Pengarang: Ahmad Tohari, Okky Madasari, dkk.
Penyunting; Hetih, Vera, Anas
Tebal: 384 hlm
Cetakan: 1, 2015
Sampul: Staven Andersen
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Dalam perayaan ulang tahunnya yang ke-40, Penerbit Gramedia Pustaka Utama mengundang 45 penulis fiksi yang disebut-sebut paling aktif berkontribusi berkarya selama beberapa tahun terakhir. Nama-nama seperti Marga T, Mira W, Ahmad Tohari, Gola Gong, Boim Lebom, S Mara GD sebagai para pemain lama di lini fiksi Gramedia tentu turut dihadirkan. Tertera juga sederet nama popular dari lini fiksi kontemporer seperti Clara Ng, Rina Suryakusumah, Maggie Tiojakin, Ika Natassa, Mia Arsjad, Primadonna Angela. Aroma sastra ikut mewarnai dengan kehadiran karya-karya Okky Madasari, Ratih Kumala, Eka Kurniawan, dan Dewi Kharisma Michellia. Namun, porsi penulis teenlit dan genre metropop lah yang paling banyak saya temui (dan sepertinya begitu mendominasi aroma buku ini) dengan deretan penulis semisal Alia Zalea, Dyan Nuranindya, Nina Addison, Lexie Xu, Syahmedi Dean, Shandy Tan, Teresa Bertha, dan Ken Terate. Beneran, saya mabok cerita teenlit dan metropop saat baca buku ini.
Sebagai kumpulan cerpen yang
tidak diikat oleh satu kesamaan (kecuali tema 'cerita cinta' sebagai bentuk perayaan pada
ulang tahun Gramedia yang ke-40), pembaca memang harus maklum jika membaca buku
ini seperti meloncat-loncat. Dari sebuah cerpen sastra langsung lanjut ke
cerita khas urban, lalu ke cerita remaja penuh cinta-cintaan; begitu sehingga
membaca buku ini lebih seperti menikmati gado-gado campur lutis, buah dan sayur
serta bumbu rujak berbaur jadi satu sehingga menghasilkan sebuah bacaan yang
nikmat tapi kurang bisa diresapi rasanya karena bercampur-campurnya aneka rasa
di dalamnya. Niat Penerbit sudah benar,
yakni mengurutkan karya-karya dalam buku ini berdasarkan urutan abjad nama
sehingga Ahmad Tohari ada di halaman pertama dan S. Mara Gd ada di menjelang
halaman terakhir. Hal ini akan menghindarkan dari tuduhan bahwa Gramedia
mengistimewakan beberapa penulis besar dan menyisihkan penulis-penulis yang
belum besar.
Di sisi lain, cara ini membuat
pembaca (atau sayanya saja saja sih ribet?) tidak bisa menikmati rasa buku itu
secara utuh. Saya kebingungan apakah ini sedang membaca buku kumcer sastra
ataukah kisah-kisah remaja penuh cinta. Bukan berarti saya mengagungkan karya
sastra dan menafikkan karya-karya teenlit. Tidak, sebuah buku bagus bagi saya
adalah buku yang saya bisa menikmati saat membacanya, entah itu buku sastra
berat ataukah roman cinta ala SMA. Cerita-cerita di buku ini bisa dibilang—saya
menikmatinya. Yang tidak saya nikmati adalah letaknya yang campur baur sehingga
pikiran dan perasaan saya ikut nggak karuan saat membaca kumcer ini (atau memang
saya-nya yang lagi galau tanggal tua kali ya).
Kemudian, saya menemukan ide bagus: Jangan membaca kumcer ini dari
depan ke belakang, tapi baca dengan mengelompokan penulisnya terlebih dulu.
Pusing kan ya? Iya, saya memang kadang bikin pusing calon. *kayak sok punya
calon aja. Jadi begini, saya baca karya Ahmad Tohari di halaman awal, lalu
melompat ke karya Eka Kurniawan, lanjut ke Okky Madasari. Kain hari, saya
pengen baca tema-tema jomblo eh single berkualitas jadi meluncurlah saya ke
cerpen-cerpen karya Nina Adisson, Ika Natassa, dan Mia Arsjad. Kali lain,
rupanya darah muda saya menggelegak jadi saya mencoba menjadi muda dengan
membaca karya-karya Ken Terate, Dyan Nuraindya, Shandy Tan, dan Luna
Torashyngu. Dengan membaca dengan gaya seperti ini, saya merasa lebih bisa
menikmati buku bagus ini.
Selain rasa gado-gado, saya juga merasakan beberapa penulis yang entah
berkembang atau entah berganti gaya (seperti Gola Gong yang dalam karyanya di
buku ini sangat beda banget auranya dengan ketika kita baca Balada si Roy), tapi ada juga penulis-penulis
yang tetap setia dengan jalurnya, seperti Boim Lebom yang legendaris dengan
karya-karya kocaknya.
Kalau harus memilih mana yang paling favorit, saya memilih karya Okky
Madasari ‘Bahagia Bersyarat.’ Cerpen ini
khas banget, kalimatnya berat-berat tapi kutipable.
Cerpen ini menyindir sekaligus membenarkan pandanganorang-orang tentang makna kebahagiaan. Apa sebenarnya kebahagiaan itu? Benarkah diri kita sendiri yang menentukan kebahagiaan masing-masing? Ataukah, selama ini orang lain yang lebih sering kita bahagiakan dan bukannya diri kita sendiri? Cerpen singkat tapi sangat dalam ini datang tanpa menyodorkan jawaban kepada kita, pembaca sendirilah yang akan menjawabnya. Renungkan, dan sementara merenungkan, cerita ditutup dengan ending yang tak terduga. Ini memang beneran cerpen yang bagus. Tambahan lagi, sampulnya juga luar biasa indahnya. Saya suka corak warna-warninya, kayak isi kumcer ini.
Ih bener banget, aku bingung habis baca cerpen ini dari nyastra terus ke teenlit terus lompat lagi ke cerpen ala metropop :D
ReplyDeleteAsyik, aku punya teman akhirnya *toss
Delete