Judul: Bilang Begini Maksudnya Begitu
Penyusun: Sapardi Djoko Damono
Sampul: Suprianto
Cetakan: 1, 2015
Tebal: 138 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Masih
sangat sedikit di negeri ini buku-buku tentang apresiasi sastra. Lebih sedikit
lagi buku apresiasi sastra yang mengulas tentang puisi. Kalaupun ada beberapa,
kebanyakan ditulis untuk tujuan akademis dengan pembahasan yang cenderung kaku,
formal, dan beraroma diktat kuliah. Kita membutuhkan lebih banyak buku-buku
sastra yang terbaca oleh masyarakat awam agar semakin banyak yang melek sastra.
Bukankah sastra menjadi salah satu pertanda kemajuan peradaban bersama pencapaian-pencapaian
sains dan kemanusiaan? Kembali pada buku-buku puisi—yang sudah jumlahnya
sedikit, kalah pula dari segi popularitas bila dibanding dua saudara
kandungnya: cerpen dan novel—kita membutuhkan lebih banyak buku-buku puisi dan
apresiasi puisi seperti buku Bilang Begini Maksudnya Begitu yang merakyat
ini.
"Dalam ironi inilah sebenarnya terletak inti puisi: 'bilang begini, maksudnya begitu." (hlm. 33)
Konon,
puisi adalah mahkotanya bahasa. Karya ini tercipta ketika seseorang mampu
bermain-main dengan bahasanya, bercumbu dan sesekali berkelahi dengannya. Untuk
menulis dan menikmatinya dibutuhkan pengetahuan yang agak pelik, terutama
tentang simbolisme dan penggunaan perangkat bahasa (rima, bunyi, larik, dan
suku kata) sehingga wajar saja jika puisi cenderung kurang popular dibanding adik-adiknya
(novel dan cerpen). Padahal, jika ditilik dari sejarahnya, puisi adalah karya
sastra yang pertama muncul di dunia dalam bentuk nyanyian dan lirik-syair yang
mengumandang di penjuri Bumi. Karenanya, perlu diperkenalkan lagi puisi ini
kepada khayalak pembaca agar sama-sama ramai seperti apresiasi terhadap kedua
adiknya.
"Penyair, pada hemat saya, adalah orang yang elah jatuh cinta pada bahasa dan karenanya bisa kadang bertengkar kadang bermesraan dengan kata." (hlm 134)
Untuk
keperluan itulah, kehadiran buku ini selayaknya harus mendapatkan apresiasi nan
meriah. Ditulis langsung oleh empu sastra kenamaan negeri kita, sang Hujan
Bulan Juni, Bapak Sapardi yang termasyur, buku ini akan sangat membantu pembaca
awam seperti saya dalam mengapresiasi dan menikmati puisi. Bagi para calon
penulis, buku ini ibarat buku emas untuk melatih kepekaan sastrawi mereka.
Tidak hanya untuk menulis puisi, namun juga demi menghasilkan tulisan-tulisan yang
indah, baik dari segi makna maupun wujudnya. Kapabilitas penulis yang tak perlu
diragukan lagi menjadikan buku yang isinya ‘harusnya berat’ ini terasa renyah
sekali dinikmati. Saya yang sering migren kalau disuruh mengapresiasi puisi
jadi semacam tidak keder lagi untuk menikmatinya. Saya sangat menikmati Melihat Api Bekerja-nya Aan Masyur setelah merampungkan baca buku
ini.
Apa
saja yang dimuat di buku tipis namun kaya isi ini? Ada pembahasan singkt
mengenai hampir semua perangkat kebahasaan dalam puisi. Mulai dari aplikasi
bunyi, jenis-jenis puisi, diksi dalam berpuisi, hingga tentang makna dan simbol
yang kemudian menjadi judul buku ini. Penyair kan sukanya bilang begini padahal
maksudnya begitu. Penulis juga menyertakan langsung contoh-contohnya dalam
beberapa puisi termasyhur (yang membuat pembaca penasaran dan meng-googling para
penyair dan karya-karya itu) sehingga pembaca jadi lebih mudah memahami. Walau
banyak bagian yang pembahasannya terlampau singkat, bab-bab di buku ini cukup
mengeyangkan sebagai pengantar atau pengenalan pada apresiasi puisi.
Seorang
penulis berpengalaman tercermin pada karya-karyanya. Membaca buku ini, kita
akan membuktikan sendiri kepiawaian Bapak Sapardi dalam mendedahkan beragam hal
terkait ilmu puisi dan cara mengapresiasinya. Pembahasannya simple, dapat
dipahami bahkan oleh pembaca yang jarang membaca puisi seperti saya (dan
kemudian menyeret kami untuk lebih mencintai dan mau menikmati lebih banyak
karya puisi). Cara menulisnya sangat luwes, mengalir, enak diikuti, sekaligus
tidak terkesan menggurui—padahal saya dapat banyak sekali pengetahuan
kebahasaan di buku ini. Saking banyaknya ilmu yang wajib saya catat, buku itu
betebaran dengan kertas penanda post
it-notes warna-warni untuk menandai bagian-bagian yang wajib saya ingat dan
pahami lagi.
"Penyair memang sering dikatakan bisa memiliki hak untuk menciptakan bahasa baru karena memiliki licentia poetica atau hak khusus dalam menulis sastra." (hlm. 72)
Diawali
dengan pengenalan teknik membunyikan puisi dan ditutup dengan pembahasan tentang
tema cinta yang menjadi tema paling laris bagi para penyair, buku ini akan
mengajak pembaca untuk menyelam ke dalam bangunan puisi. Kemudian,
lapis-demi-lapis, kita diajak mencoba menikmatinya, mendedarkan
keindahan-keindahan yang menyusunnya, untuk kemudian disimpulkan sebuah ulasan
tentang kebesaran sebuah karya puisi ketika dipandang secara menyeluruh, baik
yang tampak maupun tidak, yang symbol dan yang semata kata. Buku ini membuka
mata saya, mempertajam sisi-sisi estetika dalam diri yang selama ini mungkin
telah telanjur tebal oleh kerak ketidakpedulian.
Membaca puisi, terasa indah sekali setelah merampungkan
membaca buku ini.
Apakah mereka yang menyukai puisi lebih tinggi tingkatan sastranya dibandingkan dengan mereka yang lebih menyukai novel atau kumpulan cerpen?
ReplyDeleteSoalnya saya pribadi lebih bisa menikmati novel atau kumcer yang memiliki drama-drama, ketimbang puisi yang mengandalkan rasa dan bahasa 'bilangnya begini, maksudnya begitu'. Memahami puisi bukan hanya menikmati kata-katanya yang indah, namun harus punya pikiran luas untuk memahami maksud penulis. Sehingga rasa dan keindahan yang jujur, bisa sampai pada pembaca. Mungkin level saya belum sejauh ini.
Apakah mereka yang menyukai puisi lebih tinggi tingkatan sastranya dibandingkan dengan mereka yang lebih menyukai novel atau kumpulan cerpen?
DeleteMenurut saya, tidak sama sekali. Hanya saja berbeda. Mungkin A lebih klik sama puisi, dan B lebih klik sama novel. Berbeda tidak selalu berarti yang satu lebih baik daripada yang lainnya. Poinnya di sini adalah pada upaya mengangkat puisi yang apresiasinya masih kurang dibanding apresiasi thd cerpen dan novel.