaman-halaman belakang novel sangat tebal ini.
Setelah sampai di halaman terakhir, saya masih belum mendapatkan jawaban memuaskan atas sejumlah pertanyaan. Saya masih bertanya-tanya benarkan ibu Lola begitu tega meninggalkan dia dan adiknya sebatang kara, bahkan dia sibuk dengan keluarga barunya yang kaya raya. Saya tahu, apa pun bisa terjadi dalam dunia fiksi, tetapi perasaan seorang ibu tak akan pernah menipu. Juga, gimana nasib para mud yang sayapnya berubah, lalu kemana si Revan pergi (dia mati ataukah harus menjalani hukuman abadi), juga tentang asal muasal mud dan guardian ini saya juga masih butuh cerita lagi. We want more! We want more! Kesimpulannya, secara cerita, buku ini bisa dikatakan tidak mengecewakan, mungkin hanya sedikit melelahkan. Seandainya bisa lebih ditipiskan lagi, pasti lebih nikmat membaca buku ini—dan juga tidak menyita banyak kertas sebagaimana yang dikhawatirkan penulis di halaman-halaman belakang novel sangat tebal ini.
“Dan menjadi pelindung untuk orang yang kau
sayangi meskipun tanpa memiliki sayap, itu jauh lebih hebat.” (hlm. 111)
No comments:
Post a Comment