Judul : Xar dan Vichattan 3, Empat Tubuh
Statera
Pengarang : Bonmedo Tambunan
Editor : Tendy Yulianes Susanto
Tebal : 431 hlm
Cetakan : 1, Januari 2012
Penerbit : Adhika Pustaka
Perhatian: Disarankan untuk tidak membaca resensi ini bagi
yang anti-spoiler!
Pertempuran
antara Chao dan Statera, Sang
Kekacauan dan Si Penjaga Keteraturan, menjadi focus utama di buku ketiga ini.
Berbeda dengan buku pertama dan buku kedua, di mana pembaca disuguhi
pertempuran epic antara cahaya dan kegelapan, buku ketiga ini menyuguhkan tema
yang sangat berbeda, bahkan berlawanan. Dari backcover buku ini kelihatan bahwa musuh utama dalam buku ini
bukanlah gelap, tetapi cahaya. Kok bisa? Komentar Mbak Truly Rudiono di halaman
pertama buku ini bisa menjadi petunjuk tentang bagaimana perjalanan cerita
dalam buku ini, … hitam tak selamanya
“hitam” dan putih tak selalu “putih.”
Melanjutkan cerita
sebelumnya, ketika akhirnya seluruh pendukung Kuil Kegelapan akhirnya berhasil
dikalahkan dalam pertempuran di Kuil Cahaya dan Khalas serta pengikutnya pun tersedot
masuk ke dalam Void.Namun, ada satu tokoh gelap yang selamat, ia yang
berkhianat dan malah telah membunuh kekasihnya sendiri yang sudah berkorban
untuknya, Corbus. Sendirian, ia membangkitkan kembali tokoh-tokoh kegelapan
dari Void: pasukan tengkoran hidup, kelelawar raksasa, dracolupin, ksatria
gelap, bahkan Shaba. Gelap telah mendorong Corbus untuk mengerahkan semua kekuatannya
demi menarik kembali pasukan gelap ke dunia.
Sementara
itu, keanehan terjadi di Vichattan. Butir-butir salju turun di daratan
Vichatan, hal yang seharusnya hanya terjaid di Kuil Gelap. Keanehan ini muncul
setelah Antessa berhasil mengimbuhi Kristal Utama dengan Cahaya, yang
seharusnya membuat kekuatan Cahaya jauh di atas kegelapan. Elemen alam menjadi
semakin kuat sehingga kekuatan para pasukan Vichattan melonjak naik. Maka
terjadilah ketidakseimbangan di alam, cahaya melesat naik sementara gelap
merosot turun. Ketika keseimbangan hilang, datanglah kekacauan sebagai
penggantinya. Datanglah Chao, kekacauan!
Chao,
musuh utama sejak awal masa, begitu kuatnya sehingga mampu mengubah seluruh
pasukan Vichattan menjadi abdinya. Seolah dihipnotis, para tiarawati Kuil
Vichattan tiba-tiba menyerang prajurit Xar. Bahkan, para Tiarawati itu tega
menyerang Kara dan teman-temannya. Termasuk Nana Mirrell yang saying disayangi
Kara, malah tega menyerang cucunya sendiri. Dan kali ini, keempat ahli waris
cahaya diselamatkan oleh Shaba dan Frigus! Ya, keadaan berbalik dan semakin
kacau. Vichattan menjadi “jahat” sementara para abdi kegelapan malah menjadi
pihak penyelamat. Pihak Gelaplah yang pertama kali mengetahui taktir Chao yang
ingin kembali bertahta di dunia dengan menggunakan kekacauan.
Maka,
untuk pertama kalinya, pihak cahaya bahu membahu dengan pasukan kegelapan untuk
melawan pasukan Vichattan. Sungguh miris melihat bagaimana Shaba berjuang
bersama pasukan istana Xar untuk melindungi Ruang Hati di Kuil Xar dari serbuan
pasukan Vichattan yang menggamuk ganas dengan kekuatan elementalnya.
Keseimbangan harus dikembalikan, Antessa harus kembali ke Kristal Utama dan
mengembalikan Kristal itu sebagaimana aslinya, tidak diimbuhi cahaya ataupun
gelap, netral, seimbang antara unsur-unsur penyusunnya. Tetapi, Chao tidak
tinggal diam. Kekacauan itu telah memberinya tenaga yang luar biasa besar untuk
kembali bangkit ke dunia. Baru saja Antessa berhasil membebaskan Kristal Utama
dari imbuhan cahaya (yang menyebabkan seluruh pasukan Vichattan kembali sadar
dan menjadi diri mereka sendiri), Chao langsung bergerak cepat dengan menyerang
Kuil Vichattan.
Sebagaimana
poster pin up keren di halaman 394 buku ini, kita akan menyaksikan ketika
cahaya, gelap, Xar, Vichattan, serta para peri berjuang bahu membahu melawan
Chao. Seluruh orang bersatu, empat ahli waris cahaya, para pasukan dan pengabdi
gelap, Amor, Pietas, Nolacerta, Frigus, Shaba, para biarawati Xar dan Tiarawati
Xar; semuanya bersatu menyerang Chao yang hendak menghadirkan kekacauan kembali
ke dunia. Nasib dunia di pertaruhkan, dan kali ini keempat ahli waris cahaya
yang sudah beranjak remaja kembali menjadi penentu nasib dunia. Chao hanya bisa
ditandingi oleh Statera, sang keteraturan yang terwujud dalam empat tubuh
statera. Berhasilkah Antessa, Gerome, Dalrin, dan Kara menggenapi takdir mereka
kali ini?
Sebagai
laga pamungkas dari seri Xar dan Vichattan,
buku ini berhasil memenuhi keinginan pembaca tentang akhir yang tuntas
tetapi sekaligus masih mampu menghadirkan twist
yang membuat pembaca tercengang. Masih seperti buku satu dan dua, buku ini
tetap mempertahankan alur yang cepat dan gaya penceritaan yang susah untuk
berhenti membacanya. Sepanjang membaca halaman demi halaman di dalamnya,
pembaca akan terus dibuat penasaran dan ingin segera menyelesaikannya. Inilah
penyebab mengapa walau buku ini sebenarnya cukup tebal dan dengan font yang kecil, kita tetap bisa
menyelesaikan membacanya dengan cepat. Sukses untuk mas Boni yang keren banget
bisa menghasilkan seri sebagus ini hingga tuntas.
No comments:
Post a Comment