Cinta
memang tema yang klise namun entah kenapa terus ditulis dalam dunia literatur. Pembacanya—yang
juga mengherankan—ternyata masih saja ada, bahkan cenderung bertambah dari
waktu ke waktu. Pangsa novel romance memang tidak akan pernah sepi, terbukti
dengan selalu adanya buku-buku jenis ini (dnegan rak pajang tersendiri) di toko
buku. Sebenarnya, hal ini tidak mengherankan karena cinta termasuk salah satu
kebutuhan utama setiap manusia. Hidup tanpa cinta, akan tanpa makna,
begitu kata para pujangga. Fenomena
bertahannya buku-buku romance di kancah pebukuan dunia tidak bisa dilepaskan
dari kreativitas para penulisnya. Mereka mampu menghadirkan kembali kisah-kisah
cinta yang itu-itu saja dengan cara yang ada-ada saja. Hal lama yang disajikan
dengan kisah baru, menyesuaikan dengan kondisi zaman yang terus berubah namun
tetap dengan menampilkan inti utama: keagungan dan kekuatan cinta.
Bagaimana
penulis menuliskan ulang kisah-kisah lama dengan cara baru, ini adalah trik
penting dalam menulis sebuah buku yang akan tetap dibaca pembaca di sepanjang
zaman. Mengutak-atik plot, menghadirkan karakter-karakter yang lebih kekinian,
serta memolesnya dengan kalimat-kalimat berbunga agar pembaca terus terbius
dalam pesona kata-kata; inilah yang banyak digunakan penulis. Selain itu, demi
menarik minat pembaca yang mungkin kebingungan dengan serbuan novel-novel
romantis di rak pajang, salah satunya adalah dengan menghadirkan suatu
kontroversi atau kisah cinta yang tidak biasanya. Novel Hujan dan Teduh karya Wulan
Dewatra ini adalah salah satunya, yang menghadirkan cinta versi LGBT.
Juara
pertama 100% roman Indonesia tahun 2011 ini, selain memilih tema cinta yang
tidak biasa, juga digarap dengan alur yang unik. Pembaca diajak untuk menyimak
kisah dengan alur maju, lalu mundur, lalu maju lagi namun tetap cantik. Penulisannya
rapi, itulah yang membuat pembaca masih bisa mengikuti alur kisah besarnya.
Selain itu, alur flashback di buku
ini juga terbantu dengan font miringnya,
sehingga pembaca lebih mudah membedakan (seperti itu!). Hujan dan Teduh berkisah tentang Bintang Dewatra dengan kehidupan
cintanya yang tidak biasa—bisa dibilang, terlalu ramai. Pada alur maju, penulis
mengisahkan rona cinta Bintang di kampus saat dia kuliah dan berpacaran dengan
cowoknya, Noval. Sementara, untuk alur flashback,
pembaca diajak ke masa lalu Bintang saat dia masih sekolah di SMA. Waktu
ketika dia bertemu dengan Kaila—sahabat terdekatnya—yang kemudian menjadi
pacarnya. Oh iya, Bintang dan Kaila ini sama-sama cewek.
Membaca
Hujan dan Teduh ibarat membaca cinta
dengan banyak rasa. Cinta yang normal (Bintang dan Noval) maupun cinta yang
berbeda (Bintang dan Kaila). Uniknya, meskipun cinta—sebagaimana banyak hal
lain di dunia ini—memiliki dua sisi, penulis sepertinya hanya terfokus untuk
menyorot sisi kelam dari cinta. Lembar demi lembar buku ini memuat penderitaan
Bintang yang entah berapa kali terluka karena cinta. Setelah sebelumnya di SMA dia harus mencinta secara
rahasia karena cintanya yang jatuh kepada sesama wanita, maka di kampus pun dia
harus menderita lagi karena perlakuan Noval yang semena-mena. Ditinggalkan,
dikhianati, harus memendam perasaan karena ia tahu cintanya ‘salah’, mendapat
kekerasan dari laki-laki, merana karena sikap posesif yang berlebihan dari
pasangan, hingga kecelakaan-kecelakaan ‘fatal’ yang kadang menimpa sepasang
anak muda yang terlalu hanyut oleh nafsu. Jatuh cinta dalam buku ini
benar-benar jatuh sebenar-benarnya. Jatuh yang mengindikasikan rasa sakit,
luka, atau nyeri akibat gerakan jatuh. Rasa sakit yang harus ditanggung mereka
yang memutuskan untuk terjatuh karena cinta.
