Search This Blog

Friday, February 14, 2014

Orang-Orang Tanah

Judul: Orang-Orang Tanah
Pengarang: Poppy D Chusfany
Editor: Donna Widjajanto
Cetakan: 1, Agustus 2013
Tebal : 199 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



18250158

                Ini pertama kalinya saya membaca tulisan Mbak Poppy, salah satu penerjemah buku favorit saya. Sepertinya, sudah tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana kualitas terjemahan beliau; dijamin nyaman dan ngalir banget. Nah, lalu gimana kalau Mbak Poppy menulis buku, bukan menerjemahkan? Bagaimana rasanya buku yang keluar dari hasil pemikirannya sendiri, bukan mengalihbahasakan tulisan orang lain? Satu hal yang jelas, Orang-orang Tanah adalah buku kelimanya yang diterbitkan. Dari sini saja sudah bisa ditebak kalau Mbak Poppy ini bukan penerjemah biasa, dia adalah penerjemah yang berkarakter. Kebiasaan menggeluti, membaca, dan menerjemahkan buku-buku bagus memang bisa menimbulkan efek “penciptaan” kepada seseorang. Berbagai informasi, kata, dan cerita yang masuk; secara tidak sadar akan mendorong munculnya perasaan ingin berkarya juga. Rupanya, inilah yang terjadi pada kasus Mbak Poppy. Setidaknya, karena beliau banyak menerjemahkan novel-novel fantasi, dua bukunya yang paling menonjol adalah Nocturnal dan Boocoholic Club sama-sama bertema fantasi dan buku. Dalam Orang-orang tanah, kumpulan cerpennya yang pertama, genre dark fantasi mengambil alih.
                Saya pernah punya Nocturnal, tapi belum membacanya. Dari ulasan yang saya baca, novel itu sederhana tetapi rapi. Kerapian dan kesederhanaan cerita ini malah menjadi poin plus, karena buku fantasi lokal itu menjadi lebih bisa dinikmati pembaca. Untuk kasus Orang-orang Tanah, kecenderungan yang sama juga kembali saya temukan. Buku ini sederhana, rapi, ditulis dengan amat teratur dan mudah diikuti, dengan tema-tema dark fantasi yang banyak melibatkan karakter ibu-anak. Seperti dalam Jendela dan Pelarian, kita akan dihibur oleh kisah perjuangan seorang ibu dan anak yang berupaya “menentang dunia” yang kejam dan absurb terhadap nasib mereka. Kisah pertama begitu real, seolah tengah membaca sebuah cerpen berat di Kompas tentang keseharian seorang anak miskin dan ibunya yang terus menerus disiksa. Tidak terbayangkan kalau ending novel ini berbau fantasi. Untuk Pelarian, settingnya sendiri sudah fantasi jadi cukup dinikmati saja.
                Cerita ketiga, Pondok Paling Ujung mengisahkan tentang seorang penulis yang menyepi di suatu lembah demi mendapatkan inspirasi atas tulisannya. Ia memang mendapatkan inspirasi, dari mahkluk gaib! Membaca cerita ini agak merinding juga, terutama melihat bagaimana Mbak Poppy menuliskan setting dan menggambarkan karakter si mahkluk lain ini yang ala-ala horor Poe. Menggerikan! Kisah Bulan Merah dan Dewa Kematian, sesuai judulnya, adalah kisah yang gelap dan endingnya bikin kaget, terutama kisah kedua, yang memiliki twist yang langsung membelok tajam begitu sampai di belakang. Kita baru tahu apa yang terjadi setelah rampung membacanya. Pintu Kembali agak mengingatkan saya pada Narnia dan The Book of Lost Things, tentang perjalanan atau petualangan seorang anak di dunia lain yang tengah mencari jalan pulang kembali ke dunianya. Mbak Poppy mencampurkan antara yang absurb dan yang fantasi di buku ini. Indah dan rapi.
                Dalam Lelaki Tua dan Tikus, kembali tema “kejahatan mendapatkan balasan” digunakan sebagai penggerak cerita. Ini settingnya urban, tentang perempuan yang kembali menjadi korban dari kondisi masyarakat perkotaan. Inilah yang saya suka dari Orang-orang Tanah, Mbak Poppy berkreasi dengan cerita fantasi, tapi beliau juga menyelipkan pesan-pesan moral dalam ceritanya. Bisa dibilang, kisah Lelaki Tua dan Tikus ini cerpen fantasi yang mengandung aspek realitas, memberikan pesan moral pada pembaca, sama seperti cerita Jendela. Begitu pula Sang Penyihir, saya paling suka dengan cerita ini karena begitu menggambarkan betapa mudahnya kita mendakwa salah sesuatu atau seseorang hanya karena dia berbeda dari yang kebanyakan. Manusia yang dangkal selalu takut pada perbedaan. Mereka baru tenang kalau seluruh dunia menjadi sama dan seragam, setidaknya adanya persamaan ini menjamin tidak terjadinya perubahan atau bahkan revolusi, tidak peduli meskipun perubahan itu sebenarnya positif.
                Setelah dihibur dengan aneka cerpen fantasi yang tidak hanya rapi dan menghibur, tapi juga “bergizi”, buku ini ditutup oleh kisah Orang-orang Tanah yang menurut saya memang cerita paling tepat untuk mengakhiri pembacaan buku ini. Ini settingnya Indonesia banget tetapi membawa konsep ala troll atau kurcaci Barat ke Indonesia. Alih-alih njomplang, cerita ini sangat bisa dinikmati. Penulisannya rapi jail dan mungil kayak membaca cerpen di majalah Bobo, meskipun endingnya agak membuat pembaca tersentak sambil mengamati sampul depan buku ini yang unyu-indah. Jangan tertipu dengan sampulnya yang unyu, Orang-orang Tanah adalah buku untuk usia remaja ke atas. Ini bukan buku anak-anak, ini buku fantasi yang dark namun entah bagaimana sangat indah, seindah ilustrasi-ilustrasi yang menghiasi bagian depan dari masing-masing cerpen.

No comments:

Post a Comment