Pengarang: Sir Arthur Conan Doyle
Penerjemah: Sendra B. Tanuwidjaja
Cetakan: 3, Januari 2006
Tebal: 213 hlm
Penerbit: Gramedia
Saat
membaca Empat Pemburu Harta, entah
kenapa saya tidak mendapatkan efek wow seperti saat saya selesai membaca
seri-seri Sherlock Holmes yang lainnya. Mungkin karena kebiasaan madat Holmes
yang langsung menerjang pembaca di awal (dan di akhir cerita) atau karena
pemecahan kasus ini yang sepertinya sangat minim twits, tidak seperti kisah-kisahnya yang lain. Saya tidak menemukan
momen manggut-manggut saat Holmes menjelaskan dugaannya. Sebagai tambahan,
setelah pelaku tertangkap, harta karunnya ternyata … ah sudahlah daripada
spoiler. Kalau boleh bilang, seri ini secara cerita dan puntiran cerita kurang
kece dibanding The Hound of Baskerville atau
A Study in Scarlet, misalnya.
Tapi, hal menarik yang bisa kita dapat dari buku ini adalah
penulis banyak mengungkap versi kacau dari Sherlock Holmes, kita jadi tahu
kenyentrikan dan sifat-sifat ganjil Sherlock Holmes yang malah kelelahan ketika
pikirannya tidak terpakai. Watson sering mengkhawatirkan kesehatan sobatnya
itu, yang sering kali tidak tidur selama berhari-hari kala tengah menangani
sebuah kasus. Pembaca yang penasaran dengan perilaku Holmes ini akan menemukan
jawabannya di buku ini.
"Otakku,
... tidak puas dengan berdiam diri. Beri aku masalah, beri aku pekerjaan, beri
aku sandi yang paling rumit, atau analisis yang paling berbelit-belit, dan aku
akan kembali menjadi diriku yang semula." (hlm. 7)
Dalam
buku tipis ini, Dr. Watson mengajak pembaca mendampingi Sherlock Holmes dalam
memecahkan sebuah kasus terkait temuan harta karun agung dari Agra, India. Mary
Morstan, seorang wanita berturban datang ke kantor Holmes
untuk memohon bantuan dari sang detektif terkait surat dan butir-butir mutiara
misterius yang diterimanya. Setelah ditelusuri, bertemulah ketiganya dengan
Tuan Thaddeus Sholto yang mengejutkan Mary bahwa dia berkak atas separuh bagian
dari sepeti harta karun dari Agra, India. Peti harta itu ditemukan oleh saudara
kembarnya, Bartolomeus, di rumah peninggalan orang tuanya. Namun, begitu
keempatnya menyambangi kediaman kuno tersebut, si pemilik ternyata ditemukan
telah tewas karena diracun. Dari penyelidikan singkat, diketahui bahwa
pelakunya meninggalkan jejak berupa telapak kaki yang ukurannya tidak lebih
besar dari telapak kaki anak kecil.
Dari
yang semula perburuan harta, kasus itu berkembang menjadi tindak pembunuhan
dengan pelaku yang kabur dengan membawa peti harta yang dimaksud. Holmes sekali
lagi ditantang untuk menangkap sang pelaku yang sedemikian licin berkelit dari
perangkapnya. Lebih dari itu, Holmes juga harus menemukan peti harta yang
separuh bagiannya merupakan hak dari Nona Mary.
Walau pemecahan kasusnya agak
kurang memuaskan (menurut saya), di novel tipis ini Conan Doyle banyak
mengungkap karakter Holmes yang nyentrikl mulai dari kesukaaannya mengisap
kokain, metode penyelidikannya (Holmes cenderung lebih suka terjun langsung ke
TKP, kadang ke markas musuh untuk menyelidiki—dia tidak gampang percaya dengan
orang lain), kepiawaiannya dalam menyamar (yang pernah dikritik oleh Agatha
Christie lewat tokoh Poirotnya), serta alasan mengapa Sherlock tidak mau
menikah. Menurutnya, cinta adalah sesuatu yang emosional, dan apa pun yang
sifatnya emosional bertentangan dengan penjelasan sejati yang dijunjungnya
lebih tinggi dari apa pun. Plus, di novel ini pula akhirnya dr. Watson
menemukan tambatan hatinya.
Seumur-umur saya belum pernah baca cerita ala-ala detektif. Jadi makin pensaran ingin baca buku sejenis ini.
ReplyDeleteWow kerenn
ReplyDelete