Judul : Bilangan Fu
Pengarang : Ayu Utami
Sampul : Ayu Utami
Tata Sampul : Rully Susanto
Cetakan : 1, 2008, 536 hlm
Penerbit : KPG
Ayu Utami
yang dikatakan pernah membangunkan sastra Indonesia dengan novel Saman-nya, telah kembali menulis novel
pertama dari trilogi Bilangan Fu, dengan judul Bilangan Fu itu sendiri. Novel ini mengangkat tema spiritual
kritis, yakni mengkritik monoteisme yang dirasa telah berbuat tidak adil kepada
animinsme/dinamisme, agama Barat yang terlalu angkuh dan meremehkan agama-agama
Timur, serta agama langit yang kurang membumi.
Melalui tokoh Parang jati yang niscaya tak akan pernah bisa dilupakan pembacanya, Ayu Utami hendak melakukan “laku kritik” yakni kritik bukan semata membenci, tapi kritik karena mencintai dan ingin sama-sama membangun dunia yang lebih baik. Sepertinya tema yang berat, memang. Ayu Utami sendiri bilang kalau novel-novelnya mungkin tidak bisa dinikmati semua orang, tapi ia selalu memaksakan supaya ada cerita dalam novelnya, sehingga serumit apapun karyanya, novel itu tetap bercerita. “Paling tidak, orang yang nggak ngerti tetap bisa menikmati ceritanya.” Dan, memang, kisah persahabatan (cinta?) segitiga antara Parang Jati, Yudha, dan Marja inimemang asyik untuk dinikmati.
Melalui tokoh Parang jati yang niscaya tak akan pernah bisa dilupakan pembacanya, Ayu Utami hendak melakukan “laku kritik” yakni kritik bukan semata membenci, tapi kritik karena mencintai dan ingin sama-sama membangun dunia yang lebih baik. Sepertinya tema yang berat, memang. Ayu Utami sendiri bilang kalau novel-novelnya mungkin tidak bisa dinikmati semua orang, tapi ia selalu memaksakan supaya ada cerita dalam novelnya, sehingga serumit apapun karyanya, novel itu tetap bercerita. “Paling tidak, orang yang nggak ngerti tetap bisa menikmati ceritanya.” Dan, memang, kisah persahabatan (cinta?) segitiga antara Parang Jati, Yudha, dan Marja inimemang asyik untuk dinikmati.
Bilangan Fu mengambil setting era reformasi,
masa-masa menjelang kejatuhan Orde Baru, detik-detik Reformasi, hingga
lenggsernya Gusdur diganti Megawati. Lokasi yang ia ambil adalah sebuah wilayah
bukit-bukit karst nan bersahaja di kawasan selatan pulau Jawa, yakni
Sewugunung, karena itulah di novel ini banyak sekali bertebaran konsep dan
nilai budaya Jawa, mulai dari aneka mitos hingga sejarah kerajaan-kerajaan kuno
di tanah Jawa.
Begitu saratnya buku ini, Ayu Utami tidak hanya menjejalinya dengan aneka pengetahuan umum yang jarang kita ketahui, mulai dari manusia hobbit, ikan pelus penunggu sendang keramat yang ternyata adalah binatang yang memunculkan air di tuk-tuk (sumber air) di wilayah perbukitan kapur, konsep mengenai bilangan nol, hingga sejarah sadis ninja bertopeng di Banyuwangi tahun 1999 – 2000. Beragam fakta dan data ia sodorkan, membacanya saja membuat saya merasa tidak tahu apa-apa dan hanya bisa geleng-geleng kepala. Penulis ini pasti telah melakukan banyak riset dan diskusi serta laku kritik, sebagaimana Parang Jati.
