Search This Blog

Friday, August 15, 2014

Inferno (Neraka)


Judul : Inferno (Neraka)
Pengarang : Dan Brown
Penerjemah : Ingrid D  Nimpoeno dan Berliani M Nugrahani
Penyunting : Tim Redaksi
Sampul : Maria carella
Cetakan: 2, Oktober 2013
Tebal : 642 hlm
Penerbit : Bentang




Setelah mengajak pembaca menelusuri Sejarah Amerika dalam Lost Symbols yang entah mengapa kurang greget itu, Dan Brown seperti mendapatkan kembali pesonanya dengan beralih ke mahzabnya semula sebagai seorang ahli sejarah seni Eropa abad Pertengahan. Dalam Inferno, dia kembali menggunakan setting sebuah kota di Italia sebagai basis cerita sekaligus sarana Robert Langdon memamerkan pengetahuannya tentang sejarah seni. Kali ini, pembaca akan diajak mengubek-ubek kota Florence, rumah dari Dinasti keluarga Medici, bangsawan penjaga karya seni dan ilmu pengetahuan di era Renaisans, asal dari klub sepak bola Florencia, serta kota tempat patung David yang sangat terkenal itu.

 http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d2/Il_Duomo_Florence_Italy.JPG
Gambar: Katedral Duomo, Florence

Khasnya tulisan Dan Brown yang rentang waktunya pendek dan dengan cerita yang bergerak cepat, Inferno sudah mulai mengajak pembaca berlari sejak awal buku dibuka. Robert Langdon terbangun di sebuah rumah sakit dengan luka tembak dari sebuah proyektil peluru yang menyerempet belakang kepalanya. Dia tidak mengingat kejadian apapun selama seminggu terakhir, Sienna, dokter wanita yang menemukannya hanya bilang bahwa Langdon terus menerus berkata ver…sorry serta menemukan di jaketnya sebuah silinder logam (pointer Faraday) berisi stempel kuno yang bisa disorotkan ke dinding dan memunculkan sebuah lukisan Map of Hell karya Botticelli.

http://si.wsj.net/public/resources/images/AR-AC499_INFERN_G_20130516203510.jpg
  gambar: Map of Hell karya Botticelli

Lukisan ini mengambarkan kondisi Neraka yang digambarkan seperti gunung terbalik, semakin ke bawah semakin mengecil, dan dibagi-bagi dalam beberapa tingkatan. Masing-masing tingkatan diperuntukkan untuk setiap dosa besar, semakin ke bawah, semakin besar dosanya. Lukisan Botticelli inilah yang kemudian mengarahkan Langdon dan Sienna kepada petunjuk-petunjuk berikutnya. Lukisan Neraka Bottticelli dilukis dengan terilhami oleh Divine Comedy, tulisan besar karangan Dante Alliegri yang ditulis sekitar abad ke-13 yang menggambarkan perjalanan pemuda Dante dan penyair Virgil ke Dunia Bawah (Neraka). Buku legendaries itu konon berhasil membuat Gereja kembali kebanjiran jemaat gara-gara penggambaran Dante yang begitu mengerikan tentang kondisi di dalam neraka dan siksaan-siksaan yang diterima para pendosa di dalamnya.

 
Gambar : Divine Comedy karya Dante

Dari Dantelah semua misteri mulai terungkap. Meniru konsep Wabah Hitam (The Great Plague) yang telah membunuh satu dari tiga populasi penduduk Eropa di Abad Pertengahan, eseorang atau sesuatu hendak berusaha menghancurkan dunia menggunakan sebuah tabung kecil berisi wabah baru yang belum dikenal dunia. Tinggal beberapa hari lagi tabung itu akan pecah dan bibit wabah menyebar ke penjuru dunia. Dengan dibayang-bayangi seorang pembunuh bayaran yang hendak menuntaskan misinya yang belum selesai, Langdon dan Sienna harus bergegas menemukan keberadaan tabung berisi bibit wabah berbahaya tersebut. Dimulai dari gang-gang kecil di kota Florence, mereka lalu masuk ke berbagai tempat bersejarah di kota itu, mulai dari Gerbang Batu Romana, Boboli Gardens, Koridor Vasari, Pitti Palace, dan tentu saja ke Katedral Duomo yang masyhur itu.

