Search This Blog

Friday, February 26, 2016

The Last Dragonslayer


 26845180               
Judul: The Last Dragonslayer
Penulis : Jasper Fforde
Penerjemah: Inggrid Dwijani Nipoeno
Penyunting: Dyah Agustine
Proofreader: Emi Kusmiati
Tebal: 265 Halaman
Cetakan: Pertama-Oktober 2015
Penerbit : Mizan Fantasi



                Bosan dengan novel-novel fantasi yang terlalu tegang atau terlampau serius? The Last Dragonslayer karangan Jasper Fforde ini mungkin bisa jadi selingan dan alternative bacaan yang santai. Tidak hanya seru, membaca buku ini mampu menghadirkan pengalaman baru dalam membaca buku bertema fantasi, yakni kisah fantasi yang lucu. Buka lucu ala buku humor tentu saja, melainkan lucu yang cerdas, yang hanya mungkin ditulis oleh seorang pengarang yang cerdas pula. Untuk pembuka tentang seperti apa novel ini, coba Anda gabungkan kisah Harry Potter, Eragon, dan kehidupan para agen properti. Iya, properti  seperti di iklan-iklan ‘Senin harga naik’ seolah hanya itu saja yang penting di dunia. Yah, novel ini sepertinya memang hendak menyindir manusia kekinian yang lebih ternganga kagum melihat harga lahan yang strategis ketimbang seekor makhluk sihir kuno yang tengah sekarat.


                Novel fantasi akan kurang terasa fantasi jika tidak ada sihir, karenanya dasar cerita buku ini pun menggunakan penyihir. Setting tempatnya mengambil tempat di Inggris tapi bukan di Inggris yang kita kenal (meskipun aroma kekiniannya sama). Bayangkan sebuah London modern di Inggris-Tidak-Raya yang dibatasi oleh Tanah Naga (yang dilindungi rangkaian batu-batu penanda berkekuatan sihir) dengan sekelompok penyihir yang tergabung dalam sebuah agensi. Penyihir, naga, Inggris; kurang apa lagi buku ini sebagai buku fantasi popular? Tapi, satu hal yang membuat kisah ini tidak biasa dan unik: sihir di sini kalah oleh sinyal telepon genggam dan arus data tak kasat mata di udara. Sihir di buku ini lemah karena manusia modern telah menemukan alat-alat yang lebih modern untuk mempermudah kehidupan mereka. Plus, cerita di buku ini lucu, fantasi yang cerdas dan lucu.

                Tokoh utamanya saja malah tokoh figuran dalam ceritanya, Jeniffer Strange bukanlah seorang penyihir. Alih-alih dia adalah anak magang yang diperbantukan di agensi penyihir yang hampir bangkrut karena orang sudah tidak memerlukan jasa mereka lagi (layanan antar-cepat dengan karpet terbang kalah dengan jasa pengiriman kilat).  Tugas Jeniffer adalah mendata, menerima telepon, dan menangani segala urusan administrasi terkait para penyihir di agensi tempatnya diperbantukan—semacam manajer (tapi dalam versi rendahan) dari para penyihir tersebut.  Para penyihir ini, disamping kekuatan sihirnya yang semakin melemah, juga karena mereka malas sekali kalau harus menangani hal-hal remeh semacam menandatangani surat-menyurat terkait jenis-jenis mantra berefek besar.

                Tapi, peran Jenny ternyata lebih dari sekadar penerima telpon agensi penyihir. Sebuah ramalan menyebut tentang akan matinya naga terakhir di Inggris-Tidak-Raya sekitar tujuh hari setelahnya. Tidak ada naga, maka sihir yang lemah akan semakin melemah dan bahkan mungkin hilang. Walaupun bukan penyihir, Jenny merasa harus bertindak karena sihirlah yang telah memungkinkannya besar dan tumbuh hingga usia enam belas tahun (dia adalah bayi telantar yang kemudian dirawat dan dibesarkan sekelompok penyihir sepuh yang baik). Hilangnya sihir akan sama halnya dengan hilangnya sebagian diri Jenny. Gadis itu harus segera menemui sang pembasmi naga, membujuknya agar tidak membunuh si naga. Namun, takdir yang menantinya ternyata lebih dahsyat dari yang dia duga. Buku ini berisi banyak twist yang disampaikan dengan jenaka sampai-sampai saya tidak terasa kalau itu twist. Santai, menyenangkan, dan kocak sekali saat dibaca. Sebuah kesegaran dalam ranah fiksi fantasi terjemahan.
                

No comments:

Post a Comment