Pengarang: Poppy D Chusfany
Editor: Donna Widjajanto
Cetakan: 1, Agustus 2013
Tebal : 199 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ini pertama kalinya saya membaca
tulisan Mbak Poppy, salah satu penerjemah buku favorit saya. Sepertinya, sudah
tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana kualitas terjemahan beliau; dijamin
nyaman dan ngalir banget. Nah, lalu gimana kalau Mbak Poppy menulis buku, bukan
menerjemahkan? Bagaimana rasanya buku yang keluar dari hasil pemikirannya
sendiri, bukan mengalihbahasakan tulisan orang lain? Satu hal yang jelas, Orang-orang Tanah adalah buku kelimanya
yang diterbitkan. Dari sini saja sudah bisa ditebak kalau Mbak Poppy ini bukan
penerjemah biasa, dia adalah penerjemah yang berkarakter. Kebiasaan menggeluti,
membaca, dan menerjemahkan buku-buku bagus memang bisa menimbulkan efek “penciptaan”
kepada seseorang. Berbagai informasi, kata, dan cerita yang masuk; secara tidak
sadar akan mendorong munculnya perasaan ingin berkarya juga. Rupanya, inilah
yang terjadi pada kasus Mbak Poppy. Setidaknya, karena beliau banyak
menerjemahkan novel-novel fantasi, dua bukunya yang paling menonjol adalah Nocturnal dan Boocoholic Club sama-sama bertema fantasi dan buku. Dalam Orang-orang tanah, kumpulan cerpennya
yang pertama, genre dark fantasi mengambil alih.
Saya pernah punya Nocturnal, tapi belum membacanya. Dari
ulasan yang saya baca, novel itu sederhana tetapi rapi. Kerapian dan
kesederhanaan cerita ini malah menjadi poin plus, karena buku fantasi lokal itu
menjadi lebih bisa dinikmati pembaca. Untuk kasus Orang-orang Tanah, kecenderungan yang sama juga kembali saya
temukan. Buku ini sederhana, rapi, ditulis dengan amat teratur dan mudah
diikuti, dengan tema-tema dark fantasi yang banyak melibatkan karakter
ibu-anak. Seperti dalam Jendela dan Pelarian, kita akan dihibur oleh kisah
perjuangan seorang ibu dan anak yang berupaya “menentang dunia” yang kejam dan
absurb terhadap nasib mereka. Kisah pertama begitu real, seolah tengah membaca
sebuah cerpen berat di Kompas tentang
keseharian seorang anak miskin dan ibunya yang terus menerus disiksa. Tidak
terbayangkan kalau ending novel ini
berbau fantasi. Untuk Pelarian, settingnya
sendiri sudah fantasi jadi cukup dinikmati saja.
Cerita ketiga, Pondok Paling Ujung mengisahkan tentang
seorang penulis yang menyepi di suatu lembah demi mendapatkan inspirasi atas
tulisannya. Ia memang mendapatkan inspirasi, dari mahkluk gaib! Membaca cerita ini agak merinding juga, terutama
melihat bagaimana Mbak Poppy menuliskan setting dan menggambarkan karakter si
mahkluk lain ini yang ala-ala horor Poe. Menggerikan! Kisah Bulan Merah dan Dewa Kematian, sesuai judulnya, adalah kisah yang gelap dan endingnya
bikin kaget, terutama kisah kedua, yang memiliki twist yang langsung membelok
tajam begitu sampai di belakang. Kita baru tahu apa yang terjadi setelah
rampung membacanya. Pintu Kembali agak
mengingatkan saya pada Narnia dan The
Book of Lost Things, tentang perjalanan atau petualangan seorang anak di dunia
lain yang tengah mencari jalan pulang kembali ke dunianya. Mbak Poppy
mencampurkan antara yang absurb dan yang fantasi di buku ini. Indah dan rapi.
Dalam Lelaki Tua dan Tikus, kembali tema “kejahatan mendapatkan balasan” digunakan
sebagai penggerak cerita. Ini settingnya urban, tentang perempuan yang kembali
menjadi korban dari kondisi masyarakat perkotaan. Inilah yang saya suka dari Orang-orang Tanah, Mbak Poppy berkreasi
dengan cerita fantasi, tapi beliau juga menyelipkan pesan-pesan moral dalam
ceritanya. Bisa dibilang, kisah Lelaki
Tua dan Tikus ini cerpen fantasi yang mengandung aspek realitas, memberikan
pesan moral pada pembaca, sama seperti cerita Jendela. Begitu pula Sang
Penyihir, saya paling suka dengan cerita ini karena begitu menggambarkan
betapa mudahnya kita mendakwa salah sesuatu atau seseorang hanya karena dia berbeda dari yang kebanyakan. Manusia yang
dangkal selalu takut pada perbedaan. Mereka baru tenang kalau seluruh dunia
menjadi sama dan seragam, setidaknya adanya persamaan ini menjamin tidak
terjadinya perubahan atau bahkan revolusi, tidak peduli meskipun perubahan itu sebenarnya
positif.
Setelah dihibur dengan aneka cerpen
fantasi yang tidak hanya rapi dan menghibur, tapi juga “bergizi”, buku ini
ditutup oleh kisah Orang-orang Tanah yang
menurut saya memang cerita paling tepat untuk mengakhiri pembacaan buku ini.
Ini settingnya Indonesia banget tetapi membawa konsep ala troll atau kurcaci Barat
ke Indonesia. Alih-alih njomplang, cerita
ini sangat bisa dinikmati. Penulisannya rapi jail dan mungil kayak membaca
cerpen di majalah Bobo, meskipun
endingnya agak membuat pembaca tersentak sambil mengamati sampul depan buku ini
yang unyu-indah. Jangan tertipu dengan sampulnya yang unyu, Orang-orang Tanah adalah buku untuk usia
remaja ke atas. Ini bukan buku anak-anak, ini buku fantasi yang dark namun entah bagaimana sangat indah,
seindah ilustrasi-ilustrasi yang menghiasi bagian depan dari masing-masing
cerpen.
No comments:
Post a Comment