Search This Blog

Friday, May 23, 2014

Asoi Geboi Bohai, Cerita Jayus Mahasiswa Gokil

Judul : Asoi Geboi Bohai, Cerita Jayus Mahasiswa Gokil
Pengarang : Yudhi Herwibowo
Penyunting : Khun
Ilustrasi : Tka dan Michan
Tebal : 191 hlm
Cetakan : kedua, 2008
Penerbit: Gradien



                Satu lagi karya kocak seorang Yudhi Herwibowo yang berhasil membuat saya tergelak sekaligus sedikit iri (sedikit sih) karena tidak pernah merasakan gimana serunya menjadi anak kos. Buku ini menjadi salah satu dari beberapa buku lain tentang romansa kos yang sempat  booming tahun 2008 – 2009 karena memang isinya sangat mencerminkan ‘anak kos’, dan mengulas tanpa malu-malu segala kelakuan anak-anak kosan yang kadang bikin geleng-geleng muda. Perpaduan antara masa muda, waktu luang yang banyak (sebagai mahasiswa, kita punya banyak waktu luang untuk dinikmati sekaligus tidak merasa takut akan pandangan orang yang mengira kita menyia-nyiakan waktu), kondisi hidup jauh dari pengawasan orang tua; semua factor ini menjadikan anak-anak kos (terutama jika sudah rame-rame) menjadi “tega” berbuat yang kadang tak akan pernah terpikirkan oleh mereka ketika sendirian. Salah banyaknya ya adegan-adegan kocak yang dikisahkan dalam buku ini.

                Bab-bab dalam buku ini dibagi ke dalam empat bagian, masing-masing bab dikelompokkan sesuai tema besar yang akrab banget dengan anak kos. Yang pertama adalah tema tentang hantu. Sudah jamak kalau anak-anak kos ngumpul itu kalo ngak ngomongin hantu ya main kartu (sayangnya kebiasaan sosialisasi yang sangat legendaries ini mulai tergusur oleh gadget yang membuat anak muda sekarang jarang cekakak cekiki bersama kayak dulu). Di bagian pertama inilah Mas Yudhi mengisahkan aneka cerita horror yang dialaminya bersama teman-teman satu kosan, mulai dari mencoba melihat penampakan hingga misteri hantu penghuni pojokan kost yang setiap malam suka menggalau sendiri. Hiyya … ini buku humor apa buku seram sih? Tapi, cerita seram memang baru terasa seru dan entah mengapa malah semakin menakutkan saat di-share bareng teman-teman di malam yang gelap. Kesannya, takut-takut seru karena banyak temennya gitu.

                Bagian kedua adalah balada-baladi (halah bahasanya 80-an banget, Mas Yudhi wkwkwk) alias lika-liku (bahasamu juga 90-an gitu yon wkwkwk) alias aneka kisah (nah ini baru bahasa 2000-an) khas anak kos. Kalau zaman 90-an dulu, anak kos itu identik banget sama makan hemat di nasi kucing atau burjo (itu Jogja dink :p) sampai ada istilah intel (indomie telor) dan tante (tanpa telor). Kisah makan hemat dan aneka tips hemat ala anak kos inilah yang dibahas habis di bagian dua ini. Dalam hal ini, buku ini benar-benar mencerminkan apa yang dialami oleh anak kos. Meskipun saya bukan anak kos, tapi membaca bab 2 ini saya seperti mengalami sendiri pahit getir perjuangan anak kos (dan saya pun mendapatinya terjadi pada teman-teman kos saya waktu kuliah—kapan kamu kuliah Yon? Dulu bangetttt, udah lampauuu, past perfect tense aja pake bingits wkwkwk). Misalnya saja, suka merendam cucian kelamaan, berebutan memakai kamar mandi, rame-rame ikutan kuis berhadiah, orang gila di sebelah kosan, pinjem-pinjeman computer, dan lain-lain. Semua itu dikisahkan ulang sama Mas Yudhi dengan ada apanya apa, lebai dikit tetapi entah bagaimana nggak jayus (walau judul buku ini pake “jayus-jayusan”) dan terasa benar-benar terjadi. Penulis keren sih emang gini.

                Bagian tiga berkisah tentang c-i-n-t-a. Apa lagi sih hal yang bisa menyatukan anak kosan selain cinta dan pacaran? Sudah jamak banget kalau di kosan (kosan cowok apalagi) yang pemandangannya gersang karena isinya cowok semua sehingga penghuninya mendambakan pemandangan yang berbeda berupa bidadari-bidadari centil alias cewek. Sebagai anak muda, gelora jiwa mereka akan cinta sedang mencapai titik didih sehingga aneka hal tentang cewek dan pacaran menjadi tema yang selalu asyik untuk dibahas. Nah, pengen tahu gimana ceritanya ketika Mas Yudhi jatuh cinta? Ehem yuk baca bagian ini.

                Bagian terakhir buku ini khusus untuk 21+ alias membahas tentang kisah-kisah anak kos yang bertema “dewasa”. Selain hantu, topic paling mengasyikkan bagi anak kos (cowok lho) adalah ngomongin tentang seks. Satu hal yang pasti pernah dialami anak-anak kos adalah nonton film porno rame-rame. Jaman 90-an dulu baru sedikit mahasiswa yang punya computer pribadi sendiri, ada yang beruntung bisa membawa TV ke kosan, dan lebih beruntung lagi yang punya VCD. Maka, setiap hari tertentu diadakanlah iuran Selasa ceria yang uangnya kemudian digunakan untuk menyewa VCD porn*. Zaman dulu belum ada 3gp jadi bayangkan saja betapa malunya saat kita ke rental VCD dan ngomong ke Mbaknya: “Mbak, ada video unyil?” #eh. Saya ngakak total ketika di buku ini mas Yudhi menceritakan temannya yang sampai harus mengembalikan VCDnya karena isinya “negro” *guling-guling masuk kulkas.

                Aneka kisah di buku ini, baik ataupun buruk, niscaya pernah dialami oleh mereka yang sempat merasakan indahnya dunia nge-kos. Pahit getir, banyak canda tawa tapi juga kebersamaan dan kekompakkan sesama anak-anak perantauan. Tidak indah sering, banyak perjuangan itu pasti, tapi saya yakin (meskipun belum pernah mengalaminya sendiri)bahwa pengalaman nge-kos akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan dalam hidup seseorang. Terutama masa-masa 90-an dan 2000-an awal, ketika dunia belum secanggih dan sesesibuk serta seindividual seperti saat ini. Beruntunglah mereka yang merasakan nge-kos di masa itu, karena masa-masa itu memberikan banyak sekali pelajaran hidup tentang makna kemandirian, persahabatan, dan perjuangan, juga kebersamaan.


2 comments: