Pengarang : Ayu Utami
Sampul : Wendie Artswenda
Cetakan: 1, Juni 2010
Tebal : 251 hlm
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Manjali dan Cakrabirawa adalah seri
kedua dari serial Bilangan Fu karya
Ayu Utami yang mengangkat kisah
petualangan trio Parang Jati, Sandi Yuda, dan Marja Manjali. Kisahnya sendiri
merupakan penggalan dan perluasan dari lini masa kisah dalam novel Bilangan Fu, yakni ketika Yuda
menitipkan Marja—kekasihnya—kepada Parang Jati. Ketiganya memang sobat akrab,
dan sama sekali tidak ada rasa risih menitipkan seorang pacar bagi Yuda. Well, jika sudah membaca Bilangan Fu, pembaca pasti bisa maklum
tentang persahabatan tiga anak muda yang tidak biasa ini. Dalam novel kedua
ini, kita diajak lebih mengenal siapa Parang Jati dan bagaimana di antara
ketiga orang ini bisa muncul cinta segitiga seperti yang kita jumpai dalam
novel Bilangan Fu.
Alkisah, Yuda menitipkan
Marja kepada Parang Jati selama satu minggu. Yuda sedang ada proyek pelatihan
bersama pihak militer dan ia tidak mau Parang Jati mengetahuinya. Kita tahu dari
Bilangan Fu betapa dia sangat benci
pada militer. Gadis itupun mengikuti petualangan Parang Jati dalam upayanya
menemukan dan merekonstruksi sebuah candi peninggalan Kerajaan Kediri yang
berada di kawasan perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kali ini, mereka
ditemani oleh seorang arkeolog dari Perancis bernama Jacques. Jacques inilah
orang tua yang “menyelamatkan” Marja agar tidak jatuh cinta kepada Parang Jati,
sahabat dari pacarnya sendiri. Dalam seri ini, kita akan menyaksikan bagaimana
benih-benih cinta terlarang itu tumbuh di antara kedua muda-mudi ini, dan Marja
sekuat tenaga harus berusaha mengabaikan tatapan mata Parang Jati yang bagaikan
bintang jatuh itu.
Bertiga,
mereka menyusuri pedalaman Jawa, menembus hutan dan makam berhutan kamboja,
menaiki tebing tanah terjal sebelum akhirnya menemukan sebuah reruntuhan candi
yang diperkiraka merupakan makam dari Calonarang, seorang ratu teluh yang konon
hidup dan membuat resah Raja Airlangga pada sekitar abad 10 – 11 Masehi. Dan
dalam perjalanan mereka, beragam kebetulan terjadi, seolah bagian dari puzzle
yang saling melengkapi. Tahulah Marja bahwa nama belakangnya adalah Manjali,
nama dari putri Calonarang yang dipersunting murid Empu Barada, tokoh yang
berhasil mengalahkan Caloranang dan membuat ratu teluh itu moksa. Di candi itu pula mereka menemukan peripih berisi mantra
cakrabirawa, sebuah mantra sakti dari Dewa Shiva. Kebetulan juga, Sandi Yuda
berkenalan dengan seorang militer yang terkait dengan operasi Cakrabirawa,
sebuah operasi yan mengubah wajah sejarah Indonesia tahun 1965.
“Jika kebetulan-kebetulan terjadi terlalu
banyak dan cocok satu sama lain, apakah kita tetap percaya bahwa itu adalah
serangkaian kebetulan belaka?” (hlm 18)
Dengan
piawai, Ayu Utami mampu mengaitkan dua peristiwa sejarah yang semula saling
tidak berkaitan. Tahun 1965, PKI memiliki basis massa yang sangat kuat.
Diperkirakan, merekalah pemenang pemilu sekiranya pemilu dilakukan secara demokratis.
Namun, sempalan dari PKI yang dipimpin oleh colonel Untung memutuskan untuk
menghabisi 7 perwira angkatan darat dan membuang mayat mereka di sebuah sumur
di Lubang Buaya. Peristiwa ini begitu terkenal dalam benak kita, peristiwa G 30
S PKI 1965. Sebuah peristiwa yang kemudian menjurus pada pembantaian massal
sekitar lebih dari satu juta orang yang terkait PKI di seluruh Indonesia,
sebuah pelanggaran HAM berat yang sampai sekarang masih belum jelas kebenarannya.
Sebuah luka dalam sejarah bangsa yang kemudian coba ditutup-tutupi. Dari sini,
Marja (atau mungkin Ayu Utami memaksudkannya untuk pembaca) mulai memahami apa
yang keliru dalam pengajaran sejarah kita. Bahwa sejarah adalah milik pihak
yang menang (history = his story),
dan tidak seharusnya kita memandang sejarah sebagai hitam dan putih, tetapi siapa pemenang dan siapa yang menjadi
korban.
“Maka, marilah, jangan kita
melihat sejarah ini sebagai pertarungan bala tentara setan dan malaikat.
Lihatlah pada si manusia.” (hlm 240)
Membaca Manjali dan Cakrabirawa ibarat berkelana ke Jawa pada abad
kesebelas Masehi, untuk kemudian kita tiba-tiba kita menyadari telah berada di
tahun 1965. Penulis membuka dan mendedahkan dua peristiwa sejarah yang sempat
mewarnai haru biru perjalanan kita sebagai sebuah bangsa. Khasnya Ayu Utami,
kalimat-kalimatnya selalu bermakna ganda dan membuat pembaca merenung. Dan,
novel ini juga obral pengetahuan sejarah (yang sangat saya sukai) tapi dengan
cara yang elegan dan tidak menggurui. Kita diajak untuk mengenal bagian-bagian
dari candi, sejarah pembangunannya, perbedaan antara candi di Jawa Tengah
dengan candi di Jawa Timur, tentang kompas spiritual orang Jawa (bahwa gunung
selalu menjadi arah utara sebagaimana Merapi di Jogja dan gunung Agung di
Bali), tentang hantu banaspati dan
leak, tentang apa yang terjadi di
tahun 1965, tentang cinta dan tentang Parang Jati.
Bagi
yang tertarik membaca seri ini, disarankan untuk membaca terlebih dulu novel Bilangan Fu walaupun novel ini bisa
dibaca langsung tanpa membaca sekuel pertamanya. Tetapi, banyak hal tentang
Parang Jati dalam buku ini yang
jawabannya bisa ditemukan di Bilangan Fu.
Dan kau akan semakin jatuh hati dengan pria berjari dua belas ini,
sebagaimana yang dialami oleh Marja. Untuk kualitas editing, saya hanya
menemukan 1 typo dalam novel ini. Secara fisik, terlihat bahwa buku ini
didesain hemat dan irit. Salut kepada Ayu Utami yang pernah bilang ke penerbit
bahwa ia ingin menulis buku dengan harga yang terjangkau sehingga lebih banyak
orang Indonesia yang bisa membacanya. Ini bisa dilihat dari kualitas kertas
yang “kelas menengah”, huruf dan spasi yang rapat, juga settingan yang di press agar novel ini tidak terlalu tebal
dan tidak mahal. Ini terbukti dengan harganya yang hanya Rp 40.000 padahal
dengan isi dan cerita yang selayaknya dihargai Rp 80.000 ke atas. Terima kasih
Mbak Ayu Utami.
mas dion perkenalkan saya dyah prabaningrum, mahsiswa susastra undip, bolehkah saya membeli buku manjali dan cakrabirawa? saya cari sudah tidak ada :-)
ReplyDelete