Search This Blog

Thursday, November 12, 2015

Kode untuk Republik


Judul: Kode untuk Republik
Penyusun: Pratama D Persadha
Tebal: 237 hlm
Cetakan: 1, Juli 2015
Penerbit: Marawa



Sejatinya, kemerdekaan bangsa adalah hasil upaya kolektif seluruh elemen-elemen bangsa Indonesia dalam meraih sekaligus mempertahankannya. Mulai dari para founding fathers, diplomat di luar negeri, gerakan cendekiawan, tokoh-tokoh agama, Tentara Rakyat Indonesia, hingga masyarakat biasa dan orang-orang asing yang bersimpati pada perjuangan negara baru ini; semua punya andil masing-masing yang tidak dapat diremehkan. Kemudian, untuk menyatukan gerak perjuangan di antara berbagai elemen dari bangsa yang masih sangat belia itu, dibutuhkan adanya jaringan komunikasi yang menghubungan mulai dari komando tertinggi hingga ke lapangan. Dalam hal inilah, peran Dinas Kode sangat dibutuhkan, terutama untuk menyampaikan informasi atau maklumat yang sifatnya mendesak atau rahasia terkait keamanan nasional. Maka, benar adanya kalau tolok ukut kemenangan dalam perang—salah satunya—adalah terjaminnya penyampaian informasi secara rahasia.

“Ada benang merah antara kerahasiaan dan kemerdekaan, di Indonesia kita menyebutnya Sandi Negara.” (hlm. 206)

                Mengapa penting, sebab  ada aspek-aspek penting yang tidak bisa diabaikan dalam proses peperangan. Peperangan bukan hanya soal berapa banyak prajurit yang berperang, seberapa cerdik panglima yang mengatur strategi, atau seberapa dahsyat persenjataan yang dikerahkan. Tidak kalah penting dari itu adalah seberapa pintar mereka menerapkan teknik kriptografi dalam penyampaian pesan-pesan penting yang berkaitan dengan rencana operasi (halaman 39). Fungsi kerahasiaan ini menuntut cara-cara khusus yang sifatnya rahasia agar informasi penting yang dimaksud tidak bocor dan dimanfaatkan oleh musuh. Di sinilah peran para ahli sandi dan juga kurir pengantar berita tersandi. Untuk di zaman modern, kurir ini bisa berupa perangkat radio yang menyampaikan pesan tersandi lewat kawat atau gelombang radio.

                “Kerahasiaan memang hal utama dalam persandian. Sandi dibuat agar pesan atau informasi yang bersifat rahasia tidak beralih ke pihak yang tidak diharapkan.” (hlm 4)

                Buku ini bisa dibilang sebagai buku pertama di Indonesia yang mengupas khusus tentang kriptografi dan sejarahnya, baik di Indonesia maupun secara umum. Sebuah karya komprehensif yang memuat babakan-babakan perkembangan dunia persandian di Indonesia. Semua dikupas cukup lengkap, mulai sejak pendiriannya oleh dr. Roebiono Kertoparti pada tahun 1946 hingga diubah nama lembaganya menjadi Lembaga Sandi Negara pada tahun 1970-an. Bapak Roebiono Kertopati inilah yang menerima mandat dari Mr. Amir Syarifuddin (yang menjabat sebagai pemimpin sementara Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) untuk membentuk Dinas Kode sebagai lembaga resmi Negara yang mengurusi perihal penyampaian informasi dan maklumat yang sifatnya rahasia.
                Bapak Roebiono kemudian bergerak cepat dengan menyusun naskah Buku Kode yang memuat 10.000 kata bahasa Indonesia dan sistem-sistem sandi lain untuk operasional Dinas Kode, yang kemudian dikenal dengan Buku Kode C. Kerennya lagi, buku induk sandi ini dikerjakan sendiri oleh beliau selama dua bulan, dengan ditulis menggunakan tangan kanan dan kiri sekaligus. Berkat jasanya ini, dr. Roebiono Kertopati kemudian diangkat sebagai bapak Sandi nasional. Buku Kode C ini di kemudian hari ternyata banyak digunakan dalam pengiriman sandi, bahkan terbukti sangat bermanfaat dalam membingungkan pihak-pihak Belanda saat menyadap informasi radio para pejuang. Dalam perjalanannya, 4 April 1946 dijadikan sebagai Hari Sandi Nasional, yakni hari ketika Mr Amir Syariffudin menyerahkan mandat kepada dr. Roebiono Kertopati untuk mendirikan Dinas Kode.

