Search This Blog

Friday, November 15, 2013

#5BukuDalamHidupku 100 Tahun Kesunyian, Buku Absurb Pertama yang Saya Suka



Judul   : Seratus Tahun Kesunyian

Pengarang   : Gabriel Garcia Marques

Penerjemah   : Nin Bakdi Soemanto

Penyunting : Wendratama

Cetakan : Pertama, Mei 2007

Halaman  : 547

Penerbit  : Klub Sastra Bentang    
 



                Mengapa buku ini begitu spesial? Ada dua alasan. Pertama adalah alasan fisik, yakni hal-hal yang terlihat mata dan terjamah tangan yang bisa saya dapatkan dari buku ini. Kedua adalah alasan nonfisik, yakni berkaitan dengan muatan dalam buku ini. Alasan fisik yang pertama adalah betapa sulitnya mencari buku langka ini dan betapa beruntungnya saya karena bisa memiliki dan membacanya. Dulu, buku ini saya dapatkan melalui info dari seorang teman di Surabaya, yang menginformasikan bahwa masih ada beberapa stock novel legendaris ini. Tregiur harga yang murah (hanya Rp 15.000 untuk novel pemenang Nobel Sastra), saya pun membelinya tanpa mengetahui sedikitpun siapa Marques. Setelah buku sampai ke tangan saya, saya mulai iseng mengecek rating novel ini di Goodreads. Betapa terkejutnya saya (atau tepatnya beruntungnya saya) karena bisa memiliki novel luar biasa ini.


                100 Tahun Kesunyian adalah salah satu masterpiece Gabriel Garcia Marquez, penulis asal Amerika Latin yang mendapatkan nobel perdamaian. Tulisannya dikenal absurd dan sangat memusingkan, tetapi sebagian pembaca mengatakan bahwa karya-karyanya indah. Sesuatu yang absurb namun indah. Bahkan, banyak kawan di dunia baca banyak yang mengaku “menyerah” dengan buku ini. Halaman yang tebal, font yang rapat, kalimat yang panjang-panjang (ada beberapa kalimat yang menghabiskan 2 – 3 halaman) hanyalah beberapa alasan fisik yang menjadikan novel ini “sulit dibaca”. Tapi, muatan atau isi dari 100 Tahun Kesunyian-lah sesungguhnya tantangan utama dari karya Margues ini. Mendengar hal ini, saya pun mengurungkan niat untuk segera membacanya, dan melarikan diri ke buku lain yang lebih ringan. Sebuah kesalahan!


                Tepat setahun kemudian, teman-teman di Blogger Buku Indonesia mengadakan baca bareng karya novelis pemenang Nobel Sastra. Karena di rak buku (baca: timbunan) tidak ada novel lain yang memenuhi syarat selain 100 Tahun Kesunyian, maka saya pun nekat menggunakan buku ini sebagai bahan bacaan untuk baca bareng. Ini adalah kenekatan yang berakhir indah. Perlu waktu hampir satu bulan bagi saya untuk menyelesaikannya, sebuah perjuangan yang berat karena membaca buku yang seharusnya santai malah terasa seperti beban. Tapi, ada satu yang membuat saya bertahan membaca buku ini: penerjemahannya yang sangat indah. Kalau saja bukan beliau NinBakdi Soemanto yang menerjemahkan buku ini, saya pasti sudah menyerah di sepertiga awal.


Ketika akhirnya saya berhasil menyelesaikan pembacaan buku ini, tiada perasaan lain yang muncul di dada selain rasa “luar biasa!” Novel ini, saya akui memang luar biasa. Bukan karena tebalnya yang lebih dari 500 halaman dengan font padat dan rapat serta paragraf yang bisa satu halaman panjangnya. Bukan pula karena pohon keluarga Jose Arcadio Buendia dan Ursula Iguaran yang begitu panjang dengan penggunaan nama-nama yang berulang. Ada sesuatu yang sangat spesial dari novel ini, memusingkan dan ruwet, tapi membacanya seperti menemukan pesona luar biasa dari kepiawaian sang penulis dalam meramu cerita. Inilah buku absurd pertama yang saya baca. 

