Judul: Mencari Setangkai Daun Surga
Penyusun: Anton Kurnia
Penyunting: Rusdianto
Cetakan: 1, Februari 2016
Tebal:384 hlm
Sampul: Zizi
Penerbit: Ircisod
Sebuah
kumpulan tulisan tentang pentingnya tulisan, Mencari Setangkai Daun Surga adalah sebuah catatan penting terkait
sastra dan budaya, baik di Indonesia maupun di dunia. Tersusun atas 70 esai
lepas, buku ini menjadi pengikat tulisan-tulisan Anton Kurnia yang bertebaran
di media massa selama kurun waktu 2003 – 2015. Selain itu, ada juga sejumlah
tulisan yang pernah dicetak sebagai pengantar dari beberapa buku. Meskipun
sifatnya lepas-lepas, dengan pembahasan tiap bab yang kadang tidak berkaitan (tentang
pisang dan selfie, misalnya), buku ini sangat enak dibaca karena pembahasannya
yang bernas dan banyak mengulas tentang buku. Kita dapat mengambil banyak dari
satu buku ini.
"Siapa tahu, dgn
merenungi kegilaan orang lain, kita bisa lebih waras dan lebih bijak menghadapi
kegilaan-kegilaan kita sendiri. … Membaca sastra, dengan demikian, adalah
semacam tamasya imajinasi yg mengasyikkan dan barangkali ada gunanya."
(hlm 69)
Secara
garis besar, buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama—yang menyusun
hampir separuh dari halaman buku ini—kita dapat membaca 25 tulisan yang
membincang beragam hal dalam khazanah kesusasteraan Indonesia dan dunia. Karena
membicang dunia buku, kita bisa temukan banyak referensi buku bagus di bagian
ini. Karya-karya sastra pengarang kelas dunia yang selayaknya kita baca demi berkembangnya
dunia sastra dan kebudayaan bangsa. Di bagian ini, penulis juga mengupas cukup
banyak tentang para sastrawan pemenang Novel Sastra yang jarang diungkap dalam
dunia sastra tanah air.
"Sastrawan yang baik adalah saksi zaman dan masyarakatnya. Ketika
kebenaran ditindas, dia harus jadi penyambung lidah rakyat lewat tulisan."
Di
bagian pertama ini, banyak juga tulisan lepas tentang para sastrawan besar
Indonesia, tentang pentingnya peran penerjemah sebagai kurir sastra yang
sebenarnya, juga tentang fakta bahwa banyak tokoh pendiri bangsa kita dulunya
adalah anak-anak muda yang gemar membaca dan mau bergerak untuk mengamalkan
ilmunya. Secara tersirat, penulis seperti hendak menekankan pentingnya kegiatan
membaca bagi perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Pentingnya membaca, yang
sepertinya terus ditekankan dalam bab-bab buku ini semakin menegaskan posisi
penulis sebagai tokoh pengiat sastra di tanah air.
"Kita perlu membaca karya2 bermutu dari khazanah sastra dunia demi
kemajuan kita sendiri, membandingkan kemudian belajar dari mereka." (hlm.
178)
Membaca bagian ini, kita jadi
tahu lebih banyak tentang kisah-kisah di balik dunia perbukuan yang mungkin
jarang diungkap di permukaan. Misalnya saja, tentang penulis yang dimusuhi
pemerintah negaranya sendiri hanya karena dia menulis tentang kebenaran. Khusus
tentang para pemenang Nobel, dikisahkan juga sekelumit kisah Dorris Lessing,
pemenang Nobel Sastra yang pernah di-persona
nongrata oleh pemerintah Rhodesia dan Afrika Selatan. Para penggemar buku
sastra mungkin akan bersuka cita membaca karya Anton Kurnia ini, karena
penulis-penulis besar Timur seperti Orhan Pamuk, Mo Yan, Murakami, dan Pram
banyak dibahas. Bagi pembaca awam, membaca buku ini akan menjadi referensi
tentang buku-buku bagus yang bisa dicoba untuk dibaca, mulai dari karya Kafka
hingga Ayu Utami.
"Konon, manusia memang mahkluk terunik dan paling susah dipahami
di kolong langit." (hlm. 69)
Bagian kedua buku ini, penulis
banyak menyorot pada persoalan politik kontemporer—terutama di negeri sendiri.
Walau begitu, bau-bau buku masih lumayan kental di bagian ini karena beberapa
kali penulis akan merujuk pada buku-buku tertentu sebagai perbandingan atau
studi kasus dari sejumlah peristiwa dan situasi politik. Misalnya saja,
menyorot tentang pemilihan presiden tahun 2014 lalu, penulis membukanya dengan
ulasan novel Black Beauty karya Anna
Sewell (1877). Dibahas pula peran
tokoh-tokoh pergerakan nasional yang selama ini mungkin hanya beberapa dari
kita saja yang tahu jasa-jasanya, semisal Tan Malaka dan Soe Hok Gie. Peran
mereka dalam menyuarakan kebenaran seringkali diganjar dengan kurungan, bahkan
hukuman mati. Terkait posisi penulis, Anton Kurnia menyitir ungkapan penulis besar
Gabriel Garcia Marquez tentang pentingnya penulis melawan dengan pena. Kadang,
pena lebih tajam dari pedang, dan itu benar.
"Tugas seorang penulis adalah menulis dgn sebaik-baiknya kata
Gabriel G. Marquez. Dengan cara itulah dia berbakti kepada bangsanya."
(hlm. 131)
Pada bagian ketiga, kita akan
temui tulisan gado-gado yang bercorak perenungan. Penulis menyorot sejumlah
fenomena social dan budaya untuk lalu dikaitkan dengan kesadaran intelektual
kita. Dengan kata lain, bagian ketiga ini merupakan contoh renungan orang
cerdas yang kita bisa belajar banyak dari pandangan-pandangannya. Karena
sifatnya yang reflektif, unsur subjektivitas terasa cukup kental di bagian ini.
Pembahasannya juga ramai dan mungkin terasa tidak focus karena mengulas banyak
hal (bola, pisang, korupsi, makian, nama orang Indonesia, hingga fenomena
selfie). Kita bisa membaca pendapat pribadi penulis terkait sejumlah peristiwa
politik kontemporer di sini. Boleh setuju, boleh juga tidak; yang penting tetap
damai.
"...karena hidup yang tak direnungi adalah hidup yang tak layak
dijalani." (Socrates)
Ditulis sebagai artikel untuk
surat kabar, tulisan-tulisan di buku ini mungkin terasa terlalu singkat, kurang
mendalam, dan kadang terlalu cepat selesai (padahal saya ingin lebih banyak
membaca tentang peran penerjemah misalnya). Namun, bahkan dari yang
singkat-singkat ini pun saya sudah mendapatkan banyak pengetahuan, mulai dari
buku-buku rekomendasi hingga sejarah perjuangan. Poin ini masih ditambah dengan
gaya menulis mas Anton yang sangat mengalir, enak diikuti, serta mampu memaksa
saya bergadang sampai jam 2 pagi untuk membaca buku tebal ini.
Kelebihan-kelebihan ini masih ditambah dengan penggunaan font yang ramah mata dan kertas yang enak dipegang (dan dibaui).
Tentang harapan baik, tentang berbuat baik, tentang buku-buku yang baik, dan
juga tentang menjadi manusia Indonesia yang lebih baik; inilah empat helai daun
dari surga.
Wah mas dion, terima kasih atas reviewnya.
ReplyDeleteApa pendapat Gabriel Garcia Marquez untuk membuat filem telenovela dari “Kesunyian Seratus Tahun” ?
ReplyDeleteDapatkan jawabannya di dalam wawancara dengan Gabriel (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2017/09/