Search This Blog

Monday, March 14, 2016

Miss Marple's Final Case

Judul: Miss Marple's Final Case
Pengarang: Agatha Christie
Penerjemah: 
Tebal: 172 hlm
Cetakan: 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

(books-parade4indah.blogspot.com)



Sebagai pembaca awal karya-karya Agatha Christie (baru tahun 2003 saya berkenalan dengan penulis ini lewat Iklan Pembunuhan), saya sering merasa kasihan sama Miss Marple yang seolah redup di bawah kebesaran Hercule Poirot. Kecenderungan para pembaca awal karya Agatha Christie adalah ingin membaca karya-karya yang ada Poirotnya karena konon kata teman-temannya yang sudah baca duluan, Poirot ini keren. Akibatnya, Miss Marple yang sebenarnya asyik ini jadi tersisihkan. Padahal, bersama di pasangan TT, ketiganya adalah tokoh-tokoh rekaan Tante Agatha yang asyik dengan ciri khasnya masing-masing. Saya tahu, luar biasa susah untuk menolak pesona Hercule Poirot dengan kumis kebanggaannya itu. Bandingkan juga seri Poirot yang mencapai 45 buku dengan seri Miss Marple yang hanya 16 buku saja. Tentu saja, penggemar Poirot lebih banyak. Ah, kalau saja mereka tahu pesona Miss Marple yang rumpik habis itu!

Tidak bisa dipungkiri, kesan pertama memang turut mempengaruhi penilaian saya. Saya lebih dulu bertualang bersama Sherlock Holmes ketimbang Hercule Poirot, sehingga tetap Sherlock-lah yang paling hebat di antara keduanya (menurut saya). Begitu pula, saya lebih dahulu bertemu Miss Marple sebelum kemudian disadarkan oleh teman saya tentang kehebatan Hercule Poirot. Dalam banyak hal, Poirot memang lebih mampu memenuhi ekspektasi kebanyakan pembaca yang merindukan sosok senyentrik dan tidak kalah dari Sherlock Holmes (banyak kritikus yang menduga, Tante Agatha mencipta tokoh Hercule Poirot untuk menandingi Sherlock Holmes). Sosoknya yang berwibawa memang jauh kalau dibandingkan dengan Miss Marple yang sudah nenek-nenek, suka rumpik pula wkwkwk. Tapi, justru dalam ke-rumpi-annya inilah, pesona Miss Marple berada. 


Mari sejenak pusatkan perhatian kita kepada Miss Marple, karena ini adalah buku tentangnya. Dalam delapan kasus pendek yang tersaji di buku ini, pembaca akan diajak berkenalan dengan sosoknya yang nyentrik dengan caranya sendiri (yang berbeda benar dari Hercule Poirot atau Sherlock). Sosok nenek yang ceriwis, suka ingin tahu urusan orang, dan sering berbicara melantur tentang masa lalunya. Bagi yang pertama ketemu dengannya, akan mudah menyimpulkan betapa menyebalkannya tokoh satu ini, yang sering kali dianggap akan menyamarkan fakta dan membingungkan fokus si pembaca. Namun di balik segala rempongisasi dan rumpik itulah tersembunyi kecerdasan luar biasa. Banyak pembaca yang terkejut saat menjumpai ending dari novel-novel Agatha Christie dengan Miss Marple sebagai tokoh utamanya. Hal yang sama terjadi pada saya saat menamatkan Iklan Pembunuhan sekian tahun lampau, sama sekali tidak menduga bahwa sang nenek rumpi inilah jagoannya.

Teknik menyembunyikan tokoh utama ini juga digunakan oleh Aoyama Gosho dengan Detektif Conannya, di mana tokoh utama disembunyikan dalam tubuh anak kecil, sehingga membuat pihak ‘musuh’ tidak curiga. Orang pasti akan berpikir dua kali sebelum bisa menebak bahwa  anak kecil seperti Conan atau nenek rumpi kayak Miss marple akan mampu memecahkan kasus yang sedemikian rumitnya. Agatha Christie pandai sekali memilih tokoh, dan kemudian memolesnya sedemikian rupa sehingga tokoh-tokoh hebat itu tetap terasa manusiawi—dan itulah yang membuat pembaca semakin cinta dengan karakter-karakternya, termasuk dengan Miss marple ini. Jika pembaca ingin mengenal Miss Marple secara lebih mendalam, bisa mencoba membaca versi versi novelnya seperti Iklan Pembunuhan dan 4. 50 dari Paddington.  

                Dalam buku tipis ini, pembaca hanya akan diperkenalkan secara sepintas-sepintas pada Miss Marple. Namun, yang singkat ini pun saya rasa sudah mampu menggambarkan sosoknya yang nyentrik. Metodenya memang agak berbeda dengan Poirot aatau Holmes, Miss Marple ini lebih sering menggunakan pendekatan personal untuk menggali data dan fakta, kemudian mendengarkan dan menyimak semua cerita yang ada sebelum disimpulkan secara metodis. Bisa dibilang, pendekatan Miss Marple ini adalah pendekatan lembut yang (mugkin) hanya bisa dilakukan dengan luwes oleh wanita tua sepertinya. Kecenderungan kita kan lebih mudah bercerita sama wanita yang kelihatannya sudah tua, bijak, dan akrab ketimbang pada wanita muda yang cantik—karena banyak mata-mata James Bond yang nyatanya cantik.

                Dari delapan kisah di buku ini, hanya enam di antaranya yang melibatkan Miss Marple secara langsung. Dua kisah yang paling akhir lebih seperti kisah yang dituturkan oleh Miss Marple atau temannya, entah. Kisah terpanjang di buku ini (yang menjadi ide untuk sampul edisi ini) agak-agak berbau supranatural. Siap-siap saja, pokoknya menjelang ending pembaca akan dibuat bergidik ngeri sekaligus trenyuh haru. Oops, semoga ini bukan spoiler. Untuk enam kisah lainnya, saya rasa sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan kepiawaian Miss Marple yang hebat namun dia tidak ingin dianggap hebat karena itu hanya akan merepotkannya. Dalam kisah pertama, Miss. Marple mampu memecahkan sebuah kasus sosok pria yang tertembak di sebuah gereja. Ada pula saatnya ketika nenek rumpik ini ternyata bisa membantu menemukan harta warisan yang disimpan dalam wujud yang sangat tak terduga. Semua kasus yang diajukan kepadanya, semuanya berhasil dipecahkan berkat pikirannya yang luar biasa metodis serta gaya komunikasi Miss Marple yang gampang akrab.


Pada akhirnya, para pembaca—begitu juga karakter-karakter dalam buku ini—akan terperanjat pada kepiawaian Miss Marple yang unik. Cobalah membaca Miss Marple juga, selain si hebat Poirot tentunya, dan siap-siaplah terpesona dalam cara yang lain dari biasanya. 

4 comments:

  1. Ketinggalan banyak nih. Saya sama sekali belum berkenalan dengan buku-bukunya Agatha Christi euy

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo, coba dibaca salah satu. Sering diobral kan buku-bukunya?

      Delete
  2. Mas Dion, apakah dikau sudah baca Tirai?
    *malah langsung bahas Poirot*

    Kalo nggak ketemu Miss Marple, mungkin sampe saat ini saya akan tetap beranggapan rumpik dan kepo melulu perbuatan hina. Padahal, kadang dari kepo lalu ikut campurlah bisa jadi seorang anak tetangga yang dipukuli bisa selamat, misal....
    Poirot dan Miss Marple emang "mateng". Jadi, kenapa dibuat Miss, lalu kepo, lalu tiba-tiba resek, lalu dia malah melantur tentang tetangga2nya di desa St. Mary Mead....
    Tapi..., semua itu ada maksudnya, loh, hihihihihi.... *ketawa rumpik*

    Satu lagi, kalo yang suka cinta, coba kenalan dengan Mr. Quin yang misterius. Siapa tau, dia bisa kasih solusi... >_<

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huum mbak, ternyata memang sengaja kepo dan rumpik demi menyamarkan maksud penyelidikannya

      Delete