Jika
ada sebuah buku yang serupa harta karun bagi para pecinta buku, maka itu adalah
buku tentang buku. Penyusun buku ini, P. Siswantoro, benar-benar menunjukkan
kepada pembaca bentuk sejati dari seorang bibliophile alias kolektor dan
pecinta buku. Lewat Dari Buku ke Buku,
Sambung Menyambung Menjadi Satu, beliau mengejawantahkan kecintaannya
kepada buku dalam bentuk kumpulan ulasan buku miliknya dalam buku tebal ini.
Lebih istimewanya lagi, koleksi buku dan bacaannya pun tidak main-main, lebih
dari 200 buku yang terbit mulai dari abad ke-17 hingga awal tahun 2000-an.
Koleksi
naskah-naskah kuno yang telah dimiliki atau dibacanya pun tidak kalah elok,
macam naskah lontar yang memuat kitab Negara
Kertagama hingga naskah Pararaton. Tentu,
yang jauh lebih luar biasa dari koleksinya itu adalah kekayaan intelektual yang
disandang penyusun buku ini. Dengan ratusan atau mungkin ribuan buku yang telah
dibacanya, tentulah bersemayam dalam pikiran beliau kegemilangan ilmu
pengetahuan. Tidak mengherankan jika penulis pernah dipercaya sebagai wakil CEO
dan Direktur Umum jaringan penerbit buku terbesar di negeri ini.
Buku berjudul unik ini merupakan
kumpulan hasil pembacaan beliau atas tidak kurang dari 200 buku dan naskah.
Memang, tidak setiap buku diulas tuntas dalam satu bab—beberapa bab malah
berisi ulasan yang campur baur dari sejumlah buku—namun kita tetap bisa
mengikutinya karena gaya penulisannya yang luwes dan mengalir. Banyak pembaca
yang mendapati membaca buku ini ibarat mendengarkan dongeng dari seorang kakek
tentang buku-buku kesayangannya. Apalagi, kebanyakan buku yang diulas adalah
buku-buku yang termasuk buku kuno dan antic, jenis buku yang niscaya susah
untuk kita temukan di pasaran dewasa ini.
Menuliskan ulasan sebuah buku adalah
seuatu bentuk berbagi. Dalam hal ini, penulis membagikan informasi tentang
buku-buku bagus kepada khayalak pembaca. Pembaca menjadi mengetahui bahwa ada
buku-buku dashsyat semisal The History of
Java karya Raffles yang memuat sketsa reruntuhan Candi Borobudur, atau
tentang novel Buiten Het Gareel karya
Soewarsih Djojopoespito yang ternyata adalah roman pertama yang ditulis pribumi
di era Hindia Belanda. Mengulas buku, dengan demikian adalah sebuah kerja untuk
mendokumentasikan sekaligus mempromosikan karya-karya bagus yang memang selaiknya
diketahui khalayak pembaca luas. Buku ini, yang berisi kumpulan ulasan
buku-buku yang telah rampung dibaca, kemudian menjadi sebuah sumber informasi
yang tak kalah penting dari buku-buku yang diulas di dalamnya.
Tidak
sekadar rangkuman isi buku, P. Siswantoro menuliskan ulasan tentang buku-buku
tersebut lengkap dengan rincian fakta-fakta menarik serta nilai penting suatu
peristiwa yang dibawakan oleh suatu buku. Ini masih ditambah dengan analisa dan
pendapat si pembaca (dalam hal ini P. Siswantoro) terhadap suatu naskah.
Kemudian, kita dibawa melompat ke buku lain yang sejenis untuk kemudian saling
diperbandingkan dan saling melengkapi. Misalnya saat membahas Babad Tanah Jawi yang disambung dengan Pararaton dan Nagarakrtagama, dari satu buku ke buku lainnya, sambung menyambung
menjadi satu. Dengan cara ini, pembaca
akan mendapatkan banyak informasi hanya dengan membaca satu ulasan saja. Sebuah
teknik mengulas yang ringkas dan juga istimewa, serta tentunya mensyaratkan
kemampuan analogi dan pemahaman yang mendalam.
