Search This Blog

Wednesday, February 24, 2016

Mencari Setangkai Daun Surga

Judul: Mencari Setangkai Daun Surga
Penyusun: Anton Kurnia
Penyunting: Rusdianto
Cetakan: 1, Februari 2016
Tebal:384 hlm
Sampul: Zizi
Penerbit: Ircisod



      Sebuah kumpulan tulisan tentang pentingnya tulisan, Mencari Setangkai Daun Surga adalah sebuah catatan penting terkait sastra dan budaya, baik di Indonesia maupun di dunia. Tersusun atas 70 esai lepas, buku ini menjadi pengikat tulisan-tulisan Anton Kurnia yang bertebaran di media massa selama kurun waktu 2003 – 2015. Selain itu, ada juga sejumlah tulisan yang pernah dicetak sebagai pengantar dari beberapa buku. Meskipun sifatnya lepas-lepas, dengan pembahasan tiap bab yang kadang tidak berkaitan (tentang pisang dan selfie, misalnya), buku ini sangat enak dibaca karena pembahasannya yang bernas dan banyak mengulas tentang buku. Kita dapat mengambil banyak dari satu buku ini.

"Siapa tahu, dgn merenungi kegilaan orang lain, kita bisa lebih waras dan lebih bijak menghadapi kegilaan-kegilaan kita sendiri. … Membaca sastra, dengan demikian, adalah semacam tamasya imajinasi yg mengasyikkan dan barangkali ada gunanya." (hlm 69)

                Secara garis besar, buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama—yang menyusun hampir separuh dari halaman buku ini—kita dapat membaca 25 tulisan yang membincang beragam hal dalam khazanah kesusasteraan Indonesia dan dunia. Karena membicang dunia buku, kita bisa temukan banyak referensi buku bagus di bagian ini. Karya-karya sastra pengarang kelas dunia yang selayaknya kita baca demi berkembangnya dunia sastra dan kebudayaan bangsa. Di bagian ini, penulis juga mengupas cukup banyak tentang para sastrawan pemenang Novel Sastra yang jarang diungkap dalam dunia sastra tanah air.

"Sastrawan yang baik adalah saksi zaman dan masyarakatnya. Ketika kebenaran ditindas, dia harus jadi penyambung lidah rakyat lewat tulisan."

                Di bagian pertama ini, banyak juga tulisan lepas tentang para sastrawan besar Indonesia, tentang pentingnya peran penerjemah sebagai kurir sastra yang sebenarnya, juga tentang fakta bahwa banyak tokoh pendiri bangsa kita dulunya adalah anak-anak muda yang gemar membaca dan mau bergerak untuk mengamalkan ilmunya. Secara tersirat, penulis seperti hendak menekankan pentingnya kegiatan membaca bagi perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Pentingnya membaca, yang sepertinya terus ditekankan dalam bab-bab buku ini semakin menegaskan posisi penulis sebagai tokoh pengiat sastra di tanah air.

"Kita perlu membaca karya2 bermutu dari khazanah sastra dunia demi kemajuan kita sendiri, membandingkan kemudian belajar dari mereka." (hlm. 178)

Membaca bagian ini, kita jadi tahu lebih banyak tentang kisah-kisah di balik dunia perbukuan yang mungkin jarang diungkap di permukaan. Misalnya saja, tentang penulis yang dimusuhi pemerintah negaranya sendiri hanya karena dia menulis tentang kebenaran. Khusus tentang para pemenang Nobel, dikisahkan juga sekelumit kisah Dorris Lessing, pemenang Nobel Sastra yang pernah di-persona nongrata oleh pemerintah Rhodesia dan Afrika Selatan. Para penggemar buku sastra mungkin akan bersuka cita membaca karya Anton Kurnia ini, karena penulis-penulis besar Timur seperti Orhan Pamuk, Mo Yan, Murakami, dan Pram banyak dibahas. Bagi pembaca awam, membaca buku ini akan menjadi referensi tentang buku-buku bagus yang bisa dicoba untuk dibaca, mulai dari karya Kafka hingga Ayu Utami.