Kata
jatuh pada ‘jatuh cinta’ mengindikasikan bahwa cinta juga menawarkan rasa sakit
(selain juga tentunya menawarkan kebahagiaan). Sisi manis cinta, kita sudah
sering melihatnya dalam sinetron-sinetron dan drama Korea, sementara sisi sakit
cinta salah satunya bisa dibaca di buku ini. Baik itu cinta kepada sesama maupun
kepada lain jenis, semua ada duri dan madunya masing-masing. Bagi mereka yang
ingin jatuh cinta, tentunya juga kudu siap dengan rasa sakit yang mungkin kelak
mengiringi kebahagiaannya. Hanya saja, dalam kasus Hujan dan Teduh ini, saya gemes banget sama si Bintang yang entah
kenapa gemar banget berkubang dalam rasa sakit karena cinta. Perlakuan Noval
kepadanya yang sedemikian kasar, kok didiemin saja—entah apakah karena si
Bintang ini suka disakiti ataukan bentuk diam-pasrah ini semacam penebusannya
atas cintanya yang keliru di masa lalu. Sementara luka-lula baru muncul setelah
yang lama mengering, Bintang terus saja memaafkan Noval. Please, deh Bintang!
Cinta memang kadang sakit dan harus ditanggung, tapi pecinta
yang logis tahu sejauh mana dia bertahan untuk menanggungnya. Tapi, sejak kapan
sih cinta itu logis? Mungkin, inilah yang disebut dengan keanehan (atau malah
keajaiban cinta), ketika orang rela terluka karenanya, selain rela berbahagia
untuknya. Kepada kita yang menantikan untuk jatuh cinta, yang sedang jatuh
cinta, atau yang telah jatuh cinta; ingat senantiasa bahwa selalu ada rasa
sakit dan juga bahagia yang mengiringi cinta. Kita tinggal memilih: berpisah
dengan selalu mengeluhkan sakit itu ataukah tetap bertahan dengan berfokus pada
sisi bahagianya. Tapi, ingat juga bahwa ada batas yang tegas antara berkorban
demi cinta dan dikorbankan untuk cinta. Pecinta yang baik saling berkorban demi
pasangan, sementara pecinta yang buruk selalu mencari jalan untuk mengorbankan
pasangannya demi kesukaan dirinya pribadi. Semoga, kita jadi lebih bijaksana
dalam menjalani cinta.
Aku beli buku ini, karena suka desain sampulnya. Tapi lalu merasa sangat kecewa dengan kisah yang disajikan di dalamnya. Aku benci jalan ceritanya, aku benci tokoh-tokohnya. Aku mau buang buku ini tapi ga tega lihat dua kupu-kupu di sampulnya.
ReplyDeleteSetuju, ini sampulnya bagus banget tapi Bintangnya enggak banget :)
DeleteMas Dion, kalau kata pujangga itu "hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbungaaaa~"
ReplyDeleteHmm~ novelnya berasa suram dan kelam ya?
Wakakak dasar mbak Ina pasti gak pernah absen nonton dangdut wakakak.
DeleteEntah kenapa gak suram mbak, tapi ngenes wkwkwk
Belum pernah baca. Dan cinta yang banyak rasa itu seru kayaknya untuk diikuti. Wajarkah atau sebaliknya..?
ReplyDeleteEntahlah, yg jelas selalu ada luka dalam jatuh cinta. Tinggal kita bertahan atau tidak.
Deleteaku baca ini dan ga paham kenapa judulnya hujan dan teduh. isinya nggak ada hujan-hujan atau teduh-teduh sama sekali. :|
ReplyDeleteMungkin merujuk pada hubungan Bintang dan Kaila. Hujan dan Teduh sama-sama adem dan basah, melambangkan dua wanita yang sama-sama emmm wanita.
Delete-_- lah masa satunya wanita jadi-jadian mas
DeleteWakakakak iya maksudnya dua-duanya sama-sama wanita, sama sama bikin sejuk gt
DeleteDan juara pula... :))))))
ReplyDeletePecinta yang baik saling berkorban demi pasangan, sementara pecinta yang buruk selalu mencari jalan untuk mengorbankan pasangannya demi kesukaan dirinya pribadi. Semoga, kita jadi lebih bijaksana dalam menjalani cinta.
ReplyDeleteSetujhhu
Udah baca buku ini dan entah kenapa aku nggak terlalu begitu suka. Tertarik baca karena kavernya yang bagus banget :D
ReplyDeleteaku baru tau kalau buku ini ada unsur2 LGBT nya... agak sebel baca deskripsi bintang di reviewmu hihi
ReplyDeleteAku belum baca dan belum tertarik buat mengkoleksi.. Mungkin nanti bisa 'ambil langsung' dari koleksinya mas dion :p
ReplyDelete