Search This Blog

Thursday, August 29, 2013

Sebuah Lorong Di Kotaku

Judul : Sebuah Lorong Di Kotaku
Pengarang: NH Dini

http://harunoblue.files.wordpress.com/2010/10/sebuah-lorong-di-kotaku.jpg

Jika ada kisah masa kecil yang khas Indonesia dan cerita itu benar-benar membuat pembaca modern merasa iri, maka novel memoar Sebuah Lorong di Kotaku ini adalah salah satunya. Ditulis sebagai seri pertama dari Cerita Kenangan oleh sastrawan Indonesia NH Dini, buku ini merupakan penggambaran tertulis dari kisah masa kecil penulis yang digambarkan dengan begitu apiknya. Tidak heran jika memoar ini masuk dalam ranah sastra Indonesia sebagai sebuah karya yang dianggap membangkitkan romantisme masa kecil nan menakjubkan.

                Sebuah Lorong di Kotaku mengambil setting di sebuah dusun kecil di dekat Semarang, kemungkinan wilayah dekat Ungaran. Setting waktunya adalah menjelang berakhirnya masa penjajahan Belanda, yakni ketika Jepang mulai menduduki Indonesia bagian utara. Tahunnya diperkirakan sekitar tahun 1940-an. Kisah ini dibuka dengan penggambaran yang sangat mendetail mengenai kondisi rumah kebanggaan keluarga penulis. Rumah itu bergaya Jawa dengan pendopo di tengah, kamar-kamar yang mengelilingi, serta dapur yang terpisah di belakang. Kanan dan kiri ditanami oleh kebun, sementara di bagian belakang yang berbatasan dengan sungai merupakan kebun buah-buahan.

                Novel ini sebenarnya tipis, tapi membacanya sangat padat. Ratusan atau bahkan ribuan informasi tertumpah melalui paragraf-paragrafnya yang juga dicetak rapat dan kecil-kecil. Walau deskripsinya sangat detail, ceritanya tidak membuat pembaca bosan karena kekenyangan detail. NH Dini mampu menuliskannya sedemikian rupa sehingga alih-alih bosan, pembaca malah mendapatkan berbagai kisah kenangan yang mampu memantik kerinduan akan kesederhanaan zaman dulu. Menangkap ikan di sungai, kemudian digoreng sebagai lauk pauk. Bepergian dengan membawa termos. Membuar arem-arem sebagai bekal di perjalanan. Membeli tiwul di simbok-simbok penjaja makanan. Naik becak dan delman. Mengarungi sungai dengan sandal yang dibawa dengan tangan. Semua kegiatan ini mungkin sudah jarang kita lakukan di zaman modern ini, dan karena itulah membaca buku ini kita serasa diajak bernostalgia.

                Selain detail, informasi-informasi jadul yang diucapkan oleh Ibunda penulis juga acap kali membuat kita senyum-senyum  sendiri. Ketika beliau meminta agar anak-anak segera menghabiskan bekal teh manis dalam termos yang ia bawa karena teh itu akan basi sore harinya. Juga, ketika ia menyuruh mendinginkan dulu air yang mau dibawa dengan botol. Teh atau nasi yang dimasukkan panas-panas memang mudah basi, dan sampai saat ini saya masih ingat untuk mendinginkan dulu nasi sebelum dimasukkan dalam kotak bekal. Juga, kisah ayah si penulis saat menjaring ikan, jenis-jenis ikan, macam-macam tanaman yang bisa dipetik sendiri di halaman rumah, ah bukankah yang seperti  sudah jarang kita jumpai di zaman serba googling dan Indom*r*t ini?

                Unsur konflik dan ketegangan belum terlalu banyak di seri ini. Penulis sepertinya lebih menekankan pada unsur ”pengenalan” melalui deskripsi tempat/orang/benda yang begitu rinci. Ceritanya sederhana, tapi ada bagian menegangkan ketika sekeluarga harus mengungsi ketika tengah terjadi serangan udara oleh pasukan Belanda. Namun, kisah ini lebih didominasi oleh kesederhanaan. Sebuah kisah sederhana tentang masa kecil, namun begitu berlimpah dengan kenangan-kenangan masa dulu. Begitu membuka halaman pertama, limpahan kenangan akan mengucur deras, membuat pembaca terpaku dan membayangkan dalam angannya rumah masa kecil NH Dini yang begitu “Jawa” dan tenteram. Bahkan ketika perang pun, rumah itu tetap terasa tenteram. Memang benar ungkapan yang menyebut bahwa “tiada tempat seperti di rumah.”



9 comments:

  1. Satu lagi karya NH. Dini yang bikin tertarik untuk dibaca.
    Setiap ada Gramedia Sale sdh mau beli, tapi karena kisahnya 'berseri' jadi maju-mundur, soalnya klo tdk lengkap rasanya giman begitu mau baca (>,<) --. pengalaman sama bukunya Pram
    *blogwalking*
    [ http://asian-literature.blogspot.com/2013/08/books-ronggeng-dukuh-paruk.html ]

    ReplyDelete
  2. Eh, kok mirip buku yang kuriview hari ini ya mas. sama - sama membangkitkan kenangan masa kecil.
    Menurutku, kekurangan yang kita jumpai di masa lalu malah membuat kita sangat menghargai yang kita punya. Betul tidak?

    ReplyDelete
  3. Belum baca buku yang ini. Jadi pengen punya (dan baca :D). Baru baca 2 judul dari NH Dini, tapi suka sekali bahasanya. Seperti kata Mas Dion, sederhana, tapi kaya. Rasanya adeeeeem...

    ReplyDelete
  4. Aaah.. NH Dini... ibunya Pierre Cofin.
    Gaya menulis Bu Dini itu sangat khas.. aku suka! :)

    #Kilas Buku Blogwalking

    ReplyDelete
  5. pernah ketemu bapak bapak di kereta yang setelah hasil ngobrol, punya koleksi penuh bukunya NH Dini. Trus diundang ke rumahnya, sayangnya.. di Jakarta XD

    ReplyDelete
  6. ahhh nostalgia bangeeet...pengen cari ah bukunya...hmmm seandainya ada yg ttg nostalgia dengan setting bandung *maksa* ;p

    ReplyDelete
  7. dion, kapan2 aku pinjam ya buku ini..aku selalu denger NH Dini tpi blm pernah berkenalan dengan karyanya. Btw, klo bukunya NH Dini yg paling bagus menurutmu apa? sapa tau itu bisa jadi permulaanku nyicipi karyanya.

    ReplyDelete
  8. aku belum pernah baca.... padahal guru bahasa indonesia SMAKu selalu ngerekomen karya-karya beliau

    ReplyDelete
  9. sayang sudah lama beliau tidak mengeluarkan buku baru :(

    ReplyDelete