"Konon, manusia memang mahkluk terunik dan paling susah dipahami di kolong langit." (hlm. 69)

Bagian kedua buku ini, penulis banyak menyorot pada persoalan politik kontemporer—terutama di negeri sendiri. Walau begitu, bau-bau buku masih lumayan kental di bagian ini karena beberapa kali penulis akan merujuk pada buku-buku tertentu sebagai perbandingan atau studi kasus dari sejumlah peristiwa dan situasi politik. Misalnya saja, menyorot tentang pemilihan presiden tahun 2014 lalu, penulis membukanya dengan ulasan novel Black Beauty karya Anna Sewell (1877).  Dibahas pula peran tokoh-tokoh pergerakan nasional yang selama ini mungkin hanya beberapa dari kita saja yang tahu jasa-jasanya, semisal Tan Malaka dan Soe Hok Gie. Peran mereka dalam menyuarakan kebenaran seringkali diganjar dengan kurungan, bahkan hukuman mati. Terkait posisi penulis, Anton Kurnia menyitir ungkapan penulis besar Gabriel Garcia Marquez tentang pentingnya penulis melawan dengan pena. Kadang, pena lebih tajam dari pedang, dan itu benar.

"Tugas seorang penulis adalah menulis dgn sebaik-baiknya kata Gabriel G. Marquez. Dengan cara itulah dia berbakti kepada bangsanya." (hlm. 131)

Pada bagian ketiga, kita akan temui tulisan gado-gado yang bercorak perenungan. Penulis menyorot sejumlah fenomena social dan budaya untuk lalu dikaitkan dengan kesadaran intelektual kita. Dengan kata lain, bagian ketiga ini merupakan contoh renungan orang cerdas yang kita bisa belajar banyak dari pandangan-pandangannya. Karena sifatnya yang reflektif, unsur subjektivitas terasa cukup kental di bagian ini. Pembahasannya juga ramai dan mungkin terasa tidak focus karena mengulas banyak hal (bola, pisang, korupsi, makian, nama orang Indonesia, hingga fenomena selfie). Kita bisa membaca pendapat pribadi penulis terkait sejumlah peristiwa politik kontemporer di sini. Boleh setuju, boleh juga tidak; yang penting tetap damai.

"...karena hidup yang tak direnungi adalah hidup yang tak layak dijalani." (Socrates)


Ditulis sebagai artikel untuk surat kabar, tulisan-tulisan di buku ini mungkin terasa terlalu singkat, kurang mendalam, dan kadang terlalu cepat selesai (padahal saya ingin lebih banyak membaca tentang peran penerjemah misalnya). Namun, bahkan dari yang singkat-singkat ini pun saya sudah mendapatkan banyak pengetahuan, mulai dari buku-buku rekomendasi hingga sejarah perjuangan. Poin ini masih ditambah dengan gaya menulis mas Anton yang sangat mengalir, enak diikuti, serta mampu memaksa saya bergadang sampai jam 2 pagi untuk membaca buku tebal ini. Kelebihan-kelebihan ini masih ditambah dengan penggunaan font yang ramah mata dan kertas yang enak dipegang (dan dibaui). Tentang harapan baik, tentang berbuat baik, tentang buku-buku yang baik, dan juga tentang menjadi manusia Indonesia yang lebih baik; inilah empat helai daun dari surga. 

2 comments:

  1. Wah mas dion, terima kasih atas reviewnya.

    ReplyDelete
  2. Apa pendapat Gabriel Garcia Marquez untuk membuat filem telenovela dari “Kesunyian Seratus Tahun” ?
    Dapatkan jawabannya di dalam wawancara dengan Gabriel (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2017/09/

    ReplyDelete