Judul :
Akkadia, Gerbang Sungai Tigris
Pengarang:
R.D. Villam
Penyunting :
Arie Prabowo dan Bonmedo Tambunan
Sampul :
Lewi Djayaputra
Cetakan : 1,
November 2009
Penerbit : Adhika Pustaka
Penerbit : Adhika Pustaka
“Pada akhirnya, yang penting adalah apa yang kita lakukan, bukan hanya
siapa diri kita.” (hlm 383)
Mesopotamia, kawasan subur di
antara lembah sungai Eufrat dan Tigris, abad ke-24 sebelum Masehi. Kerajaan
Akkadia dibawah pimpinan Raja Sargon dan panglima perangnya nan legendaries Rahzad,
berupaya memperluas wilayahnya dengan menaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Seluruh wilayah di barat sungai Tigris sudah takluk di tangannya, para raja dan
keluarga kerajaan yang ia taklukan ia basmi dengan semena-mena. Sementara,
rakyatnya ia terror dengan ketakutan agar tidak muncul pemberontakan. Dia
gunakan pasukan barion, binatang ganas perpaduan harimau, banteng, dan kuda
dengan kulit yang tak tertembus, sebagai senjata penakluk utama. Dewi Ishtar,
dewi cinta, kesuburan, sekaligus pelindung perang bagi bangsa Akkadia, konon
memberikan sendiri sepasukan barion kepada Rahzad karena keberanian dan
kehebatan sosok sang panglima. Untuk membendung invasi bangsa Akkadia, penyihir
Elam dari Tanah Persia kemudian membangun sebuah dinding sihir tak kasat mata di
sepanjang aliran sungai Tigris. Selama 30 tahun, dinding gaib ini tak tertembus
dan Akkadia tak pernah bisa menaklukkan Kerajaan Elam di timur sungai Tigris.
Naia, putri dari Kazzala—yang telah
ditaklukkan oleh Sargon—membawa rakyatnya mengungsi ke Timur. Dengan melewati
Gerbang Sungai Tigris, ia menyeberangi tabir pelindung gaib dan menyeberang ke
Tanah Elam yang aman. Namun, untuk menghindari kejaran pasukan Akkadia, dia
terpaksa bersekutu dengan mahkluk kegelapan. Satu perjanjian kuno yang akan
membuatnya “terkutuk” selamanya. Tubuhnya tercemar, setiap malam purnama ia
akan menjadi mesin pembunuh yang tak terhentikan. Ketika ini belum cukup,
kekejaman Rahzad memaksa Naia bersekutu dengan sesosok iblis batu bernama Davagni
yang meminta syarat berat kepada Naia: membawa turun sosok-sosok Nerghal, para
abdi kegelapan yang kekejamannya bahkan lebih ganas dari Sargon. Tapi, Naia tak
punya pilihan lain. Kondisinya sudah terdesak, pasukan Akkadia hampir berhasil
menangkapnya.
Keadaan semakin rumit ketika
Tezza, pelindung sekaligus kawan terdekat Naia tertangkap oleh pasukan Rahzad
dalam posisi linglung. Dengan bujukan sang panglima, Tezza lupa dengan semua
masa lalunya, dia bahkan diubah menjadi mesin perang Akkadia yang harus
mengejar dan menyerang Naia. Sementara itu, Naia sendiri memiliki misi untuk
menemukan Ahli Waris Sang Penjaga Gerbang, keturunan dari sosok penyihir yang
telah membangun dinding sihir di sungai Tigris. Tak dinyana, takdir malah
mempertemukan Tezza dengan sang ahli waris, saat itu keduanya sama-sama tidak
tahu siapa diri mereka sebenarnya dan sebesar apa takdir yang mereka emban. Cerita
terus bergulir, menghadirkan lebih banyak tokoh dan pertempuran. Petualangan
Naia bertemu dengan serangan Tezza, sementara pencarian sang ahli waris
mempertemukannya dengan sosok-sosok besar dalam sejarah perang kedua kerajaan.
Ketika hampir mencapai tengah,
pertempuran besar pun akhirnya pecah antara pasukan Akkadia dan pasukan
gabungan dari kerajaan-kerajaan di Elam. Ribuan pasukan saling bertempur satu
sama lain, pedang menebas, tombak menusuk, taring barion mengoyak, sihir
bertemperasan, bola api menyambar, darah tertumpah di mana-mana, ribuan nyawa
melayang sia-sia dalam beberapa hari saja. Sungguh, perang di mana pun selalu
kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan.
Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Dan ketika kedua pihak kelelahan, musuh
yang sejati muncul. Sosok-sosok kegelapan datang ke bumi membawa kekejaman yang
tak terbayangkan. Dan, Naia serta kawan-kawan, kembali harus berjuang untuk
melawan sang musuh dari alam lain, musuh yang jauh lebih kuat dan tak
terkalahkan.
Sebagai sebuah novel fantasi karya
penulis local, Akkadia bisa dibilang
sebuah masterpiece. Penggabungan antara sejarah dengan tema fantasi, yang
kemudian digarap dengan intens dan penuh ketekunan telah menghasilkan sebuah
bacaan fantasi yang bisa dibilang “lengkap”. Ada sihir dalam buku ini, ada pula
perang, intrik, sejarah, mitos, legenda, persahabatan, perjuangan, dan juga
cinta. Saya yakin Akkadia ini digarap
dengan begitu serius, hasil dari oleh pikir sang penulis juga polesan para
editor yang berjuang sekuat tenaga menghasilkan sebauh kisah epic yang begitu
mendetail seperti Akkadia. Secara
cerita, plot novel ini begitu tak tertebak, pembaca akan sulit menerka
bagaimana jalan cerita selanjutnya. Bahkan, banyak tokoh yang berbolak-balik
sehingga kita tidak tahu siapa sebenarnya yang harus kita dukung atau malah
kita benci.
Untuk saran, bagian deskripsinya
agak kurang bisa terbayangkan, walaupun cukup detail. Sampai selesai membaca
buku ini, saya masih sulit membayangkan bagaimana rupa atau wujud barion ini.
Saya juga masih kesulitan membayangkan sosok Naia dan Tezza. Atau, mungkin karena saking serunya alur
cerita sehingga saya nggak memperhatikan detail, bisa saja sih begitu. Kritik lain
adalah soal fontnya yang kecil dan rapat. Buku ini sangat bagus, tepi entah
kenapa saya butuh waktu lama saat membacanya. Dan, setiap kali membaca pasti
ketiduran sehingga buku ini baru selesai dalam 1 minggu, cukup lama karena
halamannya yang hanya 370-an. Mungkin, kerapatan spasi dan kecilnya font ikut mempengaruhi.
Tetapi, saya tetap yakin bahwa Akkadia adalah
sebuah novel fantasi karya local yang seharusnya bisa dibaca dan diapresiasi
lebih banyak orang.
“Kita harus percaya bahwa ada sesuatu yang baik menunggu kita di luar
sana, jika kita berani mengambil resiko.” (hlm 337)
dari reviewnya, sy pengen banget baca buku ini.kisah mesopotamia dan sungai tigris tercatat dalam sejarah, beneran ada. dan membayangkan kisah fantasi di dalamnyajadi bikin penasaran. apalagi dengan banyak intrik di dalamnya :)
ReplyDeleteAla mbuh ya'...
ReplyDeleteAla mbuh ya'...
ReplyDelete