Search This Blog

Tuesday, February 23, 2016

Melihat Api Bekerja


25325367        

Judul: Melihat Api Bekerja            
Penyair: Aan Mansyur
Sampul dan Ilustrasi isi: EmTe
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, 2015
Tebal: 160 hlm

 Membaca Melihat Api Bekerja adalah melihat puisi bekerja. Dan, puisi tidak pernah bekerja secara biasa, karena dia adalah istimewa. Seperti istimewanya jalinan kata-kata yang ditenung oleh Aan Mansyur (saya curiga penulis menenungnya dengan sihir kata-kata zaman lampau dalam wujud kekinian) dalam buku kumpulan puisi ini, berhasil membuat banyak pembaca—yang buta puisi sekalipun seperti saya—duduk termanggu menikmati kelincahan kata-kata. Dalam sastra, manusia baru bisa melihat kata-kata berkelit dan melompat sedemikian rupa dalam bentuk yang tidak biasa. Buku kumpulan puisi ini menjadi pembuktiannya. Bait-bait pendek dan panjang, sama-sama bertenaga!

                “Sebagian mimpi harus rela berhenti dan menjadi rahasia.” (hlm. 143)

                Dalam pengantarnya untuk buku kumpulan puisi ini, Sang Hujan Bulan Juni alias Bapak Seno GA menyebut bahwa sastra baru bisa disebut sebagai sastra ketika dia dituliskan. Syair semata, sebagai bentuk tutur-lisan—yang karenanya terancam hilang ketika ingatan mulai berkarat—membutuhkan sarana aksara agar tetap bertahan dan tetap bercerita kepada generasi-generasi setelahnya sebagaimana dia bercerita kepada kita kini. Dan, puisi-puisi dalam buku ini memang terasa sangat bercerita. Mungkin, inilah sebab mengapa membaca kumpulan puisi ini tidak terasa seperti membaca puisi. Kita seperti menyimak cerita yang dikisahkan lewat puisi-puisi, dengan bahasa puitis, dan diksi nan indah tertenung dalam larik-larik tak biasa.

                “Ada kalanya puisi seperti cinta. Tidak tahu di mana harus berhenti.” (hlm. 51)

                Sebagaimana karya prosa, larik-larik puisi penulis dalam Melihat Api Bekerja terasa sangat bercerita—padahal ini buku kumpulan puisi. Jika banyak puisi lain cenderung gegas dan padat menyingkat, membatasi (atau terbatasi) karena larik-larik yang cepat dan ringkas dengan tetap meruapkan efek dramatisasi, maka puisi-puisi di buku ini seperti dibawakan dengan lebih santai, dengan gaya seperti prosa. Dengan kata lain, puisi di buku ini terasa lebih ber-paragraf sebagaimana karya-karya prosa pendek. Namun, anehnya, larik-lariknya tetap bertenaga dan menyimpan nyawa sebuah puisi.

                “Berhenti. Jangan berangkat sebelum tiba,” katanya. (hlm. 80)

                Sebagai penyair, penulis juga piawai memanfaatkan hak licencia poetica yang dimilikinya semaksimal mungkin. Dalam larik-larik puisinya, dia pertemukan kata-kata yang jarang akur dalam keseharian sehingga memunculkan efek dramatis yang bertentangan, aneh, namun entah kenapa indah. Kreativitas ini memunculkan makna dan nuansa baru dari kata-kata. Dia membuat kata-kata saling berkelahi sehingga kita bisa menikmati suara-suara dari kata-kata yang mungkin selama ini jarang kita dengar gaungnya. Dalam puisi Menjatuhkan Bintang-Bintang (hlm. 27) misalnya,  Aan Mansyur mempermainkan hari-hari dalam seminggu menjadi kisah yang unik dan sangat bertenaga.

“Begini ramalan cuaca pekan ini. Besok, udara lebih cerah dari senyum bayi. Lusa, langit remaja jatuh cinta—ceria, panas, dan mengumpulkan hujan. Kamis penuh awan berbentuk tanda baca. Jumat, curah dari awan mirip kebun binatang. Sabtu, alam penuh api dan apa pun yang menyerupai itu. Minggu, tidak ada cuaca.”

Saat membaca puisi, kita sering terkaget takjub melihat keberanian penyair yang mendorong kata-kata ke batas-batas eksplorasi mereka. Kapan lagi kebun binatang bergandengan dengan awan kecuali di puisi? Atau, kapan lagi membenci itu bisa sebesar mencintai kecuali di puisi? Lewat puisi-puisi ini, Aan Mansyur kembali menghadirkan kebesaran puisi yang selama ini sempat tersisihkan dalam jagad pembaca, bahkan tanpa harus banyak mengumbar kata-kata tinggi dan penuh bebunggaan. Jarang sekali saya temukan kata-kata lampau atau sulit di buku ini, semuanya relative sederhana, hanya saja diolah sedemikian istimewa lewat pemanfaatan perangkat-perangkat khas puisi.

                “Aku tak pernah membenci apa pun sebesar aku mencintai matamu.” (hlm. 44)

Lebih istimewa lagi, buku kumpulan puisi ini dilengkapi ilustrasi karya MT yang terkesan absurd namun nyeni—mengingatkan pembaca pada ilustrasi-ilustrasi pada cerpen Minggu di surat kabar. Sementara Aan Mansyur memanjakan telinga dengan bait-bait puisinya, MT memanjakan mata pembaca dengan sapuan-sapuannya yang berani lagi berjuta makna. Sebuah perpaduan unik yang menawarkan sebuah pengalaman baru dalam menikmati sastra, inilah Melihat Api Bekerja. 

gambar: Goodreads.com dan sebuahsaja.files.wordpress.com

3 comments:

  1. wah saya udah baca ini, tapi belum review mas dion :)

    ReplyDelete
  2. Saya bacanya butuh waktu lama mas, hampir dua bulan hahaha. Dihayati dulu sih. Ayo mas diulas.

    ReplyDelete
  3. Permisi itu pengantarnya bukannya pak sapardi yah

    ReplyDelete