Judul : Planetes.
Memburu Tongkat Silex Luminar
Pengarang :
Ziggy Zezsya Zeovienna Sabrizkie
Penyunting :
Aya Sophia
Halaman :
199 halaman
Cetakan :
1, Juli 2013
Penerbit :
Laksana Fiksi
“Zaman dahulu, dunia dibagi menjadi tiga
area: tempat tinggal mahlkuk nirwana yang mereka sebut Caelum, tempat tinggal
makhluk kegelapan yang disebut Atyra, dan tempat tinggal makhluk fana yang
disebut Terra. Masa sebelum nama-nama seperti surga, neraka, dan bumi dikenal
adalah saat di mana keajaiban paling sering terjadi. Di saat-saat begini, ada
naga, penyihir, kurcaci, dan peri.” (halaman 7).
Lupakan
sejenak nama pena penulis yang bikin lidah kepleset saat mengucapkannya (nama
pena lainnya dari penulis ini adalah Ginger Ellyse Shelley), paragraf pembuka
dari Planetes yang sangat berbau
fantasi di atas sudah cukup untuk menggoda saya yang penikmat bacaan fantasi ini. Dari awal,
penulis langsung menyodorkan elemen-elemen fantasi, menjelaskan di muka kepada
pembaca tentang riwayat singkat dunia Terra. Mungkin karena keterbatasan
halaman (dan hal ini sangat saya sayangkan), cerita yang berpotensi menjadi
sebuah bacaan fantasi lokal yang bagus ini terasa sangat pendek, terlalu cepat,
terlalu sedikit halamannya, terlalu cepat selesai dibacanya. Kisahnya sendiri
sudah cukup memunculkan rasa penasaran, banyak yang kemudian bertanya bagaimana
Terra dapat “dilipat”. Jawabannya ternyata ada di halaman 44.
Secara
garis besar, Planetes seperti
perpaduan sangat singkat dari inti kisah The
Lords of the Rings dengan kisah penciptaan. Dikisahkan, Terra yang berada
di antara Caelum dan Atyra sering mendapatkan serangan dari bangsa Islavir,
pasukan keji penghuni Atyra, karena posisinya yang kurang menguntungkan. Untuk
melindungi mahkluk fana, dewa dewi di Caelum mengutus dewi Asmaer untuk melipat
Terra (bagaimana sebuah dunia bisa dilipat dan mengapa? Baca sendiri deh di
buku ini) dan mengamankannya dari serangan bangsa Islavir yang dipimpin oleh
Agnar, dewa kejahatan. Sayangnya, Silex Luminar—tongkat pusaka yang sedianya
digunakan untuk melipat Terra—hilang ketika Asmaer terjatuh ke Terra.
Untungnya, ia diselamatkan oleh seorang pemuda kecil bernama Agni. Agni lalu
membawa Asmaer (yang berwujud gadis kecil) pulang ke rumahnya,
memperkenalkannya dengan keluarganya.
Penampilan
fisik Asmaer yang aneh (dalam buku ini deskripsi tokoh begitu panjang dan
detail, tapi tidak menghambat cerita menurut saya) membuat Agni dan keluarganya
penasaran. Maka, Agni pun membawa Asmaer ke Eoraed, seorang tetangga yang juga
berpenampilan fisik aneh. Dan, dari rumah Eoraed inilah petualangan berawal.
Asmaer mengisahkan apa yang terjadi, dan ketiganya (dan kemudian menjadi empat
setelah kakak Agni yang bernama Alvis ikut) sepakat untuk memulai petualangan
mencari SIlex Luminar demi menyelamatkan dunia. Maka, dimulailah perjalanan
5 pengelana mengarungi Terra. Terra kala
itu adalah dunia yang sangat ganas, dipenuhi dan dihuni oleh makhluk-makhluk
magis seperti raksasa yang bodoh tapi kejam, peri yang misterius, siren yang
tak tertebak, kaum penyihir yang penyendiri, manusia-manusia setengah raksasa
yang apatis, goblin dan kurcaci yang sering bertengkar, serta naga yang
perkasa.
Tempat
demi tempat mereka jelajahi, sampai anggota kelompok itu bertambah satu dengan
hadirnya seorang penyihir bernama Rosabel. Dengan bantuan mahkluk-mahkluk magis
(termasuk naga), akhirnya kelima pahlawan ini sampai di tempat di mana tongkat
pusaka itu berada. Di detik-detik terakhir itulah kabut misterius yang
menyelimuti Terra tersibak. Kelompok tersebut harus menerima sebuah fakta mengerikan
yang sama sekali tak terduga. Bisakah mereka mendapatkan kembali SIlex Luminar
sementara bangsa Islavir mulai menggerogoti barat daya Terra dengan kegelapan
dan kekejian? Akankah Terra bisa dilipat dan menjadi tempat yang aman? Ini
adalah sebuah kisah penciptaan yang sengaja dirahasiakan oleh dunia kuno.
Sebuah kisah tentang awal mula penamaan planet-planet.
Untuk
ukuran fiksi fantasi lokal, saya memberi empat bintang pada novel ini.
Mengesampingkan nama penulis yang agak alay dan halaman yang terlalu sedikit, Planetes termasuk bagus untuk standar
novel fantasi lokal (yang jumlahnya tidak banyak). Ceritanya memang cenderung
mengarah ke kisah untuk anak-anak. Perjalanan lima pahlawan kita begitu mulus
dan terlalu mudah untuk ukuran novel petualangan. Mungkin karena jumlah halaman
yang sedikit itulah sehingga unsur petualangan dan peperangan dalam novel ini
menurut saya masih sangat kurang. Juga, deskripsinya agak terlalu mendetail
walaupun tidak mengganggu alur cerita.
Namun, keunggulannya, kisah ini
penuh. Kisah ini padat. Kisah ini tidak meninggalkan tanda tanya saat pembaca
selesai menikmatinya. Begitu menghibur, mungkin
itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan Planetes. Penulis tidak sok lebai menjanjikan sebuah novel fantasi
yang panjang dan akbar, yang bersambung-sambung buku satu dan dua dan tiga dan
seterusnya. Kita tahu banyak novel fantasi bagus karya anak bangsa yang dibuat
sekuel, namun ketika pembaca sudah jatuh cinta pada buku pertama, buku kedua
tidak pernah nongol. Entah karena penulis malas melanjutkan atau bagaimana, yang jelas pembaca digantung dalam
waktu yang tidak jelas. Planetes dibuat
seingat dan one shot (sekali selesai)
mungkin untuk menghindari hal ini. jadi, bisa dimaklumi kalau kisah di dalamnya
berjalan terlalu cepat dan cenderung “digampangkan.” Satu hal yang jelas, novel
ini menghibur dan karenanya patut dikoleksi sebagai bagian dari karya fiksi
fantasi anak bangsa yang selayaknya kita dukung.
No comments:
Post a Comment