Membaca
buku ini, pembaca akan tergerak untuk ikut mencari-cari dan membaca buku-buku
yang pernah dibaca P Siswantoro. Begitulah sebuah buku yang bagus, ia membuat
kita semakin ingin membaca buku-buku yang lainnya. Paling tidak, kita jadi mengetahui
ada buku-buku serta naskah-naskah agung dari zaman dulu yang mungkin kita belum
berkesempatan untuk membacanya, atau malah jai tertarik membacanya setelah
membaca ulasannya di buku ini.
Buku-buku
apa saja yang ulasannya ditampilkan di buku ini? Ragamnya banyak sekali,
meskipun yang terbanyak adalah buku-buku nonfiksi sejarah. Melihat dari jenis
bacaan, penulis buku ini sepertinya memang penggemar buku-buku sejarah, buku
kuno, dan terutama nonfiksi. Ada aneka naskah kuno yang ditulis para pujangga
pribumi (Serat Centhini, Babad Diponegoro), karya-karya tentang
Nusantara yang ditulis oleh para penulis dari pihak colonial (De Java Oorlog karya PJF Low en ES de
Clerk dan De Atjehers karya Snock Hurgronje), hingga karya-karya mutakhir (Dari Penjara ke Penjara milik Tan Malaka
dan Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat karya
Cindy Adams). Bahkan tanpa membaca buku-buku aslinya, pembaca sudah mendapatkan
banyak hal tentang buku-buku dimaksud dalam buku ini.
Adapun tentang jenis buku, bacaan
berbau sastra tampaknya sangat minim di buku ini. Kecuali novel Het Gareen, hampir tidak ada bacaan dari
jenis novel klasik yang diulas. Bisa dibilang, ulasan buku di buku ini
didominasi oleh buku-buku sejarah yang sepertinya menjadi minat utamanya. Bahkan,
Het Gareen pun dipilih sepertinya
karena novel ini ditulis dalam bahasa Belanda oleh wanita pribumi. Sepertinya,
teks-teks berbahasa Belanda memang mendapat perhatian khusus dari penulis di
buku ini. Bahkan buku-buku roman terbitan Balai Pustaka semacam azab dan Sengsara karya Merari Siregar
atau Siti Nurbaya karya Marah Rusli
pun sama sekali tak tersebut. Sepertinya, ada bisa pada teks-teks berbahasa
Belanda dan asing yang lebih diutamakan si penulis.
Namun
demikian, bacaan nonsastra pun bisa diulas secara menyenangkan sehingga terasa
sama menariknya dengan buku fiksi bagi penggemar bacaan fiksi. Buku ini menjadi
bukti bahwa sudah semestinya tidak ada lagi pembedaan antara bacaan fiksi dan
nonfiksi. Tidak selayaknya membaca yang satu kemudian menjadikan yang satunya
lagi sepele. Seorang pecinta buku sejati sejati akan mencintai segala jenis
buku, fiksi atau nonfiksi, lama atau baru, modern atau kuno. Membaca buku-buku
kuno, seperti ditunjukkan di buku ini, akan menghadirkan pengalaman antik yang
menyenangkan, sebagaimana yang dibuktikan sendiri oleh penulis buku ini. Sebuah
buku tentang buku-buku. Aneka buku, sambung menyambung menjadi satu dalam
sebuah buku yang utuh, seperti bangsa besar ini.
Data
Buku:
Judul:
Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu
Penyusun:
P. Siswantoro
Penyunting:
Parakitri T Simbolon dkk
Tebal:
472 hlm
Cetakan:
ketiga, April 2016
Penerbit:
Kepustakaan Populer Gramedia dan Tembi Rumah Budaya
siti nurbaya disebut bang, coba baca lagi saat membahas balai pustaka dan saat purwa bikin kamus umum bahasa indonesia
ReplyDelete