Pengarang: Yudhi Herwibowo dan Ary Yulistiana
Cetakan: 1, Oktober 2015
Tebal: 236 hlm
Penerbit: Grasindo
Saya merasa dunia band adalah dunia yang jauh dari
tulis-menulis, jauh dari ingar-bingar kata. Padahal, kalau dipikir-pikir, lirik
lagu itu kan semacam berbau puitis ya? Jadi, siapa bilang anak band itu jauh
dari buku-buku sastra? Saya mlah teringat, teman saya semasa SMA dulu gemar
sekali meminjam buku-buku Kahlil Gibran untuk mencari inspirasi buat bikin
lagu. Pasti seru ya nemu anak band yang juga suka baca, sudah keren tambah
keren kuadrat. Seperti buku ini, dua cerita dalam satu kemasan, dua-duanya mengangkat
dunia anak band yang—sepengetahuan saya—jarang diangkat sebagai later cerita.
Karena itu, ketika Mas Yudhi bilang kalau buku terbarunya sudah terbit lagi,
saya jadi penasaran. Belum sempat beli eh ternyata sudah dibuntelin duluan.
Terima kasih Mas Yudhi, dan juga buat Mbak Ary.
“Sebuah cerita yang bagus, setebal apa pun,
akan tetap mudah untuk dinikmati.” (hlm. 76)
Cameo-Revenge adalah dua judul
dari dua cerita yang menyusun buku ini. Beberapa pembaca mungkin kurang suka
dengan gaya menulis seperti ini, di mana dua penulis menuliskan cerita
masing-masing dalam satu buku sehingga dikhawatirkan kedua jiwa dari tulisan
yang berbeda akan saling campur aduk. Saya sempat beberapa kali membaca buku
dengan format seperti ini, dan memang saya jadi merasa kedua penulis sama-sama
terbatasi dan terpangkas dalam berkarya. Untungnya, di Cameo-Revenge ini
batasnya jelas sekali, dan saya bisa merasakan baik jiwa tulisan mas Yudhi
maupun mbak Ary dalam tulisan masing-masing. Keduanya tidak mirip, bukan
berarti yang satu lebih bagus daripada yang lain, melainkan hanya berbeda saja.
Berbeda tidak selalu berarti jelek kan?
“Kalau kamu tidak bisa menghargai karya
orang lain, bagaimana orang lain mampu menghargai karyamu?” (hlm. 143)
Secara ringkas, Cameo adalah tentang keseruan alur,
sementara Revenge ibarat keindahan dramatisasi. Keduanya berbeda dan
tidak mencoba saling melengkapi, tapi entah kenapa kok klop saja jejer
bersandingan begitu. Kita mulai dari Cameo
dulu, bagian pertama ini berkisah tentang empat anak muda yang sama-sama
mencintai music dan memutuskan untuk membentuk band. Mereka adalah Angin Malam, Aui, Q, dan Jarra. Berawal dari
keisengan mengikuti festival band July
Challenge dengan hadiah yang mengiurkan, tanpa disangka, penonton menyukai
lagu-lagu mereka. Bahkan setelah perlombaan itu selesai, penggemar mereka tetap
setia dan band itu bahkan telah
mendapatkan kontrak rekaman dan ditawari manggung di berbagai kota. Memang,
kesuksesan sering kali muncul dari keisengan yang dilakukan secara serius.
“Setiap pertemuan selalu ada artinya.” (hlm.
72)
Namun, sukses ternyata juga
memiliki racunnya sendiri. Cameo memang
memenangkan uang seratus juta, namun Cameo
bukanlah cerita tentang bagaimana mereka bisa menang, melainkan bagaimana
keempat anak muda berbeda itu setelah memenangkan kontes July Challenge. Kisah ini seperti menyadarkan kita tentang sisi
gelap di balik gemerlap panggung hiburan. Apa yang sering kali luput dari
penglihatan penonton: drama di balik panggung. Dengan alur yang maju-mundur dan
flashback, Mas Yudhi dengan piawai
membikin pembaca penasaran dan ingin terus mengetahui masa lalu dari keempat
personel band Cameo. Ini adalah kisah
tentang pribadi-pribadi dengan masa lalu masing-maisng, tentang kisah cinta
yang tak selesai, tentang harapan yang tidak sama, juga tentang pilihan-pilihan
berat yang kadang harus diambil.
“Sesuatu yang didapat terlalu cepat tidaklah
baik. Sesuatu yang didapat terlalu cepat biasanya tak akan bertahan terlalu
lama.” (hlm. 6)
Jika Cameo jago di alur, maka Revenge
super dalam hal dramatisasi cerita. Revenge adalah nama band yang dikalahkan oleh Cameo dalam July Challenge. Salah satu personelnya,
Saira, kekalahan itu adalah petaka. Meskipun Cameo berhasil jadi runner up, tetap saja gurat kekecewaan
telah melukainya sedemikian dalam. Bagi beberapa orang seperti Saira ini,
kekalahan adalah sebuah kegagalan yang sangat menyakitkan. Tidak peduli seberapa
banyak dukungan pukpuk yang kau terima, atau seabrek hadiah hiburan yang siap
menyapa, nomor dua tetaplah nomor dua; tetap saja bukan yang utama. Karena
juara selalu hanya ada satu, dan kali ini, band
Cameo yang dibesarkannya hanya menjadi nomor dua.
“Orang akan melihat permainan kita, bukan
penampilan kita!” (hlm. 83)
Sebagai satu-satunya personel
cewek di Cameo, kekalahan di July
Challenge membuat Saira berubah. Pelan-pelan, dia mulai menjauh meskipun
anggota-anggota lain malah mendekat. Cameo
seperti menggambarkan satu fase dalam kehidupan manusia, ketika sering kali
kita malah berusaha menjauh ketika bantuan sejatinya tengah mendekat. Lewat
penulisan dengan sudut pandang orang pertama, kita akan diajak membaca perasaan
dan juga hati dari maisng-masing personel Cameo: Saira, Samuel, Garda, Enriq,
dan Daksa. Meskipun dalam halaman yang terbatas, apa yang dialami oleh kelima
personel ini sedemikian kompleks sehingga pembaca niscaya kenyang dengan
beragam kejutan yang ditawarkan penulis. Dramatisasinya jago banget sebelum
berpuncak pada ending balik yang
telak. Duh bahasane wkwkwk
“Keberhasilan yang sejati adalah ketika kita
lebih hebat dari diri kita yang lama.” (hlm. 225)
Jika ingin membaca novel dengan
ide cerita yang tak pasaran, cobalah Cameo-Revenge. Dan,sebuah kutipan manis untuk menutup ulasan singkat ini:
“Siapa pun bisa memiliki bakat yang sama,
tetapi keberuntungan setiap orang berbeda-beda. Aku setuju dengan ungkapan itu.
Tapi, lepas dari itu, kupikir keberuntungan haruslah dikejar, dan upaya itulah
yang membuat keberuntungan datang.” (hlm. 99)
Terima kasih kepada Mas Yudhi dan Mbak Ary.
tengkyu dion... :D
ReplyDelete