http://www.museumsinflorence.com/foto/corridoio%20vasariano/thumbnails/corridoio.jpg 
 gambar: Koridor Vasari

Sepanjang perjalanan yang serba terburu-buru itu, Langdon terus mengobral pengetahuannya tentang sejarah bangunan dan karya seni arsitektur yang menghiasi kota Abad Pertengahan tersebut. Mulai dari patung-patung terkenal, mural atau lukisan dinding di langit-langit, air mancur legendaries, katedral berkubah dan strukturnya yang berat namun tetap awet selama ratusan tahun; banyak sekali pengetahuan sejarah yang akan kita dapatkan. Bisa dibilang, novel ini adalah novel visual. Pembaca akan dimanjakan dengan narasi yang sangat detail tentang berbagai tempat bersejarah dan karya seni. Pembacaan Inferno akan terasa lebih asyik jika ditemani dengan booklet panduan tentang kota Florence. Atau, setidaknya sambil googling di Internet. Jadi, kita akan langsung bisa membayangkan keindahan kubah Duomo yang masyhur itu, atau Koridor Vasari yang memanjang di atas kota bak jembatan penghubung yang begitu bekelas. Seolah-olah, kita benar-benar tengah ikut mengagumi pemandangan seni yang tengah dilihat Langdon.



Spoiler allert: Katedral St. Markus

Begitu banyaknya narasi dan sejarah seni yang dikisahkan di buku ini, membuat pembaca mendapatkan ilmu baru sekaligus penghiburan lewat ceritanya yang bergerak cepat. Meskipun tidak mengangkat tema yang laris seperti The Da Vinci Code atau Angel and Demon, novel Inferno mampu memenuhi ekspektasi pembaca yang merindukan karya Dan Brown. Hanya saja, sepertinya penulis belum bisa move on dari dua karya terkenalnya itu. Pola yang sama masih ditemukan di Inferno, seperti Langdon yang selalu ditemani seorang wanita cerdas dalam pelariannya, alur cerita yang ecpat, sisipan-sisipan pengetahuan sejarah (yang terus terang adalah yang paling saya sukai dari buku ini), lokasi tujuan yang tersembunyi, waktu yang terbatas sebelum dunia hancur, serta ending tak terduga tapi sudah bisa diprediksi. Polanya hampir serupa dengan Angel and Demon tapi dalam versi lokasi yang lebih luas, kali ini mencakup tiga kota, yakni Florence, V, dan K (terlalu spoiler kalau saya bocorkan, yang jelas ketiganya adalah kota kuno). Ibaratnya, karyanya ini masih berupa “jalan-jalan mencari sumber wabah sambil mengagumi deretan karya seni bersejarah di sepanjang perjalanan.”

               
Spoiler allert: Hagia Sophia

             Karena begitu banyak spoiler yang menakutkan jika saya jabarkan sinopsisnya, cukuplah saya bilang kalau Inferno sangat layak untuk dibaca. Untuk konsep cerita, Dan Brown masih belum kehilangan kemampuannya dalam menuliskan cerita yang cepat-selesai-setebal-apapun-bukunya. Bab-babnya yang pendek, yang kadang diputus begitu saja ketika kondisi tengah kritis; ramuan ini terbukti manjur membuat pembaca tetap bertahan menyelesaikan buku setebal 600 halaman lebih ini. Saya saja kelar dalam 3 hari, aslinya sih 2 hari karena di hari kedua saya hanya membaca lima halaman. Jadi, karya ini masih memiliki candunya. Untuk cerita, saya rasa kisah besarnya sudah dapat, hanya saja mungkin pengetahuan sejarah seni dan arsitektur di buku ini begitu padat, sampai-sampai berisiko mengeser ceritanya (meskipun saya tidak keberatan dicekoki oleh berbagai pengetahuan sejarah yang sangat saya sukai). Tapi, buku ini tetap menyenangkan untuk dibaca.

3 comments: