Search This Blog

Thursday, February 25, 2016

Bilang Begini Maksudnya Begitu


23605292

Judul: Bilang Begini Maksudnya Begitu
Penyusun: Sapardi Djoko Damono
Sampul: Suprianto
Cetakan: 1, 2015
Tebal: 138 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


                
Masih sangat sedikit di negeri ini buku-buku tentang apresiasi sastra. Lebih sedikit lagi buku apresiasi sastra yang mengulas tentang puisi. Kalaupun ada beberapa, kebanyakan ditulis untuk tujuan akademis dengan pembahasan yang cenderung kaku, formal, dan beraroma diktat kuliah. Kita membutuhkan lebih banyak buku-buku sastra yang terbaca oleh masyarakat awam agar semakin banyak yang melek sastra. Bukankah sastra menjadi salah satu pertanda kemajuan peradaban bersama pencapaian-pencapaian sains dan kemanusiaan? Kembali pada buku-buku puisi—yang sudah jumlahnya sedikit, kalah pula dari segi popularitas bila dibanding dua saudara kandungnya: cerpen dan novel—kita membutuhkan lebih banyak buku-buku puisi dan apresiasi puisi seperti buku  Bilang Begini Maksudnya Begitu yang merakyat ini.

"Dalam ironi inilah sebenarnya terletak inti puisi: 'bilang begini, maksudnya begitu." (hlm. 33)

                Konon, puisi adalah mahkotanya bahasa. Karya ini tercipta ketika seseorang mampu bermain-main dengan bahasanya, bercumbu dan sesekali berkelahi dengannya. Untuk menulis dan menikmatinya dibutuhkan pengetahuan yang agak pelik, terutama tentang simbolisme dan penggunaan perangkat bahasa (rima, bunyi, larik, dan suku kata) sehingga wajar saja jika puisi cenderung kurang popular dibanding adik-adiknya (novel dan cerpen). Padahal, jika ditilik dari sejarahnya, puisi adalah karya sastra yang pertama muncul di dunia dalam bentuk nyanyian dan lirik-syair yang mengumandang di penjuri Bumi. Karenanya, perlu diperkenalkan lagi puisi ini kepada khayalak pembaca agar sama-sama ramai seperti apresiasi terhadap kedua adiknya.

"Penyair, pada hemat saya, adalah orang yang elah jatuh cinta pada bahasa dan karenanya bisa kadang bertengkar kadang bermesraan dengan kata." (hlm 134)

                Untuk keperluan itulah, kehadiran buku ini selayaknya harus mendapatkan apresiasi nan meriah. Ditulis langsung oleh empu sastra kenamaan negeri kita, sang Hujan Bulan Juni, Bapak Sapardi yang termasyur, buku ini akan sangat membantu pembaca awam seperti saya dalam mengapresiasi dan menikmati puisi. Bagi para calon penulis, buku ini ibarat buku emas untuk melatih kepekaan sastrawi mereka. Tidak hanya untuk menulis puisi, namun juga demi menghasilkan tulisan-tulisan yang indah, baik dari segi makna maupun wujudnya. Kapabilitas penulis yang tak perlu diragukan lagi menjadikan buku yang isinya ‘harusnya berat’ ini terasa renyah sekali dinikmati. Saya yang sering migren kalau disuruh mengapresiasi puisi jadi semacam tidak keder lagi untuk menikmatinya.  Saya sangat menikmati Melihat Api Bekerja-nya Aan Masyur setelah merampungkan baca buku ini.

                Apa saja yang dimuat di buku tipis namun kaya isi ini? Ada pembahasan singkt mengenai hampir semua perangkat kebahasaan dalam puisi. Mulai dari aplikasi bunyi, jenis-jenis puisi, diksi dalam berpuisi, hingga tentang makna dan simbol yang kemudian menjadi judul buku ini. Penyair kan sukanya bilang begini padahal maksudnya begitu. Penulis juga menyertakan langsung contoh-contohnya dalam beberapa puisi termasyhur (yang membuat pembaca penasaran dan meng-googling para penyair dan karya-karya itu) sehingga pembaca jadi lebih mudah memahami. Walau banyak bagian yang pembahasannya terlampau singkat, bab-bab di buku ini cukup mengeyangkan sebagai pengantar atau pengenalan pada apresiasi puisi.

                Seorang penulis berpengalaman tercermin pada karya-karyanya. Membaca buku ini, kita akan membuktikan sendiri kepiawaian Bapak Sapardi dalam mendedahkan beragam hal terkait ilmu puisi dan cara mengapresiasinya. Pembahasannya simple, dapat dipahami bahkan oleh pembaca yang jarang membaca puisi seperti saya (dan kemudian menyeret kami untuk lebih mencintai dan mau menikmati lebih banyak karya puisi). Cara menulisnya sangat luwes, mengalir, enak diikuti, sekaligus tidak terkesan menggurui—padahal saya dapat banyak sekali pengetahuan kebahasaan di buku ini. Saking banyaknya ilmu yang wajib saya catat, buku itu betebaran dengan kertas penanda post it-notes warna-warni untuk menandai bagian-bagian yang wajib saya ingat dan pahami lagi.

"Penyair memang sering dikatakan bisa memiliki hak untuk menciptakan bahasa baru karena memiliki licentia poetica atau hak khusus dalam menulis sastra." (hlm. 72)

                Diawali dengan pengenalan teknik membunyikan puisi dan ditutup dengan pembahasan tentang tema cinta yang menjadi tema paling laris bagi para penyair, buku ini akan mengajak pembaca untuk menyelam ke dalam bangunan puisi. Kemudian, lapis-demi-lapis, kita diajak mencoba menikmatinya, mendedarkan keindahan-keindahan yang menyusunnya, untuk kemudian disimpulkan sebuah ulasan tentang kebesaran sebuah karya puisi ketika dipandang secara menyeluruh, baik yang tampak maupun tidak, yang symbol dan yang semata kata. Buku ini membuka mata saya, mempertajam sisi-sisi estetika dalam diri yang selama ini mungkin telah telanjur tebal oleh kerak ketidakpedulian.

Membaca puisi, terasa indah sekali setelah merampungkan membaca buku ini. 

2 comments:

  1. Apakah mereka yang menyukai puisi lebih tinggi tingkatan sastranya dibandingkan dengan mereka yang lebih menyukai novel atau kumpulan cerpen?

    Soalnya saya pribadi lebih bisa menikmati novel atau kumcer yang memiliki drama-drama, ketimbang puisi yang mengandalkan rasa dan bahasa 'bilangnya begini, maksudnya begitu'. Memahami puisi bukan hanya menikmati kata-katanya yang indah, namun harus punya pikiran luas untuk memahami maksud penulis. Sehingga rasa dan keindahan yang jujur, bisa sampai pada pembaca. Mungkin level saya belum sejauh ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apakah mereka yang menyukai puisi lebih tinggi tingkatan sastranya dibandingkan dengan mereka yang lebih menyukai novel atau kumpulan cerpen?

      Menurut saya, tidak sama sekali. Hanya saja berbeda. Mungkin A lebih klik sama puisi, dan B lebih klik sama novel. Berbeda tidak selalu berarti yang satu lebih baik daripada yang lainnya. Poinnya di sini adalah pada upaya mengangkat puisi yang apresiasinya masih kurang dibanding apresiasi thd cerpen dan novel.

      Delete