Pada garis besarnya, buku ini adalah tentang Jose Arcadio Buendia dan Ursula Iguaran beserta ketujuh generasi anak-keturunan mereka. Kisah dimulai ketika Jose Arcadio Buendia membuka kota Macondo di kawasan rawa-rawa tak terjamah—dan perkembangan kota Macondo sendiri seperti mengikuti alur dari kisah keluarga Buendia. Kegilaan Jose Arcadio Buendia terhadap mitos-mitos lama ,seperti batu alkemi dan magnet, akhirnya menurun pada dua anak laki-lakinya: Jose Arcadio dan Aureliano Buendia. Mereka juga punya anak perempuan bernama Amaranta. Sementara ayahnya menjadi gila dan dikekang di bawah  pohon, kedua putranya ini juga sibuk dengan kegilaan masing-masing. Baik Aureliano dan Jose Arcadio kemudian jatuh cinta pada perang dan pemberontakan. Mereka bergabung dengan gerilyawan melawan Pemerintah, dan berkali-kali mengalami ketidakberuntungan dengan obsesi mereka akan perang. Hanya Aureliano Buendia yang bisa dibilang berhasil dalam hal ini. Ia telah menjadi semacam pahlawan kaum pemberontak dan namanya dipuja-puji puluhan tahun setelah tidak aktif lagi. Orang ini juga lebih beruntung karena berumur lebih panjang daripada Jose Arcadio dan juga berhasil “membuahi” belasan wanita sehingga ia memiliki sekitar 17 anak laki-laki beda ibu yang semuanya dengan bangga menyandang nama Aureliano. Pada akhirnya, ke-17 pemuda ini juga mengalami ketidakberuntungan, rata-rata mati muda.



          Wajar jika banyak yang pusing membaca buku ini. Saya sendiri kadang pusing mengingat nama-nama keluarga Buendia yang hampir mirip. Kelakuan mereka—terutama kaum prianya—juga mirip sehingga ujung-ujungnya mereka habis dalam cara yang cukup tragis. Satu-satunya pria yang agak waras mungkin Aureliano yang putranya Meme. Sementara, topang utama dari keluarga itu sesungguhnya adalah Ursula, yang sejak masa ketika suaminya Jose Arcadio Buendia menjadi gila, menjadi sati-satunya orang waras di rumah itu. Dengan segala kegilaan dan absurbitas dalam cerita ini, tidak heran jika 100 Tahun Kesunyian memang masuk sebagai buku yang sulit dipahami. Jangankan saya, Wikipedia saja memberikan definisi yang njilmet untuk novel ini:



            “Cerita ini jelas mengandung kenyataan yang magis, namun lebih dari itu, karena juga merupakan sebuah refleksi filsafati tentang hakikat waktu dan keterasingan. Sejumlah kritikus mengatakan bahwa buku ini kurang mengandung sifat cerita rakyat, yang merupakan prasyarat dari realisme magis, karena itu tidak dapat dikategorikan demikian…. Nilai novel ini terletak bukan hanya dalam penggunaan realisme magisnya yang inovatif, tetapi juga penggunaan bahasa Spanyolnya yang indah. Buku ini adalah sebuah tulisan epos yang merentang selama beberapa dekade dalam kehidupan sebuah keluarga yang besar dan kompleks.”



                Sepenangkapan saya, penulis menggunakan novel ini untuk mengkritik munculnya kerajaan-kerajaan atau negara-negara baru di kawasan Amerika Selatan dan Tengah selepas perang dunia pertama. Di mana, banyak dari negara-negara itu dipimpin oleh tiran yang gemar berperang dan mabuk kekuasaan. Sebagaimana nasib keluarga Buendia dan kota Macondo yang akhirnya habis, mereka yang terobsesi pada perang, kekuasaan, dan kesenangan duniawi (dalam novel ini dilambangkan oleh seks dan wanita) pada akhirnya akan hancur. Ditambah dengan segala absurbditasnya, novel ini memang luar biasa jika dibaca oleh orang yang tepat, yang akan mampu lebih memahami berbagai perumpamaan dan maksud dari sang penulis. Sayangnya, saya hanya baru bisa sampai para tahap menikmati, belum bisa menemukan permata-permata kebijaksanaan itu. Pembaca yang lebih cerdas pasti akan menemukan banyak harta dan kebijaksanaan dari novel ini. Sebagaimana kata penjual buku dari Catalan yang menjadi langganan dan teman dari Aureliano.



                “Dunia ini tentu sudah bobrok. Ketika orang bepergian dengan kereta kelas satu, tetapi kesusastraan diperlakukan seperti barang.” (hlm 525)



             Ada banyak sekali kejadian tidak masuk akal dalam keseharian keluarga ini, yang seolah merupakan sesuatu yang bias. Benar-benar absurb kalau kita mempertanyakan ini dan itu saat membaca novel berat ini. Dinikmati saja, biarkan cerita mengalir dengan sendirinya, itulah kunci untuk bisa merampungkan pembacaan novel luar biasa ini. Saya mampu bertahan menyelesaikan novel berat ini salah satunya karena terjemahan Nin Bakdi Soemanto yang luar biasa menawan, luwes, dan indah. Bahkan dengan mengabaikan ceritanya yang absurb, saya masih bisa menikmati keindahan detail dan kelancaran bercerita dari penulis aslinya. Salut untuk penerjemahnya.  Kalaupun saya luput menikmati ceritanya, saya jelas-jelas sangat menikmati terjemahannya.Secara umum, buku ini menjadi tonggak bagi saya untuk lebih bisa menikmati karya sastra, yang kadang memang bukan bacaan yang ringan. Buku ini ibarat tangga menanjak yang membawa saya ke tingkat pembacaan yang baru, apresiasi kesusasteraan.



2 comments: