Search This Blog

Wednesday, January 6, 2016

Cameo-Revenge

Judul: Cameo-Revenge
Pengarang: Yudhi Herwibowo dan Ary Yulistiana
Cetakan: 1, Oktober 2015
Tebal: 236 hlm
Penerbit: Grasindo

 27214494


                Saya merasa dunia band adalah dunia yang jauh dari tulis-menulis, jauh dari ingar-bingar kata. Padahal, kalau dipikir-pikir, lirik lagu itu kan semacam berbau puitis ya? Jadi, siapa bilang anak band itu jauh dari buku-buku sastra? Saya mlah teringat, teman saya semasa SMA dulu gemar sekali meminjam buku-buku Kahlil Gibran untuk mencari inspirasi buat bikin lagu. Pasti seru ya nemu anak band yang juga suka baca, sudah keren tambah keren kuadrat. Seperti buku ini, dua cerita dalam satu kemasan, dua-duanya mengangkat dunia anak band yang—sepengetahuan saya—jarang diangkat sebagai later cerita. Karena itu, ketika Mas Yudhi bilang kalau buku terbarunya sudah terbit lagi, saya jadi penasaran. Belum sempat beli eh ternyata sudah dibuntelin duluan. Terima kasih Mas Yudhi, dan juga buat Mbak Ary.

“Sebuah cerita yang bagus, setebal apa pun, akan tetap mudah untuk dinikmati.” (hlm. 76)

                Cameo-Revenge adalah dua judul dari dua cerita yang menyusun buku ini. Beberapa pembaca mungkin kurang suka dengan gaya menulis seperti ini, di mana dua penulis menuliskan cerita masing-masing dalam satu buku sehingga dikhawatirkan kedua jiwa dari tulisan yang berbeda akan saling campur aduk. Saya sempat beberapa kali membaca buku dengan format seperti ini, dan memang saya jadi merasa kedua penulis sama-sama terbatasi dan terpangkas dalam berkarya. Untungnya, di Cameo-Revenge ini batasnya jelas sekali, dan saya bisa merasakan baik jiwa tulisan mas Yudhi maupun mbak Ary dalam tulisan masing-masing. Keduanya tidak mirip, bukan berarti yang satu lebih bagus daripada yang lain, melainkan hanya berbeda saja. Berbeda tidak selalu berarti jelek kan?

“Kalau kamu tidak bisa menghargai karya orang lain, bagaimana orang lain mampu menghargai karyamu?” (hlm. 143)

                Secara ringkas, Cameo adalah tentang keseruan alur, sementara Revenge ibarat  keindahan dramatisasi. Keduanya berbeda dan tidak mencoba saling melengkapi, tapi entah kenapa kok klop saja jejer bersandingan begitu. Kita mulai dari Cameo dulu, bagian pertama ini berkisah tentang empat anak muda yang sama-sama mencintai music dan memutuskan untuk membentuk band. Mereka adalah Angin Malam, Aui, Q, dan Jarra. Berawal dari keisengan mengikuti festival band July Challenge dengan hadiah yang mengiurkan, tanpa disangka, penonton menyukai lagu-lagu mereka. Bahkan setelah perlombaan itu selesai, penggemar mereka tetap setia dan band itu bahkan telah mendapatkan kontrak rekaman dan ditawari manggung di berbagai kota. Memang, kesuksesan sering kali muncul dari keisengan yang dilakukan secara serius.

“Setiap pertemuan selalu ada artinya.” (hlm. 72)

                Namun, sukses ternyata juga memiliki racunnya sendiri. Cameo memang memenangkan uang seratus juta, namun Cameo bukanlah cerita tentang bagaimana mereka bisa menang, melainkan bagaimana keempat anak muda berbeda itu setelah memenangkan kontes July Challenge. Kisah ini seperti menyadarkan kita tentang sisi gelap di balik gemerlap panggung hiburan. Apa yang sering kali luput dari penglihatan penonton: drama di balik panggung. Dengan alur yang maju-mundur dan flashback, Mas Yudhi dengan piawai membikin pembaca penasaran dan ingin terus mengetahui masa lalu dari keempat personel band Cameo. Ini adalah kisah tentang pribadi-pribadi dengan masa lalu masing-maisng, tentang kisah cinta yang tak selesai, tentang harapan yang tidak sama, juga tentang pilihan-pilihan berat yang kadang harus diambil.

“Sesuatu yang didapat terlalu cepat tidaklah baik. Sesuatu yang didapat terlalu cepat biasanya tak akan bertahan terlalu lama.” (hlm. 6)

                Jika Cameo jago di alur, maka Revenge super dalam hal dramatisasi cerita. Revenge adalah nama band yang dikalahkan oleh Cameo dalam July Challenge. Salah satu personelnya, Saira, kekalahan itu adalah petaka. Meskipun Cameo berhasil jadi runner up, tetap saja gurat kekecewaan telah melukainya sedemikian dalam. Bagi beberapa orang seperti Saira ini, kekalahan adalah sebuah kegagalan yang sangat menyakitkan. Tidak peduli seberapa banyak dukungan pukpuk yang kau terima, atau seabrek hadiah hiburan yang siap menyapa, nomor dua tetaplah nomor dua; tetap saja bukan yang utama. Karena juara selalu hanya ada satu, dan kali ini, band Cameo yang dibesarkannya hanya menjadi nomor dua.

“Orang akan melihat permainan kita, bukan penampilan kita!” (hlm. 83)

                Sebagai satu-satunya personel cewek di Cameo, kekalahan di July Challenge membuat Saira berubah. Pelan-pelan, dia mulai menjauh meskipun anggota-anggota lain malah mendekat. Cameo seperti menggambarkan satu fase dalam kehidupan manusia, ketika sering kali kita malah berusaha menjauh ketika bantuan sejatinya tengah mendekat. Lewat penulisan dengan sudut pandang orang pertama, kita akan diajak membaca perasaan dan juga hati dari maisng-masing personel Cameo: Saira, Samuel, Garda, Enriq, dan Daksa. Meskipun dalam halaman yang terbatas, apa yang dialami oleh kelima personel ini sedemikian kompleks sehingga pembaca niscaya kenyang dengan beragam kejutan yang ditawarkan penulis. Dramatisasinya jago banget sebelum berpuncak pada ending balik yang telak. Duh bahasane wkwkwk

“Keberhasilan yang sejati adalah ketika kita lebih hebat dari diri kita yang lama.” (hlm. 225)

                Jika ingin membaca novel dengan ide cerita yang tak pasaran, cobalah Cameo-Revenge. Dan,sebuah kutipan manis untuk menutup ulasan singkat ini:

“Siapa pun bisa memiliki bakat yang sama, tetapi keberuntungan setiap orang berbeda-beda. Aku setuju dengan ungkapan itu. Tapi, lepas dari itu, kupikir keberuntungan haruslah dikejar, dan upaya itulah yang membuat keberuntungan datang.” (hlm. 99)

Terima kasih kepada Mas Yudhi dan Mbak Ary.

1 comment: