Search This Blog

Tuesday, March 15, 2016

Sherlock Holmes, The Sign of Four

Judul: Sherlock Holmes, The Sign of Four
Pengarang: Sir Arthur Conan Doyle
Penerjemah: Sendra B. Tanuwidjaja
Cetakan: 3, Januari 2006
Tebal: 213 hlm
Penerbit: Gramedia

(sudutbukuhani.blogspot.com)

                Saat membaca Empat Pemburu Harta, entah kenapa saya tidak mendapatkan efek wow seperti saat saya selesai membaca seri-seri Sherlock Holmes yang lainnya. Mungkin karena kebiasaan madat Holmes yang langsung menerjang pembaca di awal (dan di akhir cerita) atau karena pemecahan kasus ini yang sepertinya sangat minim twits, tidak seperti kisah-kisahnya yang lain. Saya tidak menemukan momen manggut-manggut saat Holmes menjelaskan dugaannya. Sebagai tambahan, setelah pelaku tertangkap, harta karunnya ternyata … ah sudahlah daripada spoiler. Kalau boleh bilang, seri ini secara cerita dan puntiran cerita kurang kece dibanding The Hound of Baskerville atau A Study in Scarlet, misalnya.



Tapi, hal menarik yang bisa kita dapat dari buku ini adalah penulis banyak mengungkap versi kacau dari Sherlock Holmes, kita jadi tahu kenyentrikan dan sifat-sifat ganjil Sherlock Holmes yang malah kelelahan ketika pikirannya tidak terpakai. Watson sering mengkhawatirkan kesehatan sobatnya itu, yang sering kali tidak tidur selama berhari-hari kala tengah menangani sebuah kasus. Pembaca yang penasaran dengan perilaku Holmes ini akan menemukan jawabannya di buku ini.

"Otakku, ... tidak puas dengan berdiam diri. Beri aku masalah, beri aku pekerjaan, beri aku sandi yang paling rumit, atau analisis yang paling berbelit-belit, dan aku akan kembali menjadi diriku yang semula." (hlm. 7)

                Dalam buku tipis ini, Dr. Watson mengajak pembaca mendampingi Sherlock Holmes dalam memecahkan sebuah kasus terkait temuan harta karun agung dari Agra, India. Mary Morstan, seorang wanita berturban datang ke kantor Holmes untuk memohon bantuan dari sang detektif terkait surat dan butir-butir mutiara misterius yang diterimanya. Setelah ditelusuri, bertemulah ketiganya dengan Tuan Thaddeus Sholto yang mengejutkan Mary bahwa dia berkak atas separuh bagian dari sepeti harta karun dari Agra, India. Peti harta itu ditemukan oleh saudara kembarnya, Bartolomeus, di rumah peninggalan orang tuanya. Namun, begitu keempatnya menyambangi kediaman kuno tersebut, si pemilik ternyata ditemukan telah tewas karena diracun. Dari penyelidikan singkat, diketahui bahwa pelakunya meninggalkan jejak berupa telapak kaki yang ukurannya tidak lebih besar dari telapak kaki anak kecil.

                Dari yang semula perburuan harta, kasus itu berkembang menjadi tindak pembunuhan dengan pelaku yang kabur dengan membawa peti harta yang dimaksud. Holmes sekali lagi ditantang untuk menangkap sang pelaku yang sedemikian licin berkelit dari perangkapnya. Lebih dari itu, Holmes juga harus menemukan peti harta yang separuh bagiannya merupakan hak dari Nona Mary. 

Walau pemecahan kasusnya agak kurang memuaskan (menurut saya), di novel tipis ini Conan Doyle banyak mengungkap karakter Holmes yang nyentrikl mulai dari kesukaaannya mengisap kokain, metode penyelidikannya (Holmes cenderung lebih suka terjun langsung ke TKP, kadang ke markas musuh untuk menyelidiki—dia tidak gampang percaya dengan orang lain), kepiawaiannya dalam menyamar (yang pernah dikritik oleh Agatha Christie lewat tokoh Poirotnya), serta alasan mengapa Sherlock tidak mau menikah. Menurutnya, cinta adalah sesuatu yang emosional, dan apa pun yang sifatnya emosional bertentangan dengan penjelasan sejati yang dijunjungnya lebih tinggi dari apa pun. Plus, di novel ini pula akhirnya dr. Watson menemukan tambatan hatinya.



2 comments:

  1. Seumur-umur saya belum pernah baca cerita ala-ala detektif. Jadi makin pensaran ingin baca buku sejenis ini.

    ReplyDelete