Judul: The Last Dragonslayer
Penulis : Jasper Fforde
Penerjemah: Inggrid Dwijani Nipoeno
Penyunting: Dyah Agustine
Proofreader: Emi Kusmiati
Tebal: 265 Halaman
Cetakan: Pertama-Oktober 2015
Penerbit : Mizan Fantasi
Bosan
dengan novel-novel fantasi yang terlalu tegang atau terlampau serius? The Last Dragonslayer karangan Jasper
Fforde ini mungkin bisa jadi selingan dan alternative bacaan yang santai. Tidak
hanya seru, membaca buku ini mampu menghadirkan pengalaman baru dalam membaca
buku bertema fantasi, yakni kisah fantasi yang lucu. Buka lucu ala buku humor
tentu saja, melainkan lucu yang cerdas, yang hanya mungkin ditulis oleh seorang
pengarang yang cerdas pula. Untuk pembuka tentang seperti apa novel ini, coba
Anda gabungkan kisah Harry Potter, Eragon, dan kehidupan para agen properti.
Iya, properti seperti di iklan-iklan ‘Senin
harga naik’ seolah hanya itu saja yang penting di dunia. Yah, novel ini
sepertinya memang hendak menyindir manusia kekinian yang lebih ternganga kagum
melihat harga lahan yang strategis ketimbang seekor makhluk sihir kuno yang tengah
sekarat.
Novel
fantasi akan kurang terasa fantasi jika tidak ada sihir, karenanya dasar cerita
buku ini pun menggunakan penyihir. Setting tempatnya mengambil tempat di
Inggris tapi bukan di Inggris yang kita kenal (meskipun aroma kekiniannya
sama). Bayangkan sebuah London modern di Inggris-Tidak-Raya yang dibatasi oleh
Tanah Naga (yang dilindungi rangkaian batu-batu penanda berkekuatan sihir)
dengan sekelompok penyihir yang tergabung dalam sebuah agensi. Penyihir, naga,
Inggris; kurang apa lagi buku ini sebagai buku fantasi popular? Tapi, satu hal
yang membuat kisah ini tidak biasa dan unik: sihir di sini kalah oleh sinyal
telepon genggam dan arus data tak kasat mata di udara. Sihir di buku ini lemah
karena manusia modern telah menemukan alat-alat yang lebih modern untuk
mempermudah kehidupan mereka. Plus, cerita di buku ini lucu, fantasi yang
cerdas dan lucu.
Tokoh
utamanya saja malah tokoh figuran dalam ceritanya, Jeniffer Strange bukanlah
seorang penyihir. Alih-alih dia adalah anak magang yang diperbantukan di agensi
penyihir yang hampir bangkrut karena orang sudah tidak memerlukan jasa mereka
lagi (layanan antar-cepat dengan karpet terbang kalah dengan jasa pengiriman
kilat). Tugas Jeniffer adalah mendata,
menerima telepon, dan menangani segala urusan administrasi terkait para
penyihir di agensi tempatnya diperbantukan—semacam manajer (tapi dalam versi
rendahan) dari para penyihir tersebut. Para penyihir ini, disamping kekuatan sihirnya
yang semakin melemah, juga karena mereka malas sekali kalau harus menangani
hal-hal remeh semacam menandatangani surat-menyurat terkait jenis-jenis mantra
berefek besar.
Tapi,
peran Jenny ternyata lebih dari sekadar penerima telpon agensi penyihir. Sebuah
ramalan menyebut tentang akan matinya naga terakhir di Inggris-Tidak-Raya
sekitar tujuh hari setelahnya. Tidak ada naga, maka sihir yang lemah akan
semakin melemah dan bahkan mungkin hilang. Walaupun bukan penyihir, Jenny
merasa harus bertindak karena sihirlah yang telah memungkinkannya besar dan
tumbuh hingga usia enam belas tahun (dia adalah bayi telantar yang kemudian
dirawat dan dibesarkan sekelompok penyihir sepuh yang baik). Hilangnya sihir
akan sama halnya dengan hilangnya sebagian diri Jenny. Gadis itu harus segera
menemui sang pembasmi naga, membujuknya agar tidak membunuh si naga. Namun,
takdir yang menantinya ternyata lebih dahsyat dari yang dia duga. Buku ini berisi
banyak twist yang disampaikan dengan jenaka sampai-sampai saya tidak terasa
kalau itu twist. Santai,
menyenangkan, dan kocak sekali saat dibaca. Sebuah kesegaran dalam ranah fiksi
fantasi terjemahan.
No comments:
Post a Comment