Judul : Fahrenheit 451
Pengarang : Ray Bradbury
Alih Bahasa : Cecilia Ros
Editor : Allodia Yovita
Cetakan : 1, 2013, 232 halaman
Penerbit : Elex Media Komputindo
451 derajat Fahrenheit adalah temperatur yang mampu membakar
kertas buku dan menghanguskannya.
Karya klasik yang ditulis pada tahun 1950-an ini bersetting sekitar tahun 1980-an atau 1990-an menurut versi tahun 1950-an. Buku bergenre dystopia ini bercerita tentang sebuah masa di masa depan ketika mereka yang berkuasa memilih untuk menghancurkan buku dengan dalih membahagiakan manusia, karena beberapa buku dapat menyulap atau mengubah emosi manusia sedemikian rupa saat membacanya, dan oleh karena itu haruslah dimusnahkan dengan cara dibakar. Dunia dalam Fahrenheit 451 adalah dunia yang dikuasai oleh televisi dinding. Hampir setiap hari, manusia dikepung dan diberondong oleh tayangan visual yang menguasai 3 sisi dari 4 sisi dinding rumah mereka. Di kamar tidur, di ruang tamu, di dapur; semua dinding adalah televisi.
Karya klasik yang ditulis pada tahun 1950-an ini bersetting sekitar tahun 1980-an atau 1990-an menurut versi tahun 1950-an. Buku bergenre dystopia ini bercerita tentang sebuah masa di masa depan ketika mereka yang berkuasa memilih untuk menghancurkan buku dengan dalih membahagiakan manusia, karena beberapa buku dapat menyulap atau mengubah emosi manusia sedemikian rupa saat membacanya, dan oleh karena itu haruslah dimusnahkan dengan cara dibakar. Dunia dalam Fahrenheit 451 adalah dunia yang dikuasai oleh televisi dinding. Hampir setiap hari, manusia dikepung dan diberondong oleh tayangan visual yang menguasai 3 sisi dari 4 sisi dinding rumah mereka. Di kamar tidur, di ruang tamu, di dapur; semua dinding adalah televisi.
Konon, rumah-rumah di seluruh dunia
sudah dilapisi dengan plastik anti api pada saat itu sehingga kebakaran adalah
hal yang sangat jarang terjadi. Karena tidak memiliki pekerjaan, para pemadam
kebakaran yang tugasnya adalah untuk mencegah kebakaran pun dialihtugaskan
untuk membakar, kali ini yang dibakar
adalah buku-buku yang terlarang untuk dibaca seperti karya Shakespeare, Milton,
dan Dante. Guy Montag adalah salah satu pemadam kebakaran itu. Kesukaannya
membakar buku begitu meledak-ledak, sampai akhirnya ia bertemu seorang gadis
aneh bernama Clarisse yang begitu bebas, serta seorang wanita tua yang rela
membakar dirinya demi buku-bukunya. Kedua peristiwa penting inilah yang
mengubah kehidupan sang pembakar buku itu.
“Pasti ada sesuatu di dalam buku-buku tersebut, sesuatu yang tidak bisa
kita bayangkan, yang membuat seorang wanita tetap tinggal dalam sebuah rumah
yang terbakar; pasti ada sesuatu di sana. Kau tidak mungkin tinggal kalau tak
ada apa-apa.” (hlm 61)
Pertemuan Guy dengan Faber,
seorang pensiunan profesor juga semakin menggelisahkan jiwanya. Ada sesuatu
dengan buku, ada sesuatu yang salah dengan membakar buku. Dorongan dan
kegelisahan itu begitu rupa sehingga sang pemadam kebakaran memutuskan untuk
mengkhianati istrinya sendiri, mengkhianati atasannya sendiri yang begitu
dendam terhadap buku (sekaligus cerdas dalam caranya sendiri), dan pada
akhirnya, mengkhianati dunia yang telah terlebih dahulu mengkhianati dirinya
sendiri dengan cara membakar buku-buku. Ia akan menyelamatkan dunia dengan
menyelamatkan buku-buku itu.
***
Sebuah
buku yang cukup berat dibaca, bisa dibilang begitu. Entah karena
penerjemahannya yang kurang luwes atau memang naskah aslinya yang sangat
berbobot sehingga pembacaan buku ini cukup membuat pembaca berpikir (dan buku
yang bagus memang biasanya seperti itu). Namun, buku ini istimewa sekali dalam
menggambarkan masa depan. Mengesampingkan fakta bahwa karya klasik ini ditulis
tahun 1950-an, pembaca yang tidak fokus akan menemukan betapa setting dalam
dunia Fahrenheit 451 seperti tidak
ada bedanya dengan dunia modern saat ini. Dan, apa yang diramalkan penulis
sedikit banyak mulai mewujud nyata, seperti dunia yang sudah begitu dikuasai
televisi hingga mobil-mobil berkecepatan tinggi yang menghilangkan gaya hidup
aktif.
Sejatinya, Fahrenheit 451 adalah sindiran sekaligus
kritikan bagi dunia yang mengalami gagap kebudayaan. Teknologi berkembang,
semua menjadi serba instan dan cepat. Hal-hal seperti duduk-duduk dan saling
bertegur sapa dengan tetangga, menikmati bau bunga liar, atau memandang
bintang-bintang dianggap ketinggalan zaman. Lebih parahnya lagi, membaca
dianggap lambat dan boros waktu, sehingga seluruh informasi harus ditayangkan
via televisi. Saking pentingnya televisi, dinding setiap rumah adalah televisi
itu sendiri. Ini seharusnya menyindir kita yang kadang memiliki sebuah televisi
di setiap ruangan, tapi hampir-hampir tidak ada buku di dalamnya. Semoga,
ramalan Bradbury tentang sebuah dunia yang membakar buku dalam Fahrenheit 451 ini tidak menjadi
kenyataan. Karena, sebagaimana kata sang pengarang: “… Membaca adalah pusat kehidupan kita. Perpustakaan adalah otak kita.
Tanpa perpustakaan, kau tidak memiliki peradaban.” (hlm 224).
Bagus banget reviewnya mas Dion! Jadi bener2 ngiler mau baca buku ini *langsung masukin k wishlist* x)
ReplyDeleteMakasih infonya 8D
Terima kasih ya, yuk dibaca buku bagus banget ini
ReplyDeletebuku ini tipis, tapi isinya 'penuh', jadi pengen baca ulang kapan2
ReplyDelete