Search This Blog

Thursday, February 21, 2013

Ginko, Kisah Perjuangan Dokter Perempuan Pertama di Jepang


Judul     : Ginko
Penulis : Juni’ichi Watanabi
Penerjemah       : Istiani Prajoko
Penyunting        : Dian Pranasari
Tebal                     : 463 halaman
Cetakan               : 1, November 2012
Penerbit              : Serambi Cerita Utama

 

                Aku akan menjadi dokter! Lihat saja nanti! (hlm 66)
                Impian untuk menjadi dokter mungkin bukan sesuatu yang luar biasa saat ini, meskipun tetap saja bukan hal yang mudah untuk bisa mencapainya. Kepandaian, ketekunan, rasa welas asih dan kemanusiaan, serta dompet yang tebal dibutuhkan sebelum seorang calon dokter bisa membuka praktiknya. Setiap orang, pria dan wanita memiliki kesempatan yang sama. Kasusnya berbeda dengan di Jepang pada peralihan antara abad 18 dan 19. Kala itu, menjadi dokter adalah sesuatu yang sangat sulit karena sedikitnya jumlah sekolah kedokteran, banyaknya buku asing yang harus dibaca, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Bahkan untuk perempuan, menjadi seorang dokter adalah sesuatu yang hampir-hampir mustahil kala itu.

                Gin adalah seorang gadis bungsu dari keluarga Ogino yang kaya di Tawarase. Sejak usia 16 tahun, ia dijodohkan dengan putra seorang keluarga kaya dari daerah tetangga. Ironisnya, suaminya itu menularkan penyakit gonorrhea atau kencing nanah kepada Gin. Di usia yang masih ranum-ranumnya, Gin terpaksa menderita penyakit memalukan yang saat itu termasuk paling sulit untuk disembuhkan. Karena merasa diperlakukan tidak adil—dan itu memang masa-masa ketika kedudukan perempuan dianggap jauh di bawah pria—Gin memutuskan untuk pulang dan meminta cerai. Jepang pada era setelah Restorasi Meiji masih merupakan masyarakat feodal yang menjunjung tinggi nilai-nilai samurai dan budaya. Terutama di desa kecil seperti Tawarase, di mana orang-orang tidak punya kegiatan lain selain menggosip, keputusan Gin ini langsung menjadi bahan pembicaraan.

                Kala itu, tidak pantas bagi seorang perempuan muda mengajukan cerai kepada suaminya. Tapi Gin adalah wanita yang keras hati dan tidak mau pasrah oleh tradisi yang kurang mendukung posisi perempuan kala itu. Masa mudanya telah direnggut paksa oleh penyakit yang ditularkan oleh suaminya, sementara mertuanya seolah tidak ambil peduli. Ia lalu bangkit dan memutuskan untuk melawan tradisi. Setelah cerai, Gin dibawa ke Edo/Tokyo untuk menjalani pengobatan penyakitnya. Pengobatannya memakan waktu satu tahun dan sangat menyakitkan, menyakitkan secara fisik maupun mental. Namun, yang paling menyakitkan hatinya adalah pengalaman ketika organ pribadinya dijamah-jamah oleh sekumpulan dokter lelaki. Walau tujuannya untuk mengobati penyakit, tetap saja ia merasa martabatnya telah dijatuhkan dalam pemeriksaan itu. Sejak itu ia bertekad untuk menjadi dokter perempuan.

                Untuk kali kedua, Gin kembali melawan tradisi. Di Jepang pada masa-masa itu, adalah sesuatu yang sangat mustahil bagi seorang perempuan untuk menjadi dokter. Pandangan masyarakat tradisonal yang hanya membatasi aktivitas perempuan di kasur, dapur, dan sumur benar-benar tidak bisa menerima adanya seorang perempuan yang cerdas dan mampu membuka praktik sendiri. Dalam hal ini, niat Gin bahkan ditentang habis-habisan oleh sang ibu yang sebelumnya membelanya dalam perceraian dengan mantan suaminya. Tetapi Gin tidak peduli, ia telah memutuskan dan mantap dengan tekadnya itu. Kepergiannya meninggalkan rumah untuk belajar ilmu kedokteran di Tokyo lebih seperti pengusiran.