“Tugas seorang kurir dalam konsep perang gerilya semesta sangatlah penting. Karena atas jasa mereka, hubungan antara kantong-kantong gerilya dapat terjaga.” (hlm 163)

                Secara kronologis, buku ini memuat perjalanan Lembaga Sandi Negara, mulai dari dibentuknya pada tahun 1946 hingga resmi menjadi Lembaga Sandi Nasional tahun 1970-an. Apakah membosankan? Tidak sama sekali. Di bagian awal, turut dibahas pula sejarah perkembangan kriptografi dalam sejarah peradaban, mulai era Yunani dan Mesir kuno, Tiongkok, era pra Islam dan zaman keemasan peradaban Islam (al Kindi diketahui tekah menulis naskah Risaalah fii Isthraajul Mu’amma atau Sebuah Naskah untuk Memecahkan Pesan-Pesan Rahasia pada tahun 800-an Masehi), era Abad  Pertengahan, hingga penggunaannya yang masih pada era Perang Dunia Kedua. Turut dibahas juga alat-alat penyandi yang telah digunakan bangsa Yunani kuno yang disebut skitali hingga alat penyandi canggih milik Jerman yang bernama Enigma. Dari buku ini, kita jadi tahu bahwa medan pertempuran dalam Perang Dunia Kedua tidak semata di kancah perang, tetapi pada saat yang sama tengah berlangsung pula perang antar mesin-mesin penyandi milik Jerman dkk melawan mesin pemecah kode milik Sekutu.

                “Sepanjang sejarah peradaban, teknologi akan selalu hanya jadi alat yang keberhasilannya selalu ditentukan oleh manusia yang menggunakannya.”  (hlm. 206)

                Bagian terakhir, yang menurut saya paling menarik, adalah paparan mengenai sejarah persandian di Indonesia (terutama pada masa paskakemerdekaan tahun 1946 hingga 1550 yang merupakan masa-masa krusial bagi Republik yang baru berdiri ini). Mulai halaman 107, pembaca akan diajak merunut jejak persandian nasional mulai dari proses penulisan Buku Kode C hingga peran di balik layar para penyampai sandi di belakang beragam perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda. Peristiwa-peristiwa dalam bab ini, kita mungkin sudah sering mendengarnya dalam pelajaran sejarah. Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville, hingga Perundingan Roem Royem yang dulu pernahd iminta oleh guru sejarah untuk menghafalkannya. Di buku ini, kita jadi tahu hiruk pikuk yang terjadi di balik tiga perundingan bersejarah tersebut. Paling seru adalah  adu siaran antara radio Indonesia dengan radio Belanda. Mereka menjuluki PDRI sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia, yang ejekan ini kemudian dibalas telak oleh Syafruddin Prawiranegara dengan pernyataan bahwa meskipun di dalam rimba, tapi setidaknya masih berada dalam wilayah Republik Indonesia yang sah. Berbeda dengan Belanda yang pemerintah daruratnya berada di Inggris saat negeri itu diduduki Jerman. Very well said, Sir!

             Republik Indonesia masih ada
Karena pemimpin Republik masih ada
Tentara Republik masih ada
Pemerintahan Republik masih ada
Wilayah Republik masih ada
Dan disini adalah Aceh … (hlm 173)

Begitu banyak peristiwa kecil, yang tak bakal diketahui, namun penting, tersaji dalam bab-bab buku ini. Kita diajak melihat sepak terjang para penyandi yang harus berjibaku untuk tetap bersembunyi sambil meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka harus menggotong perangkat radio seberat 650 kg agar Republik Indonesia tetap bisa menyiarkan berita dan melawan propaganda dari Belanda. Juga, menggunakan rumah dan dapur penduduk untuk menyembunyikan radio propaganda tersebut. Upaya mereka, meski jarang dimuat di buku-buku sejarah, namun layak mendapatkan penghargaan. Bagian tentang Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta juga dipaparkan sangat seru, sama sekali tidak membosankan karena penulis menggunakan sudut pandang yang selama ini jarang diangkat, yakni dari sudut pandang para telik sandi dan penyandi kode. Seperti belajar sejarah dari sisi yang jauh lebih seru dan menyenangkan. Oh iya, buku ini juga dilengkapi dengan DVD film dokumenter yang mengungkap banyak data-data yang selama ini masih samar terkait peristiwa Serangan Umum 1 Maret, PDRI di Sumatra, dan Perjanjian-perjanjian antara Republik Indonesia dengan Belanda.

No comments:

Post a Comment