Search This Blog

Monday, February 15, 2016

Cinta dan Luka dalam novel Hujan dan Teduh

 11551617


               Cinta memang tema yang klise namun entah kenapa terus ditulis dalam dunia literatur. Pembacanya—yang juga mengherankan—ternyata masih saja ada, bahkan cenderung bertambah dari waktu ke waktu. Pangsa novel romance memang tidak akan pernah sepi, terbukti dengan selalu adanya buku-buku jenis ini (dnegan rak pajang tersendiri) di toko buku. Sebenarnya, hal ini tidak mengherankan karena cinta termasuk salah satu kebutuhan utama setiap manusia. Hidup tanpa cinta, akan tanpa makna, begitu  kata para pujangga. Fenomena bertahannya buku-buku romance di kancah pebukuan dunia tidak bisa dilepaskan dari kreativitas para penulisnya. Mereka mampu menghadirkan kembali kisah-kisah cinta yang itu-itu saja dengan cara yang ada-ada saja. Hal lama yang disajikan dengan kisah baru, menyesuaikan dengan kondisi zaman yang terus berubah namun tetap dengan menampilkan inti utama: keagungan dan kekuatan cinta.


              Bagaimana penulis menuliskan ulang kisah-kisah lama dengan cara baru, ini adalah trik penting dalam menulis sebuah buku yang akan tetap dibaca pembaca di sepanjang zaman. Mengutak-atik plot, menghadirkan karakter-karakter yang lebih kekinian, serta memolesnya dengan kalimat-kalimat berbunga agar pembaca terus terbius dalam pesona kata-kata; inilah yang banyak digunakan penulis. Selain itu, demi menarik minat pembaca yang mungkin kebingungan dengan serbuan novel-novel romantis di rak pajang, salah satunya adalah dengan menghadirkan suatu kontroversi atau kisah cinta yang tidak biasanya. Novel Hujan dan Teduh karya  Wulan Dewatra ini adalah salah satunya, yang menghadirkan cinta versi LGBT.

                Juara pertama 100% roman Indonesia tahun 2011 ini, selain memilih tema cinta yang tidak biasa, juga digarap dengan alur yang unik. Pembaca diajak untuk menyimak kisah dengan alur maju, lalu mundur, lalu maju lagi namun tetap cantik. Penulisannya rapi, itulah yang membuat pembaca masih bisa mengikuti alur kisah besarnya. Selain itu, alur flashback di buku ini juga terbantu dengan font miringnya, sehingga pembaca lebih mudah membedakan (seperti itu!). Hujan dan Teduh berkisah tentang Bintang Dewatra dengan kehidupan cintanya yang tidak biasa—bisa dibilang, terlalu ramai. Pada alur maju, penulis mengisahkan rona cinta Bintang di kampus saat dia kuliah dan berpacaran dengan cowoknya, Noval. Sementara, untuk alur flashback, pembaca diajak ke masa lalu Bintang saat dia masih sekolah di SMA. Waktu ketika dia bertemu dengan Kaila—sahabat terdekatnya—yang kemudian menjadi pacarnya. Oh iya, Bintang dan Kaila ini sama-sama cewek.



                Membaca Hujan dan Teduh ibarat membaca cinta dengan banyak rasa. Cinta yang normal (Bintang dan Noval) maupun cinta yang berbeda (Bintang dan Kaila). Uniknya, meskipun cinta—sebagaimana banyak hal lain di dunia ini—memiliki dua sisi, penulis sepertinya hanya terfokus untuk menyorot sisi kelam dari cinta. Lembar demi lembar buku ini memuat penderitaan Bintang yang entah berapa kali terluka karena cinta. Setelah  sebelumnya di SMA dia harus mencinta secara rahasia karena cintanya yang jatuh kepada sesama wanita, maka di kampus pun dia harus menderita lagi karena perlakuan Noval yang semena-mena. Ditinggalkan, dikhianati, harus memendam perasaan karena ia tahu cintanya ‘salah’, mendapat kekerasan dari laki-laki, merana karena sikap posesif yang berlebihan dari pasangan, hingga kecelakaan-kecelakaan ‘fatal’ yang kadang menimpa sepasang anak muda yang terlalu hanyut oleh nafsu. Jatuh cinta dalam buku ini benar-benar jatuh sebenar-benarnya. Jatuh yang mengindikasikan rasa sakit, luka, atau nyeri akibat gerakan jatuh. Rasa sakit yang harus ditanggung mereka yang memutuskan untuk terjatuh karena cinta.

