Search This Blog

Wednesday, July 31, 2013

Granada

Judul : Granada
Penulis : Radwa Ashouri
Penerjemah : Kamran Asad Irsyadi
Penyunting   : Hulu Tualang
Sampul : M. Roniyadi
Tebal : 350 hlm
Cetakan : 1, 2008
Penerbit : Buku Mutu      



     “Granada memang telah jatuh, Hassan, tapi siapa tahu kelak ia akan kembali ke tanganmu dengan pedangmu atau kau tulis kisahnya, kau dokumentasikan tokoh-tokohnya. Aku tidak ingin kau menjadi pengrajin ktab sepertiku, Nak, tapi seotang penulis besar sekaliber ibnu el-Khatib dan namamu akan tertulis dengan tinta emas bersama Granada dalam setiap kitab.” (hlm 51)

Tahun tahun 1400-an merupakan akhir dari masa kekhalifahan muslim di Andalusia, Spanyol. Kerajaan yang pernah terkenal sebagai permata Eropa itu runtuh sedikit demi sedikit karena intrik politik, perpecahan, dan diperparah dengan serbuan pasukan Kerajaan Aragon pimpinan Raja Ferdinand dan Ratu Isabel. Ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan, warga muslim dan Yahudi dipaksa oleh Mahkamah Inkusisi yang tidak mengenal belas kasih untuk berpindah agama atau akan dideportasi, dibuang dari tanah airnya. Maka. Berakhirlah sudah masa-masa 700 tahun masa-masa kegemilangan Andalusia. Sebuah daratan yang dulu riuh rendah oleh diskusi intelektual membahas filsafat Yunani atau ilmu pengobatan, yang dulu dihiasi oleh ratusan masjid dan istana indah, air mancur serta kebun kurma yang elok. Semua jatuh ke tangan penguasa Eropa, Kerajaan Castille.

                Di masa-masa sulit inilah keluarga dan keturunan Abu Jafaar hidup. Dari yg semula adalah pemilik toko kitab dan manuskrip nan makmur, ia kehilangan pekerjaan setelah Mahkamah Inkusisi mengharamkan kitab2 berbahasa Arab, bahkan membakarnya. Kepedihan Abu Jafaar mencapai puncaknya ketika ia menyaksikan Ratusan kitab kesayangannya dibakar oleh tentera Castile di alun-alun Bab el-Ramlah, yang menyebabkan kematiannya karena kesedihan tak tertahankan melihat kertas-kertas tak berdosa itu menggulung seolah menghindari api. Maka, tinggallah keturunan beliau yang harus hidup dalam bayang-bayang kekejaman Mahkamah Inkusisi.

                Anak cucu Abu Jaafar bertahan menjadi Muslim. Di dalam rumah, mereka tetap sholat dan berkomunikasi dalam bahasa Arab, tetapi di luar rumah mereka berbahasa Castile, menggunakan nama baptis dan menghadiri "misi suci" pada hari ahad di gereja. Hidup dalam bayang-bayang menyembunyikan keimanan, dengan segala intrik dan muslihat agar mereka tetap terlihat “Castille” walau dalamnya “Arab”. Salah satu keluarga itu, Saleemaa adalah seorang gadis yang cerdas dan suka membaca kitab. Ia terapkan ilmu pengobatan dalam Kitab Canon Ibnu Sina walaupun mata-mata Castile berkeliaran mencari mangsa. Pada kala itu, membaca kitab bahkan sekadar memilikinya bisa dihukum cambuk dan penjara. Perjuangan mereka sangat berat, antara mempertahakan tradisi membaca dan meneliti atau menyerahkan nyawa dan keselamatan keluarga pada mahkamah inkusisi.
               
              “Seberapakah nilai uang berdinar-dinar di hadapan halaman ensiklopedi yang secara detail menjelaskan khasiat rumput dan tanaman. Orang bijak adalah yang membelinya, orang yang menjualnya adalah orang-orang yang benar-benar bodoh.” (hlm 213)

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/0c/El_Partal_Palace,_Alhambra,_Spain.JPG

Gambar: Kompleks Istana Al-Hambra, salah satu peninggalan era Muslim di Andalusia, Spanyol

Jika ditilik dari sejarah, peristiwa genosida kebudayaan di Andalusia pada tahun 1400-an sering disebut-sebut sebagai genosida paling kejam dalam sejarah modern setelah era Perang Dunia Pertama. Jutaan orang terusir dari tanah kelahirannya, direnggut dari keyakinannya, serta diasingkan dan dianggap sebagai budak-budak setan hanya karena mereka berbeda keyakinan. Penulis dengan lembut berhasil menggambarkan apa yang dialami oleh muslim Granada pada kala itu melalui buku ini. Ketertindasan, keterasingan—bahkan mereka tidak diperbolehkan bepergian ke kota lain, hingga perpisahan dengan keluarga tercinta. Semuanya dipotret dalam perjalanan generasi keluarga Abu Jafaar, sang penjual kitab. Ada beberapa bagian yang bikin miris hati, terutama ketika mereka menumpuk berbagai kitab dan manuskrip kuno kemudian membakarnya dengan alasan untuk memurnikan ajaran agama dari sihir dan bidah.

               Penggambaran setting Andalusia juga cukup mengena, sepertinya penulis telah melakukan berbagai riset untuk mengetahui dan menggambarkan kehidupan di Andalusia pada era itu. Dikisahkan pula sedikit tentang perjalanan Columbus dalam menemukan dunia baru. Dalam beberapa catatan memang disebutkan bahwa Columbus membawa serta dua mualim Arab bersamanya dalam pelayarannya ke Benua Amerika.  Terjemahan buku ini juga sangat bagus sekali, penerjemah sepertinya memiliki cita rasa sastra sehingga terjemahannya tidak kaku dan kering, tapi meliuk-liuk luwes. Sayang kertas dan font-nya kurang elegan, cenderung seperti dibuat sekenanya untuk buku sebagus ini.

                

No comments:

Post a Comment