Search This Blog

Monday, September 30, 2013

Fahrenheit 451

Judul : Fahrenheit 451
Pengarang : Ray Bradbury
Alih Bahasa : Cecilia Ros
Editor : Allodia Yovita
Cetakan : 1,  2013, 232 halaman

Penerbit : Elex Media Komputindo





451 derajat Fahrenheit adalah temperatur yang mampu membakar kertas buku dan menghanguskannya. 


Karya klasik yang ditulis pada tahun 1950-an ini bersetting sekitar tahun 1980-an atau 1990-an menurut versi tahun 1950-an. Buku bergenre dystopia ini bercerita tentang sebuah masa di masa depan ketika mereka yang berkuasa memilih untuk menghancurkan buku dengan dalih membahagiakan manusia, karena beberapa buku dapat menyulap atau mengubah emosi manusia sedemikian rupa saat membacanya, dan oleh karena itu haruslah dimusnahkan dengan cara dibakar. Dunia dalam Fahrenheit 451 adalah dunia yang dikuasai oleh televisi dinding. Hampir setiap hari, manusia dikepung dan diberondong oleh tayangan visual yang menguasai 3 sisi dari 4 sisi dinding rumah mereka. Di kamar tidur, di ruang tamu, di dapur; semua dinding  adalah televisi.

Konon, rumah-rumah di seluruh dunia sudah dilapisi dengan plastik anti api pada saat itu sehingga kebakaran adalah hal yang sangat jarang terjadi. Karena tidak memiliki pekerjaan, para pemadam kebakaran yang tugasnya adalah untuk mencegah kebakaran pun dialihtugaskan untuk membakar, kali ini yang dibakar adalah buku-buku yang terlarang untuk dibaca seperti karya Shakespeare, Milton, dan Dante. Guy Montag adalah salah satu pemadam kebakaran itu. Kesukaannya membakar buku begitu meledak-ledak, sampai akhirnya ia bertemu seorang gadis aneh bernama Clarisse yang begitu bebas, serta seorang wanita tua yang rela membakar dirinya demi buku-bukunya. Kedua peristiwa penting inilah yang mengubah kehidupan sang pembakar buku itu.

“Pasti ada sesuatu di dalam buku-buku tersebut, sesuatu yang tidak bisa kita bayangkan, yang membuat seorang wanita tetap tinggal dalam sebuah rumah yang terbakar; pasti ada sesuatu di sana. Kau tidak mungkin tinggal kalau tak ada apa-apa.” (hlm 61)

Pertemuan Guy dengan Faber, seorang pensiunan profesor juga semakin menggelisahkan jiwanya. Ada sesuatu dengan buku, ada sesuatu yang salah dengan membakar buku. Dorongan dan kegelisahan itu begitu rupa sehingga sang pemadam kebakaran memutuskan untuk mengkhianati istrinya sendiri, mengkhianati atasannya sendiri yang begitu dendam terhadap buku (sekaligus cerdas dalam caranya sendiri), dan pada akhirnya, mengkhianati dunia yang telah terlebih dahulu mengkhianati dirinya sendiri dengan cara membakar buku-buku. Ia akan menyelamatkan dunia dengan menyelamatkan buku-buku itu.
***

                Sebuah buku yang cukup berat dibaca, bisa dibilang begitu. Entah karena penerjemahannya yang kurang luwes atau memang naskah aslinya yang sangat berbobot sehingga pembacaan buku ini cukup membuat pembaca berpikir (dan buku yang bagus memang biasanya seperti itu). Namun, buku ini istimewa sekali dalam menggambarkan masa depan. Mengesampingkan fakta bahwa karya klasik ini ditulis tahun 1950-an, pembaca yang tidak fokus akan menemukan betapa setting dalam dunia Fahrenheit 451 seperti tidak ada bedanya dengan dunia modern saat ini. Dan, apa yang diramalkan penulis sedikit banyak mulai mewujud nyata, seperti dunia yang sudah begitu dikuasai televisi hingga mobil-mobil berkecepatan tinggi yang menghilangkan gaya hidup aktif.


Sejatinya, Fahrenheit 451 adalah sindiran sekaligus kritikan bagi dunia yang mengalami gagap kebudayaan. Teknologi berkembang, semua menjadi serba instan dan cepat. Hal-hal seperti duduk-duduk dan saling bertegur sapa dengan tetangga, menikmati bau bunga liar, atau memandang bintang-bintang dianggap ketinggalan zaman. Lebih parahnya lagi, membaca dianggap lambat dan boros waktu, sehingga seluruh informasi harus ditayangkan via televisi. Saking pentingnya televisi, dinding setiap rumah adalah televisi itu sendiri. Ini seharusnya menyindir kita yang kadang memiliki sebuah televisi di setiap ruangan, tapi hampir-hampir tidak ada buku di dalamnya. Semoga, ramalan Bradbury tentang sebuah dunia yang membakar buku dalam Fahrenheit 451 ini tidak menjadi kenyataan. Karena, sebagaimana kata sang pengarang: “… Membaca adalah pusat kehidupan kita. Perpustakaan adalah otak kita. Tanpa perpustakaan, kau tidak memiliki peradaban.” (hlm 224).

3 comments:

  1. Bagus banget reviewnya mas Dion! Jadi bener2 ngiler mau baca buku ini *langsung masukin k wishlist* x)
    Makasih infonya 8D

    ReplyDelete
  2. Terima kasih ya, yuk dibaca buku bagus banget ini

    ReplyDelete
  3. buku ini tipis, tapi isinya 'penuh', jadi pengen baca ulang kapan2

    ReplyDelete