Search This Blog

Wednesday, January 6, 2016

Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi

Judul: Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
Pengarang: Eka Kurniawan
Cetakan: 2, 2015
Tebal: 170 hlm
Penerbit: Bentang

24636477 

"Percuma hidup jika tidak senang." (hal.50)



                Setelah belum merampungkan Cantik itu Luka sejak tahun 2012 lalu (ini gimana, ‘setelah’ kok ‘belum’ wkwkwk), saya membuka karya Eka Kurniawan yang lain dengan harapan bisa lebih dulu kenal dengan corak karyanya sebelum membaca karya masterpiece-nya ini. Harus saya akui, kaget juga kalau di tahun 2012 lalu saya hanya bertahan membaca CIL sampai halaman 50 sebelum buku itu saya pinjemkan ke teman-teman padahal saya hanya membutuhkan waktu 3 jam untuk merampungkan kumcer berjudul panjang ini. Waktu itu, mungkin saya belum familiar dengan karya-karya EK sehingga agak kagok juga karena langsung dipertemukan dengan CIL. Lalu, setelah saya membaca—dan suka—dengan Seperti Dendam, Rindu juga Harus Dibayar Tuntas, saya harus mencoba membaca karya EK yang lain. Mulai dari yang tipis dan simpel, yakni kumcer berjudul Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi yang ternyata tidak setipis dan sesimpel yang saya duga. Intinya, saya suka buku kumcer ini.

                Kumcer ini merupakan kumpulan dari cerpen-cerpen Eka Kurniawan yang pernah dimuat di media cetak antara tahun 2007 – 2013. Rentang waktu lima tahun tentu menghadirkan corak dan warna yang berbeda pada setiap cerpen yang tersaji di buku ini. Ada cerita-cerita absud—aka realism magis khas Eka, kisah romansa berakhir bahagia, hingga sindiran muram yang mengadung banyak pelajaran (sepertinya tipe kisah seperti ini akan dirayakan kalau saja ending-nya nggak nyesek). Apa pun itu, cerpen-cerpen dalam buku ini wajib sangat untuk dibaca. Lalu mana yang paling menarik? Dari semua cerpen di buku ini, saya memilih cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi  serta Kapter Bebek Hijau. 

                Dalam cerpen yang menjadi judul buku kumcer ini, penulis menghadirkan kisah cinta dengan akhir bahagia plus menentramkan hati para pemimpi. Setidaknya, cetita manis ini bisa menjadi penawar atas kisah-kisah absurd-namun-layak-direnungkan-serta-sarat-pelajaran yang bertebaran di buku ini. Kepada mereka yang masih percaya pada kekuatan mimpi, sepertinya itulah yang hendak disindir olehpenulis. Tetapi, ternyata, sering kali mimpi memang mewujud nyata. Jadi, musti bagaimana? Apakah kita harus tetap percaya pada optimisme mimpi ataukah cukup tunduk pada logika yang kaku? Dua-duanya. Kecenderungan untuk memilih kedua sisi kehidupan seperti ini banyak kita temukan dalam karya-karya sastra. Bahwa apa yang selama ini kita kira sudha pasti sering kali malah belum bisa dipastikan. Begitu juga sebaliknya. Jadi, sebagai manusia kita musti bagaimana? Mesti bisa menerima kedua-duanya.

                Dalam cerita lain, penulis seperti menyindir (satu lagi peran vital dari sastra) sikap manusia kita. Apa yang kita sukai belum tentu baik untuk diri, sebalinya apa yang kita benci belum tentu jelek bagi sendiri. Seperti dalam kisah Si Itik Berbulu Hijau, kita sering kali hanya terfokus pada apa yang belum kita miliki ketimbang apa yang sudah kita dapatkan. Menjadi berbeda seolah telah sedemikian menakutkannya sampai orang rela menghabiskan hidupnya untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Padahal, menjadi berbeda tidaklah selalu jelek. Hal yang lebih jelek adalah merasa rendah diri hanya karena berbeda dengan yang lain, seperti si Bebek Berbulu Hijau dalam salah cerpen di buku ini.

                Membaca karya sastra sering kali membingungkan, memang. Sastra menjadikan pandangan pembacanya ke ranah abu-abu, tidak sekadar hitam-putih saklek karena selalu ada sisi lain yang luput kita rengkuh. Membaca karya sastra yang baik ibarat mengamplas halus pinggiran-pinggiran tajam dari kedirian kita yang mungkin keterlaluan kakunya. Membaca cerpen-cerpen seperti ini akan membuat keakuan dalam diri sedikit melengkung dan luwes sehingga jiwa dan akal tidak mudah patah ketika kita sontak dihadapkan pada hal-hal yang sebenarnya hanya sekadar berbeda.

"Seperti semua batu di dunia, ia pendendam yang tabah." (hal. 87)

                Masih banyak cerita-cerita pendek yang sangat layak untuk dibaca di buku ini. Misalnya saja, Penafsir Kebahagiaan dan Teka-Teki Silang yang diwarnai dengan ending tak terduga. Kisah Setiap Anjing Boleh Berbahagia juga bakal melelehkan air mata pembaca sampai ke tahap kecintaan. Ada juga kisah sederhana namun sangat memuaskan karena keindahan diksinya, seperti dalam Cerita Batu serta Gerimis yang Sederhana. Beberapa seperti La Cage aux Folles dan Membakar Api entah kenapa terasa tawar di saya, namun bisa jadi terasa sedemikian kaya oleh pembaca lain. Begitulah karya sastra yang baik, dia menyajikan sajian yang berbeda kepada setiap pembaca setianya.
 

1 comment:

  1. Saya kira ini novel,, walah ternyata kumcer. Jadi belum ada ketertarikan buat baca bukunya.

    ReplyDelete