                Kata jatuh pada ‘jatuh cinta’ mengindikasikan bahwa cinta juga menawarkan rasa sakit (selain juga tentunya menawarkan kebahagiaan). Sisi manis cinta, kita sudah sering melihatnya dalam sinetron-sinetron dan drama Korea, sementara sisi sakit cinta salah satunya bisa dibaca di buku ini. Baik itu cinta kepada sesama maupun kepada lain jenis, semua ada duri dan madunya masing-masing. Bagi mereka yang ingin jatuh cinta, tentunya juga kudu siap dengan rasa sakit yang mungkin kelak mengiringi kebahagiaannya. Hanya saja, dalam kasus Hujan dan Teduh ini, saya gemes banget sama si Bintang yang entah kenapa gemar banget berkubang dalam rasa sakit karena cinta. Perlakuan Noval kepadanya yang sedemikian kasar, kok didiemin saja—entah apakah karena si Bintang ini suka disakiti ataukan bentuk diam-pasrah ini semacam penebusannya atas cintanya yang keliru di masa lalu. Sementara luka-lula baru muncul setelah yang lama mengering, Bintang terus saja memaafkan Noval. Please, deh Bintang!

Cinta memang kadang sakit dan harus ditanggung, tapi pecinta yang logis tahu sejauh mana dia bertahan untuk menanggungnya. Tapi, sejak kapan sih cinta itu logis? Mungkin, inilah yang disebut dengan keanehan (atau malah keajaiban cinta), ketika orang rela terluka karenanya, selain rela berbahagia untuknya. Kepada kita yang menantikan untuk jatuh cinta, yang sedang jatuh cinta, atau yang telah jatuh cinta; ingat senantiasa bahwa selalu ada rasa sakit dan juga bahagia yang mengiringi cinta. Kita tinggal memilih: berpisah dengan selalu mengeluhkan sakit itu ataukah tetap bertahan dengan berfokus pada sisi bahagianya. Tapi, ingat juga bahwa ada batas yang tegas antara berkorban demi cinta dan dikorbankan untuk cinta. Pecinta yang baik saling berkorban demi pasangan, sementara pecinta yang buruk selalu mencari jalan untuk mengorbankan pasangannya demi kesukaan dirinya pribadi. Semoga, kita jadi lebih bijaksana dalam menjalani cinta.



                 

15 comments:

  1. Aku beli buku ini, karena suka desain sampulnya. Tapi lalu merasa sangat kecewa dengan kisah yang disajikan di dalamnya. Aku benci jalan ceritanya, aku benci tokoh-tokohnya. Aku mau buang buku ini tapi ga tega lihat dua kupu-kupu di sampulnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, ini sampulnya bagus banget tapi Bintangnya enggak banget :)

      Delete
  2. Mas Dion, kalau kata pujangga itu "hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbungaaaa~"

    Hmm~ novelnya berasa suram dan kelam ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wakakak dasar mbak Ina pasti gak pernah absen nonton dangdut wakakak.

      Entah kenapa gak suram mbak, tapi ngenes wkwkwk

      Delete
  3. Belum pernah baca. Dan cinta yang banyak rasa itu seru kayaknya untuk diikuti. Wajarkah atau sebaliknya..?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Entahlah, yg jelas selalu ada luka dalam jatuh cinta. Tinggal kita bertahan atau tidak.

      Delete
  4. aku baca ini dan ga paham kenapa judulnya hujan dan teduh. isinya nggak ada hujan-hujan atau teduh-teduh sama sekali. :|

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin merujuk pada hubungan Bintang dan Kaila. Hujan dan Teduh sama-sama adem dan basah, melambangkan dua wanita yang sama-sama emmm wanita.

      Delete
    2. -_- lah masa satunya wanita jadi-jadian mas

      Delete
    3. Wakakakak iya maksudnya dua-duanya sama-sama wanita, sama sama bikin sejuk gt

      Delete
  5. Pecinta yang baik saling berkorban demi pasangan, sementara pecinta yang buruk selalu mencari jalan untuk mengorbankan pasangannya demi kesukaan dirinya pribadi. Semoga, kita jadi lebih bijaksana dalam menjalani cinta.

    Setujhhu

    ReplyDelete
  6. Udah baca buku ini dan entah kenapa aku nggak terlalu begitu suka. Tertarik baca karena kavernya yang bagus banget :D

    ReplyDelete
  7. aku baru tau kalau buku ini ada unsur2 LGBT nya... agak sebel baca deskripsi bintang di reviewmu hihi

    ReplyDelete
  8. Aku belum baca dan belum tertarik buat mengkoleksi.. Mungkin nanti bisa 'ambil langsung' dari koleksinya mas dion :p

    ReplyDelete