Begitu saratnya buku ini, Ayu Utami tidak hanya menjejalinya dengan aneka pengetahuan umum yang jarang kita ketahui, mulai dari manusia hobbit, ikan pelus penunggu sendang keramat yang ternyata adalah binatang yang memunculkan air di tuk-tuk (sumber air) di wilayah perbukitan kapur, konsep mengenai bilangan nol, hingga sejarah sadis ninja bertopeng di Banyuwangi tahun 1999 – 2000. Beragam fakta dan data ia sodorkan, membacanya saja membuat saya merasa tidak tahu apa-apa dan hanya bisa geleng-geleng kepala. Penulis ini pasti telah melakukan banyak riset dan diskusi serta laku kritik, sebagaimana Parang Jati.
Tentang
alur cerita, Bilangan Fu adalah
tentang persahabatan dua anak muda pemanjat tebing bernama Parang Jati dan
Yudha, dua sahabat dengan sifat bertolak belakang yang dipersatukan oleh
kegemaran yang sama. Demi kelestarian alam, keduanya bahkan tidak mau merusak
bukit-bukit kapur nan berharga di Sewugunung, mereka melakukan sacred climb atau pemanjatan sepi, yakni
tanpa menggunakan bor atau palu atau alat-alat lain yang “melukai” bukit-bukit
tua itu.
Bersama Marja, pacar Yudha, ketiganya kemudian berpetualangan dalam ranah pemikiran, mencari apa sebenarnya bilang Fu atau Hu itu, mengungkap mitos yang melingkup Sewugunung, serta beragam kearifan lokal yang sejatinya menyelamatkan. Parang Jari mengkritik para penganut monoteisme yang bersikap terlalu hitam-putih saat berhadapan dengan aliran-aliran kepercayaan lokal. Bagi orang-orang berjubah besar itu, yang memandang bahwa menyembah pohon besar atau laut selatan sama saja dengan menyembah berhala, tidak ada jalan lain kecuali menumpasnya.
Bersama Marja, pacar Yudha, ketiganya kemudian berpetualangan dalam ranah pemikiran, mencari apa sebenarnya bilang Fu atau Hu itu, mengungkap mitos yang melingkup Sewugunung, serta beragam kearifan lokal yang sejatinya menyelamatkan. Parang Jari mengkritik para penganut monoteisme yang bersikap terlalu hitam-putih saat berhadapan dengan aliran-aliran kepercayaan lokal. Bagi orang-orang berjubah besar itu, yang memandang bahwa menyembah pohon besar atau laut selatan sama saja dengan menyembah berhala, tidak ada jalan lain kecuali menumpasnya.
Parang jati menjelaskan, menghormati
pohon keramat bukan berarti menyembahnya—keduanya dekat tapi tidak sama. Ia
juga menyadarkan pembaca bahwa siapa nyana larangan-larangan takhayul yang
pernah lestari di pedesaan, seperti sajen terhadap pohon besar atau
mengeramatkan ikan-ikan di sendang keramat memiliki tujuan pelestarian alam?
Berkat sajen-sajen itu, hutan-hutan lestari. Orang jadi tak seenaknya sendiri
merusak dan mengunduli hutan karena takut kena tulah. Orang juga jadi takut
mengotori sendang, sehingga binatang-binatang eksotis di situ bisa dilindungi
dari kepunahan. Pernahkah kita berpikir sampai sejauh itu. Lewat kisah ini,
Parang Jati (atau penulisnya?) seperti hendak mengkritik para penganut
monoteisme modern yang terlalu hitam-putih dalam memandang persoalan sehingga
mengabaikan kebijaksaan nenek moyang yang sudah ratusan tahun berjalan.
Melalui sosok Parang Jati,
pembaca juga diajak melihat ada apa sebenarnya yang terjadi di militer dan
negara ini pasca Reformasi. tema ini memang agak berat, agak berdarah-darah
juga, karena memang Bilangan Fu bukan
novel yang bisa dibaca dengan santai. Novel ini benar-benar mengajak pembacanya
untuk berpikir, merenung, dan melihat dari sudut pandang lain. Lebih lagi, Ayu
Utami banyak menggunakan kata-kata berbau Jawa yang mungkin kurang terasa akrab
bagi pembaca-pembaca umum, belum lagi pilihan istilah yang terlampau bervariasi
sehingga ada pembaca di Goodreads yang sampai harus ditemani kamus saat membaca
Bilangan Fu.
