Pengarang: Eka Kurniawan
Cetakan: 2, 2015
Tebal: 170 hlm
Penerbit: Bentang
"Percuma hidup jika tidak senang." (hal.50)
Setelah
belum merampungkan Cantik itu Luka sejak
tahun 2012 lalu (ini gimana, ‘setelah’ kok ‘belum’ wkwkwk), saya membuka karya
Eka Kurniawan yang lain dengan harapan bisa lebih dulu kenal dengan corak
karyanya sebelum membaca karya masterpiece-nya ini. Harus saya akui, kaget juga
kalau di tahun 2012 lalu saya hanya bertahan membaca CIL sampai halaman 50 sebelum buku itu saya pinjemkan ke teman-teman
padahal saya hanya membutuhkan waktu 3 jam untuk merampungkan kumcer berjudul
panjang ini. Waktu itu, mungkin saya belum familiar dengan karya-karya EK
sehingga agak kagok juga karena langsung dipertemukan dengan CIL. Lalu, setelah saya membaca—dan suka—dengan
Seperti Dendam, Rindu juga Harus Dibayar
Tuntas, saya harus mencoba membaca karya EK yang lain. Mulai dari yang
tipis dan simpel, yakni kumcer berjudul Perempuan
Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi yang ternyata tidak
setipis dan sesimpel yang saya duga. Intinya, saya suka buku kumcer ini.
Kumcer
ini merupakan kumpulan dari cerpen-cerpen Eka Kurniawan yang pernah dimuat di
media cetak antara tahun 2007 – 2013. Rentang waktu lima tahun tentu
menghadirkan corak dan warna yang berbeda pada setiap cerpen yang tersaji di
buku ini. Ada cerita-cerita absud—aka realism magis khas Eka, kisah romansa
berakhir bahagia, hingga sindiran muram yang mengadung banyak pelajaran
(sepertinya tipe kisah seperti ini akan dirayakan kalau saja ending-nya nggak nyesek). Apa pun itu,
cerpen-cerpen dalam buku ini wajib sangat untuk dibaca. Lalu mana yang paling
menarik? Dari semua cerpen di buku ini, saya memilih cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan
Cinta Melalui Mimpi serta Kapter Bebek Hijau.
Dalam cerpen yang menjadi
judul buku kumcer ini, penulis menghadirkan kisah cinta dengan akhir bahagia
plus menentramkan hati para pemimpi. Setidaknya, cetita manis ini bisa menjadi penawar
atas kisah-kisah absurd-namun-layak-direnungkan-serta-sarat-pelajaran yang bertebaran
di buku ini. Kepada mereka yang masih percaya pada kekuatan mimpi, sepertinya
itulah yang hendak disindir olehpenulis. Tetapi, ternyata, sering kali mimpi
memang mewujud nyata. Jadi, musti bagaimana? Apakah kita harus tetap percaya
pada optimisme mimpi ataukah cukup tunduk pada logika yang kaku? Dua-duanya. Kecenderungan
untuk memilih kedua sisi kehidupan seperti ini banyak kita temukan dalam
karya-karya sastra. Bahwa apa yang selama ini kita kira sudha pasti sering kali
malah belum bisa dipastikan. Begitu juga sebaliknya. Jadi, sebagai manusia kita
musti bagaimana? Mesti bisa menerima kedua-duanya.
Dalam
cerita lain, penulis seperti menyindir (satu lagi peran vital dari sastra)
sikap manusia kita. Apa yang kita sukai belum tentu baik untuk diri, sebalinya
apa yang kita benci belum tentu jelek bagi sendiri. Seperti dalam kisah Si Itik Berbulu Hijau, kita sering kali
hanya terfokus pada apa yang belum kita miliki ketimbang apa yang sudah kita
dapatkan. Menjadi berbeda seolah telah sedemikian menakutkannya sampai orang
rela menghabiskan hidupnya untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Padahal,
menjadi berbeda tidaklah selalu jelek. Hal yang lebih jelek adalah merasa
rendah diri hanya karena berbeda dengan yang lain, seperti si Bebek Berbulu
Hijau dalam salah cerpen di buku ini.
Membaca
karya sastra sering kali membingungkan, memang. Sastra menjadikan pandangan
pembacanya ke ranah abu-abu, tidak sekadar hitam-putih saklek karena selalu ada
sisi lain yang luput kita rengkuh. Membaca karya sastra yang baik ibarat
mengamplas halus pinggiran-pinggiran tajam dari kedirian kita yang mungkin
keterlaluan kakunya. Membaca cerpen-cerpen seperti ini akan membuat keakuan
dalam diri sedikit melengkung dan luwes sehingga jiwa dan akal tidak mudah
patah ketika kita sontak dihadapkan pada hal-hal yang sebenarnya hanya sekadar
berbeda.
"Seperti semua batu di dunia, ia pendendam yang tabah." (hal. 87)
Masih
banyak cerita-cerita pendek yang sangat layak untuk dibaca di buku ini.
Misalnya saja, Penafsir Kebahagiaan dan
Teka-Teki Silang yang diwarnai dengan
ending tak terduga. Kisah Setiap Anjing Boleh Berbahagia juga bakal
melelehkan air mata pembaca sampai ke tahap kecintaan. Ada juga kisah sederhana
namun sangat memuaskan karena keindahan diksinya, seperti dalam Cerita
Batu serta Gerimis yang Sederhana. Beberapa
seperti La Cage aux Folles dan Membakar Api entah kenapa terasa tawar
di saya, namun bisa jadi terasa sedemikian kaya oleh pembaca lain. Begitulah karya
sastra yang baik, dia menyajikan sajian yang berbeda kepada setiap pembaca
setianya.
Saya kira ini novel,, walah ternyata kumcer. Jadi belum ada ketertarikan buat baca bukunya.
ReplyDelete