                Selama menjalani sekolah dan kuliah, cobaan dan ujian juga tiada henti menerpa gadis muda ini. Pelecehan dan cibiran miring dari sesama mahasiswa (bahkan dari sekolah) sudah sering ia dapatkan. Untuk semakin memantapkan tekadnya, ia mengubah namanya menjadi Ginko sebagai simbol dari perlawanan terhadap tradisi yang merendahkan perempuan.Bahkan, ia adalah satu-satunya mahasiswa kedokteran yang berjenis kelamin perempuan di antara puluhan mahasiswa pria yang kasar. Di tempat inilah, kesungguhannya benar-benar ditempa. Keputusannya untuk menjadi dokter perempuan pertama di Jepang akan dibuktikan di universitas ini. Bahkan setelah lulus dari universitas, Ginko masih harus menghadapi kesulitan dalam mengikuti ujian sebelum bisa membuka praktik sendiri. Hampir tiga tahun ia menunggu, dengan diselingi kerja keras dan banting tulang demi menghidupi dirinya sendiri.

                Namun, seluruh pengorbanan, rasa sakit, dan kesulitan itu akhirnya terbayar. Tepat pada Maret 1885, saat itu sedang musim semi, Ginko dinobatkan sebagai dokter perempuan pertama di Jepang saat ia menginjak usia 34 tahun. Selanjutnya, pada bulan Mei tahun yang sama, ia mulai membuka Klinik Obstetri dan Ginekologi Ogino di Tokyo, dan segera mendapat banyak pasien. Namanya tiba-tiba melambung. Semua yang mencibir akhirnya malah mengelu-elukannya. Dari yang semula buangan, ia kini menjadi kebanggaan keluarga. Sayangnya, ketenaran dan idealisme Ginko luntur sejak ia bertemu dengan Shikata—seorang mahasiswa yang usianya terpaut 13 tahun lebih muda darinya. Untuk yang ketiga kalinya, Ginko melanggar tradisi dengan menikahi Shikata. Dan, sepertinya hal ini sudah sangat keterlaluan karena kebahagiaan mereka ternyata memunculkan benih-benih yang memadamkan idealisme Ginko.

                Membaca Ginko ibarat menjelajahi Jepang di masa-masa Restorasi Meiji ketika westernisasi mulai merambah Jepang. Dengan detail yang luar biasa, penulis ini mampu mendeskripsikan kisah kehidupan Ginko, dokter perempuan pertama di Jepang, dengan begitu apik dan emosional. Pembaca akan diajak merasakan emosi Ginko, melihat dunia dari sudut pandang seorang gadis yang terkungkung oleh tradisi pada masa itu. Detail tentang budaya Jepang juga sangat kental sehingga secara tidak langsung kita bisa belajar tentang Jepang yang sebenar-benarnya—terutama dari sistem sosial kemasyarakatannya.

Melalui Ginko, pembaca akan belajar tentang pentingnya ketekunan, kemantapan hati, dan sikap pantang menyerah dalam meraih cita-cita. Tapi, ada kalanya idealisme harus “dibengkokkan” sedikit jika kita ingin sukses secara utuh. Bagaimanapun juga, manusia hidup di antara manusia-manusia lainnya. Penerimaan pada fakta bahwa hidup tidaklah sempurna akan menjadi penutup yang utuh dari sebuah kesuksesan yang ditempuh lewat perjalanan panjang yang keras dan melelahkan. Tetapi, selalu pegang di dalam hati bahwa setiap kerja keras dan tekad yang kuat adalah harga yang harus dibayar untuk kesuksesan.
Resensi ini disertakan dalam event What a Name Reading Challenge.

2 comments: