Search This Blog

Wednesday, March 9, 2016

Makan Malam Bersama Dewi Gandari

29067130Judul: Makan Malam Bersama Dewi Gandari
Pengarang: Indah Darmastuti
Tebal: 127 hlm
Cetakan: 1, Januari 2016
Penerbit: Bukukatta

“Dalam seni dan sastra itulah orang-orang kalah telah menang pada sisi peristiwa, ia menang sebagai manusia.” (hlm. 87)

Mampu menuliskan kisah-kisah getir dalam tulisan yang manis, begitu satu kalimat yang mungkin bisa menggambarkan kumpulan cerpen ini. Sebuah kumpulan cerita dengan dominasi tema perempuan (dan juga kemanusiaan) namun tetap enak dinikmati oleh pembaca yang bukan perempuan. Makan Malam Bersama Dewi Gandari berisi sembilan cerita pendek karya Mbak Indah Darmastuti yang kesemuanya pernah dimuat di media massa, baik surat kabar maupun majalah. Dengan demikian, cerpen-cerpen di buku ini tidak digarap semacam asal jadi demi eksistensi, melainkan telah ada yang membaca, mengapresiasi, serta menilainya sehingga sangat layak bila kemudian cerpen-cerpen ini terkumpulkan dan dibukukan.

“Hanya di perpustakaan lah tempat paling aman berada di antara jutaan gelombang pemikiran, kehendak, pendapat keras, atau lunak.” (hlm. 81)




1. Laki-Laki dari Langit
Seorang perempuan pemetik teh dipertemukan dengan seorang lelaki pengamat bintang. Cerpen yang manis ini ternyata berahasia di ending-nya, jenis rahasia yang akan membuat pembaca tersenyum malu-malu. Sambil menikmati alur kisahnya yang memikat, pembaca akan disuguhi dengan deskripsi setting khas Jawa Barat, membacanya saja sudah terasa sangat sejuk.

2. Di Jantung Batavia
Di jantung ibukota, dua kekasih kembali dipertemukan hanya untuk mendapati kepastian yang memisahkan. Cinta memang terkadang tidak mau menunggu, terutama bagi mereka yang ragu. Kepada mereka yang suka berahasia, cinta juga kadang berbeda sangka. Dalam banyak cerita, kesetiaan sering kali masih dikalahkan oleh seucap kepastian. Dari cerpen yang mengangkat setting unik ini (seputar naskah kuno nusantara), pembaca bisa belajar tentang betapa cinta terkadang memang susah disangka. Hal yang terbaik terkadang adalah segera menyatakannya ketika dia mulai tiba.

3. Getir Pesisir
Sebagaimana judulnya, cerpen ketiga ini terasa sekali aroma getirnya. Mengangkat kisah tentang para wanita yang dijanjikan pekerjaan cemerlang di tanah seberang hanya untuk mendapati kenyataan mereka sekadar dijadikan pemuas om-om senang. Tidak bisa melawan, kondisi yang terjepit, terjebak utang, dan dengan lingkaran setan yang terus menghabiskan hari-hari mereka; cerpen ini mengingatkan kita akan betapa berbahayanya kebodohan melalui sudut pandang para korban. Sastra mengajak kita untuk bisa lebih memahami kehidupan orang lain lewat kacamata mereka, dan cerpen ini adalah salah satu contohnya.

4. Di Pusat Lampu Merah
“Lajang-jalang yang sudah menunggunya di Pusat Lampu Merah Reeperbahn, tempat biasa bertebaran kupu-kupu malam dengan sayap-sayap yang menyembunyikan kekosongan.” (hlm. 27)

Pada kisah keempat, pembaca diajak melompat jauh ke benua seberang, ke Belanda yang terkenal dengan kawasan lampu merahnya. Kita saksikan di sini, sekali lagi dua pecinta dipertemukan di waktu dan tempat yang salah. Tapi, cinta memang sejak dulu sering kali buta, dan dia tetap memaksa meskipun sang pecinta harus berkorban terlampau banyak. Cinta buta dan kadang berbahaya, kisah seorang lelaki dengan Deborah sang pramuria di cerpen ini akan menggambarkannya dengan sendu, sesendu musim dingin di Amsterdam.

5. Raisha dan Sekotak Tanah
Nada cerpen ini sedikit mirip dengan cerpen pertama. Tokoh-tokoh di dalamnya terdera oleh sepotong kisah pahit di masa lalunya. Raisha dan si wanita tetangga menjadi cepat akrab karena keduanya pernah mengalami kepahitan yang sama. Dalam banyak kasus, hanya mereka yang pernah terluka yang akan lebih memahami orang yang sedang terluka. Manusia berpisah karena terluka, sementara yang lain mungkin dipersatukan oleh luka. Sebuah cerpen manis yang bikin trenyuh di hati pembaca.

6. Pelangkah
Seperti judulnya, pembaca mungkin sudah bisa menebak kisahnya yang mengangkat tema kerelaan sang kakak sulung untuk dilangkahi adik-adiknya. Mungkin, sudah sering kita dengar kisah-kisah kebesaran hati para kaka sulung ini di berbagai cerita, tapi cerita di cerpen ini tidak sampai di sini. Kadang, pelangkah memang harus diberikan (meskipun yang dilangkahi sudah lantang berseru ‘aku ikhlas’ karena dalam pemberian itulah terkandung restu dari sang kakak sebagai bukti cinta kepada adik-adiknya. Dan, cerpen ini ditutup dengan manis sebagai pembuktian betapa keikhlasan dan kesabaran akan selalu menemukan balasan yang terbaik.
“Dan, demi sebuah janji untuk bersama-sama berangkat menjadi tua, hingga angin dan alam menumbangkan usia.” (hlm. 50)

7. Perahu Rongsok
Dari seluruh cerpen di buku ini, cerpen ketujuh inilah yang menurut saya paling absurd meskipun pola besarnya masih bisa tertangkap. Pola kalimat dan nada tulisannya juga agak berbeda dibanding cerpen-cerpen sebelumnya. Cerita ini seperti menumpukan diri pada olah kata dan diksi untuk mempertegas efek getir-getir kelam saat membacanya.

8. Makan Malam Bersama Dewi Gandari
Ketertarikan penulis pada tema perempuan dan India terlihat jelas pada dua cerpen terakhir, yang mengambil hampir separuh halaman buku ini. Cerpen ini juga yang menjadi judul dari buku kumcer, bukan semata karena unik dan enaknya dirasa sebagai kata-kata judul, melainkan juga dari isinya yang benar-benar mendalam. Sebagaimana Divakaruni yang menulis Mahabharata dari sudut Drupadi, Mbak Indah menuliskan cerita seandainya Kunti bertandang ke kediaman Dewi Gandari selepas perang Bharatayudha yang telah menghabiskan 100 anak keturunan Kurawa. Dua perempuan dari kedua pihak bertemu untuk kemudian saling curhat memperebutkan siapa di antara berdua yang menanggung derita paling raya. Pada akhirnya, cerita ini dengan halus menyindir kita tentang betapa selalu perang hanya menghadirkan penderitaan.

“… memang pada dasarnya perempuan itu pemurah.” (hlm. 71)

9. Ashima, Titip Rindu untuk Calcuta
Cerpen panjang ini sebelumnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Femina sepanjang empat edisi. Settingnya tentu saja di India masa kini, namun dengan tema dan persoalan yang masih sama: ketertindasan wanita dan kemiskinan. Melalui sebuah cerita yang panjang (yang anehnya terasa pendek karena mengalir banget), penulis mengangkat tema tentang nasib perempuan di India. Tema yang agak berat sebetulnya, karena terkait budaya dan politik suatu bangsa. Layak kiranya jika cerpen ini sedemikian panjangnya. Hanya endingnya yang menurut saya kurang memuaskan, walau kerennya cerpen panjang ini ada pada tubuh ceritanya.

“Waktu dan pengalaman selalu menjadi sahabat yang baik dan ampuh untuk menyembuhkan luka.” (hlm. 80)

Menyelesaikan membaca Makan Malam Bersama Dewi Gandari tepat menjelang Hari Perempuan Sedunia merupakan sebuah berkah yang indah. Membaca kumcer ini semoga bisa membuat kita lebih peka pada suara-suara kecil di luar sana. Tidak mesti harus mencarikan solusi, terkadang mau memahami saja sudah cukup menguatkan.

5 comments:

  1. Kumpulan cerpen yang menarik. Mengangkat kisah perempuan dari berbagai sudut. Saya justru penasaran dengan cerpen Getir Pesisir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tema perempuan memang kental banget di buku ini, tp tidak kemudian menjadikan buku ini terlampau feminis. Lembut banget pokoknya tulisane hihi. Makasih sudah mampir.

      Delete
  2. Replies
    1. Iya, bahasanya lumayan berat jadi saya kurang bisa menjabarnya di ulasan ini hihihi

      Delete