Judul: Kode
untuk Republik
Penyusun:
Pratama D Persadha
Tebal: 237
hlm
Cetakan: 1,
Juli 2015
Sejatinya, kemerdekaan bangsa
adalah hasil upaya kolektif seluruh elemen-elemen bangsa Indonesia dalam meraih
sekaligus mempertahankannya. Mulai dari para founding fathers, diplomat di luar negeri, gerakan cendekiawan,
tokoh-tokoh agama, Tentara Rakyat Indonesia, hingga masyarakat biasa dan
orang-orang asing yang bersimpati pada perjuangan negara baru ini; semua punya
andil masing-masing yang tidak dapat diremehkan. Kemudian, untuk menyatukan
gerak perjuangan di antara berbagai elemen dari bangsa yang masih sangat belia
itu, dibutuhkan adanya jaringan komunikasi yang menghubungan mulai dari komando
tertinggi hingga ke lapangan. Dalam hal inilah, peran Dinas Kode sangat
dibutuhkan, terutama untuk menyampaikan informasi atau maklumat yang sifatnya
mendesak atau rahasia terkait keamanan nasional. Maka, benar adanya kalau tolok
ukut kemenangan dalam perang—salah satunya—adalah terjaminnya penyampaian
informasi secara rahasia.
“Ada benang merah antara kerahasiaan dan kemerdekaan, di Indonesia kita
menyebutnya Sandi Negara.” (hlm. 206)
Mengapa
penting, sebab ada aspek-aspek penting
yang tidak bisa diabaikan dalam proses peperangan. Peperangan bukan hanya soal
berapa banyak prajurit yang berperang, seberapa cerdik panglima yang mengatur
strategi, atau seberapa dahsyat persenjataan yang dikerahkan. Tidak kalah
penting dari itu adalah seberapa pintar mereka menerapkan teknik kriptografi
dalam penyampaian pesan-pesan penting yang berkaitan dengan rencana operasi
(halaman 39). Fungsi kerahasiaan ini menuntut cara-cara khusus yang sifatnya rahasia
agar informasi penting yang dimaksud tidak bocor dan dimanfaatkan oleh musuh.
Di sinilah peran para ahli sandi dan juga kurir pengantar berita tersandi.
Untuk di zaman modern, kurir ini bisa berupa perangkat radio yang menyampaikan
pesan tersandi lewat kawat atau gelombang radio.
“Kerahasiaan memang hal utama dalam
persandian. Sandi dibuat agar pesan atau informasi yang bersifat rahasia tidak beralih
ke pihak yang tidak diharapkan.” (hlm 4)
Buku ini
bisa dibilang sebagai buku pertama di Indonesia yang mengupas khusus tentang
kriptografi dan sejarahnya, baik di Indonesia maupun secara umum. Sebuah karya
komprehensif yang memuat babakan-babakan perkembangan dunia persandian di
Indonesia. Semua dikupas cukup lengkap, mulai sejak pendiriannya oleh dr.
Roebiono Kertoparti pada tahun 1946 hingga diubah nama lembaganya menjadi
Lembaga Sandi Negara pada tahun 1970-an. Bapak Roebiono Kertopati inilah yang
menerima mandat dari Mr. Amir Syarifuddin (yang menjabat sebagai pemimpin
sementara Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) untuk membentuk Dinas Kode sebagai
lembaga resmi Negara yang mengurusi perihal penyampaian informasi dan maklumat
yang sifatnya rahasia.
Bapak
Roebiono kemudian bergerak cepat dengan menyusun naskah Buku Kode yang memuat
10.000 kata bahasa Indonesia dan sistem-sistem sandi lain untuk operasional
Dinas Kode, yang kemudian dikenal dengan Buku Kode C. Kerennya lagi, buku induk
sandi ini dikerjakan sendiri oleh beliau selama dua bulan, dengan ditulis
menggunakan tangan kanan dan kiri sekaligus. Berkat jasanya ini, dr. Roebiono
Kertopati kemudian diangkat sebagai bapak Sandi nasional. Buku Kode C ini
di kemudian hari ternyata banyak digunakan dalam pengiriman sandi, bahkan
terbukti sangat bermanfaat dalam membingungkan pihak-pihak Belanda saat menyadap
informasi radio para pejuang. Dalam perjalanannya, 4 April 1946 dijadikan
sebagai Hari Sandi Nasional, yakni hari ketika Mr Amir Syariffudin menyerahkan mandat
kepada dr. Roebiono Kertopati untuk mendirikan Dinas Kode.
