Judul :
Jembatan Terabithia
Pengarang : Katherine Paterson
Penerjemah : Sapardi Djoko Darmono
Cetakan : pertama, 2001
Penerbit : Elex Media Komputindo
Jesse Aarons adalah seorang bocah laki-laki yang harus tinggal di sebuah keluarga dengan 4 orang saudari. Ia diapit 2 kakak perempuan yg beranjak remaja dan 2 adik perempuan yang masih kanak-kanak. Bayangkan saja, saat itu ia berusia 10 tahun, masa-masa menjelang remaja di mana seharusnya ia lebih sering bermain dengan anak laki-laki atau saudara laki-laki. Ayahnya pergi pagi dan pulang malam, ngelaju alias komuter dari Washington. Dan saat akhir pekan, sang ayah sudah terlalu lelah untuk bisa berinteraksi dengan anak laki-lakinya. Jesse pun melampiaskan rasa galaunya dengan berlatih berlari. Ia ingin menjadi yang tercepat, yang terhebat, anak lelaki yang benar-benar cowok.
Dan, Jesse membuktikan ucapannya. Ia berlatih lari setiap hari hingga tinggal menunggu waktu sampai ia menjadi pelari tercepat di kelasnya. Namun, impian itu langsung buyar ketika suatu hari ada anak pindahan dari kota bernama Leslie Burke, dan anak cewek itu telah mengalahkannya dalam perlombaan lari. Jesse tentu saja marah, tapi Leslie adalah anak cewek yg unik sehingga tidak butuh lama bagi keduanya untuk bisa bersahabat. Keduanya kemudian mendirikan Kerajaan Terabithia, sebuah tempat dimana khayalan dan imajinasi adalah batu bata penyusunnya. Dan, kisah serta dongeng adalah santapan harian yang paling disukai di seantero negeri ajaib itu. Maka, Terabithia segera menjadi tempat favorit keduanya. Negeri di mana mereka bisa melarikan diri dari tugas sekolah yg membosankan, masalah-masalah dalam keluarga, dan kegalauan menjelang masa remaja.
Membaca buku ini, kita akan dibawa kembali ke indahnya masa kanak-kanak tempo dulu. Waktu itu belum ada hp dan internet, walau sudah ada TV. Jembatan Terabithia mengambil setting tahun 60-70an, ketika anak-anak di desa masih asik lomba lari dan main bola ketimbang PS-an. Ketika mereka asik mencari tempat-tempat seru untuk berpetualang di hutan, dan kemudian menjadikannya sebagai markas rahasianya, melompati sungai, berayun dengan dahan pohon, mengembala kambing. Tentang persahabatan yang sejati. Sungguh, setting novel ini sangat indah dan sederhana, mengingatkan kita pada film Little House on the Prairie. Benar-benar perayaan dari masa kanak-kanak yang sesungguhnya.
Ada yang bilang, buku bisa membuat pembacanya terluka. Dan, saya memang terluka setelah membaca buku. Tapi terluka yang indah, yang membuat saya langsung terhenyak saat sampai di endingnya. Sebuah ending yang cukup menyayat hati tapi meninggalkan pelajaran moral yang luar biasa bagi kita, para pembaca yang telah diberi anugerah untuk tumbuh dan melalui masa-masa kecil yang begitu indah.
“Untuk ketakutan di masa mendatang … Ya, kau harus menghadapi rasa takut itu dan tidak membiarkannya melumatkanmu. Betulkan, Leslie?” (hlm 178)
Dan, Jesse membuktikan ucapannya. Ia berlatih lari setiap hari hingga tinggal menunggu waktu sampai ia menjadi pelari tercepat di kelasnya. Namun, impian itu langsung buyar ketika suatu hari ada anak pindahan dari kota bernama Leslie Burke, dan anak cewek itu telah mengalahkannya dalam perlombaan lari. Jesse tentu saja marah, tapi Leslie adalah anak cewek yg unik sehingga tidak butuh lama bagi keduanya untuk bisa bersahabat. Keduanya kemudian mendirikan Kerajaan Terabithia, sebuah tempat dimana khayalan dan imajinasi adalah batu bata penyusunnya. Dan, kisah serta dongeng adalah santapan harian yang paling disukai di seantero negeri ajaib itu. Maka, Terabithia segera menjadi tempat favorit keduanya. Negeri di mana mereka bisa melarikan diri dari tugas sekolah yg membosankan, masalah-masalah dalam keluarga, dan kegalauan menjelang masa remaja.
Membaca buku ini, kita akan dibawa kembali ke indahnya masa kanak-kanak tempo dulu. Waktu itu belum ada hp dan internet, walau sudah ada TV. Jembatan Terabithia mengambil setting tahun 60-70an, ketika anak-anak di desa masih asik lomba lari dan main bola ketimbang PS-an. Ketika mereka asik mencari tempat-tempat seru untuk berpetualang di hutan, dan kemudian menjadikannya sebagai markas rahasianya, melompati sungai, berayun dengan dahan pohon, mengembala kambing. Tentang persahabatan yang sejati. Sungguh, setting novel ini sangat indah dan sederhana, mengingatkan kita pada film Little House on the Prairie. Benar-benar perayaan dari masa kanak-kanak yang sesungguhnya.
Ada yang bilang, buku bisa membuat pembacanya terluka. Dan, saya memang terluka setelah membaca buku. Tapi terluka yang indah, yang membuat saya langsung terhenyak saat sampai di endingnya. Sebuah ending yang cukup menyayat hati tapi meninggalkan pelajaran moral yang luar biasa bagi kita, para pembaca yang telah diberi anugerah untuk tumbuh dan melalui masa-masa kecil yang begitu indah.
“Untuk ketakutan di masa mendatang … Ya, kau harus menghadapi rasa takut itu dan tidak membiarkannya melumatkanmu. Betulkan, Leslie?” (hlm 178)
aku baru pernah nonton filmnya doang nih..dan iya, endingnya terlalu menyedihkan deeeh...baru tau ada versi terjemahannya :)
ReplyDeleteLg seneng-senengnya baca, eh endingnya langsung bikin ngun ngun
Deleteaduh bukunya masih ketimbun
ReplyDeleteYee ini kan nitip maztez wkwk
Deletekan jadi bayangin adek bungsu yang kakaknya cewek semua :((
ReplyDeleteHahahaha untungnya ini diapit 2 cewek adik dan kakak
DeleteAaaakkk....ceritanya tampak menyayat hati yaaa.... >.<
ReplyDeleteIya ...endingnya aduh tonton filmnya saja deh hihihi
Deleteahhh...pinjem donk :D terjemahannya bagus-kah ? masuk list book award bacaanku soalnya
ReplyDelete