Tapi, terlepas dari beratnya tema yang dibahas, Bilangan Fu memiliki alur yang menyenangkan. Setting dan penokohannya dibangun dengan sangat kuat dan isu-isu lingkungan yang diangkat akan menyadarkan kita untuk mulai lebih peduli. Lalu, apakah Bilangan Fu itu sebenarnya? Saya juga nggak tau, sampai rampung membaca buku ini, otak sedemikian penuh dengan informasi sehingga pertanyaan itu sendiri menghilang karena pembaca seperti mengerti, hanya saja tidak bisa menjelaskan itu apa. Ah, novel ini.
Tapi, terlepas dari beratnya tema yang dibahas, Bilangan Fu memiliki alur yang menyenangkan. Setting dan penokohannya dibangun dengan sangat kuat dan isu-isu lingkungan yang diangkat akan menyadarkan kita untuk mulai lebih peduli. Lalu, apakah Bilangan Fu itu sebenarnya? Saya juga nggak tau, sampai rampung membaca buku ini, otak sedemikian penuh dengan informasi sehingga pertanyaan itu sendiri menghilang karena pembaca seperti mengerti, hanya saja tidak bisa menjelaskan itu apa. Ah, novel ini.
aaaaaaaak. pingin baca jugaak. >_<
ReplyDeleteaku belum baca nih bilangan fu. aku suka saman, tapi karna banyak yg bilang kalau bilangan fu berat banget, jadi belum semangat bacanya ;p kayaknya butuh kesabaran dan ketahanan luar biasa nih!
ReplyDeletekirain sastra asia ini selain sastra indonesia.. ternyata masuk juga ya??
ReplyDeleteaku baca bilangan fu sejak pertama terbit. suka bangett..
Dua buku sebelum Bilangan Fu masih sanggup aku baca. Dan gara-gara itu sampai bela2in beli buku Bilangan Fu yg ada tanda tangan Ayu Utami-nya. Tapi habis baca malah bingung. Terlalu melebar ke mana-mana menurutku.
ReplyDeleteini buku seksiy ya kang? ngeliat tebelnya agak keder, hehehe, apalagi ayu utami yang pernah aku baca termasuk satra kelas berat, hehehe
ReplyDeleteWah, aku seneng ada review lengkap bin menyeluruh ttg Bilangan Fu ini. Uda lama penasaran tapi masih agak ragu karena ga ngerti ini premis ceirtanya gimana atau ttg apa. Nice review mas!
ReplyDeleteAku udah baca buku ini. Keren mas, walau agak beratyah. Mau baca bukuketiganya "Lalita", tapi buku keduanya belum nemu :(
ReplyDeleteSeumur hidup belum pernah baca bukunya Ayu Utami karena belum ngerasa cukup dewasa. Hahaha.. Review Kak Dion bagus banget! Ntar aku baca bukunya ah.. Kalau masih belum ngerasa dewasa, aku pegang KTP deh selama baca. Hihihi
ReplyDeletemau nyoba Saman dulu baru deh kalo merasa klob cari pinjaman buku Ayu Utami yang lain, btw perasaan dulu ak minta dibawain Saman deh bang pas kopdar kemaren tapi KOK G ADA????
ReplyDeletebelum pernah sekalipun baca karya Ayu Utami... hmmm :(
ReplyDeletePanjang bener resensinyaaaa... lengkap dah!
ReplyDeleteAq gak berhasil baca Saman yg menang Sayembara DKJ, apalagi baca yg non-Saman yak??
wkwkw