“Tugas seorang kurir
dalam konsep perang gerilya semesta sangatlah penting. Karena atas jasa mereka,
hubungan antara kantong-kantong gerilya dapat terjaga.” (hlm 163)
Secara
kronologis, buku ini memuat perjalanan Lembaga Sandi Negara, mulai dari
dibentuknya pada tahun 1946 hingga resmi menjadi Lembaga Sandi Nasional tahun
1970-an. Apakah membosankan? Tidak sama sekali. Di bagian awal, turut dibahas
pula sejarah perkembangan kriptografi dalam sejarah peradaban, mulai era Yunani
dan Mesir kuno, Tiongkok, era pra Islam dan zaman keemasan peradaban Islam (al
Kindi diketahui tekah menulis naskah Risaalah
fii Isthraajul Mu’amma atau Sebuah Naskah untuk Memecahkan Pesan-Pesan Rahasia
pada tahun 800-an Masehi), era Abad Pertengahan, hingga penggunaannya yang masih
pada era Perang Dunia Kedua. Turut dibahas juga alat-alat penyandi yang telah
digunakan bangsa Yunani kuno yang disebut skitali
hingga alat penyandi canggih milik Jerman yang bernama Enigma. Dari buku
ini, kita jadi tahu bahwa medan pertempuran dalam Perang Dunia Kedua tidak
semata di kancah perang, tetapi pada saat yang sama tengah berlangsung pula
perang antar mesin-mesin penyandi milik Jerman dkk melawan mesin pemecah kode
milik Sekutu.
“Sepanjang sejarah peradaban,
teknologi akan selalu hanya jadi alat yang keberhasilannya selalu ditentukan
oleh manusia yang menggunakannya.” (hlm.
206)
Bagian
terakhir, yang menurut saya paling menarik, adalah paparan mengenai sejarah
persandian di Indonesia (terutama pada masa paskakemerdekaan tahun 1946 hingga
1550 yang merupakan masa-masa krusial bagi Republik yang baru berdiri ini).
Mulai halaman 107, pembaca akan diajak merunut jejak persandian nasional mulai
dari proses penulisan Buku Kode C hingga peran di balik layar para penyampai
sandi di belakang beragam perundingan antara pemerintah Indonesia dengan
Belanda. Peristiwa-peristiwa dalam bab ini, kita mungkin sudah sering
mendengarnya dalam pelajaran sejarah. Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville,
hingga Perundingan Roem Royem yang dulu pernahd iminta oleh guru sejarah untuk
menghafalkannya. Di buku ini, kita jadi tahu hiruk pikuk yang terjadi di balik
tiga perundingan bersejarah tersebut. Paling seru adalah adu siaran antara radio Indonesia dengan
radio Belanda. Mereka menjuluki PDRI sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia, yang ejekan ini kemudian dibalas
telak oleh Syafruddin Prawiranegara dengan pernyataan bahwa meskipun di dalam
rimba, tapi setidaknya masih berada dalam wilayah Republik Indonesia yang sah.
Berbeda dengan Belanda yang pemerintah daruratnya berada di Inggris saat negeri
itu diduduki Jerman. Very well said, Sir!
Republik Indonesia masih ada
Karena pemimpin Republik masih
ada
Tentara Republik masih ada
Pemerintahan Republik masih ada
Wilayah Republik masih ada
Dan disini adalah Aceh … (hlm
173)
Begitu banyak peristiwa kecil, yang tak bakal diketahui,
namun penting, tersaji dalam bab-bab buku ini. Kita diajak melihat sepak
terjang para penyandi yang harus berjibaku untuk tetap bersembunyi sambil
meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka harus menggotong
perangkat radio seberat 650 kg agar Republik Indonesia tetap bisa menyiarkan
berita dan melawan propaganda dari Belanda. Juga, menggunakan rumah dan dapur
penduduk untuk menyembunyikan radio propaganda tersebut. Upaya mereka, meski
jarang dimuat di buku-buku sejarah, namun layak mendapatkan penghargaan. Bagian
tentang Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta juga dipaparkan sangat seru, sama
sekali tidak membosankan karena penulis menggunakan sudut pandang yang selama
ini jarang diangkat, yakni dari sudut pandang para telik sandi dan penyandi
kode. Seperti belajar sejarah dari sisi yang jauh lebih seru dan menyenangkan.
Oh iya, buku ini juga dilengkapi dengan DVD film dokumenter yang mengungkap
banyak data-data yang selama ini masih samar terkait peristiwa Serangan Umum 1 Maret,
PDRI di Sumatra, dan Perjanjian-perjanjian antara Republik Indonesia dengan
Belanda.
No comments:
Post a Comment