Judul : Ginko
Penulis : Juni’ichi Watanabi
Penerjemah : Istiani Prajoko
Penyunting : Dian Pranasari
Tebal : 463 halaman
Cetakan : 1, November 2012
Penerbit : Serambi Cerita Utama
Aku akan menjadi dokter! Lihat saja nanti! (hlm
66)
Impian
untuk menjadi dokter mungkin bukan sesuatu yang luar biasa saat ini, meskipun
tetap saja bukan hal yang mudah untuk bisa mencapainya. Kepandaian, ketekunan,
rasa welas asih dan kemanusiaan, serta dompet yang tebal dibutuhkan sebelum
seorang calon dokter bisa membuka praktiknya. Setiap orang, pria dan wanita memiliki kesempatan yang sama. Kasusnya berbeda dengan
di Jepang pada peralihan antara abad 18 dan 19. Kala itu, menjadi dokter adalah
sesuatu yang sangat sulit karena sedikitnya jumlah sekolah kedokteran,
banyaknya buku asing yang harus dibaca, dan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan. Bahkan untuk perempuan, menjadi seorang dokter adalah sesuatu yang
hampir-hampir mustahil kala itu.
Gin
adalah seorang gadis bungsu dari keluarga Ogino yang kaya di Tawarase. Sejak
usia 16 tahun, ia dijodohkan dengan putra seorang keluarga kaya dari daerah
tetangga. Ironisnya, suaminya itu menularkan penyakit gonorrhea atau kencing nanah kepada Gin. Di usia yang masih
ranum-ranumnya, Gin terpaksa menderita penyakit memalukan yang saat itu
termasuk paling sulit untuk disembuhkan. Karena merasa diperlakukan tidak
adil—dan itu memang masa-masa ketika kedudukan perempuan dianggap jauh di bawah
pria—Gin memutuskan untuk pulang dan meminta cerai. Jepang pada era setelah
Restorasi Meiji masih merupakan masyarakat feodal yang menjunjung tinggi
nilai-nilai samurai dan budaya. Terutama di desa kecil seperti Tawarase, di
mana orang-orang tidak punya kegiatan lain selain menggosip, keputusan Gin ini
langsung menjadi bahan pembicaraan.
Kala
itu, tidak pantas bagi seorang perempuan muda mengajukan cerai kepada suaminya.
Tapi Gin adalah wanita yang keras hati dan tidak mau pasrah oleh tradisi yang
kurang mendukung posisi perempuan kala itu. Masa mudanya telah direnggut paksa
oleh penyakit yang ditularkan oleh suaminya, sementara mertuanya seolah tidak
ambil peduli. Ia lalu bangkit dan memutuskan untuk melawan tradisi. Setelah cerai,
Gin dibawa ke Edo/Tokyo untuk menjalani pengobatan penyakitnya. Pengobatannya
memakan waktu satu tahun dan sangat menyakitkan, menyakitkan secara fisik maupun
mental. Namun, yang paling menyakitkan hatinya adalah pengalaman ketika organ
pribadinya dijamah-jamah oleh sekumpulan dokter lelaki. Walau tujuannya untuk
mengobati penyakit, tetap saja ia merasa martabatnya telah dijatuhkan dalam pemeriksaan itu. Sejak
itu ia bertekad untuk menjadi dokter perempuan.
Untuk
kali kedua, Gin kembali melawan tradisi. Di Jepang pada masa-masa itu, adalah
sesuatu yang sangat mustahil bagi seorang perempuan untuk menjadi dokter.
Pandangan masyarakat tradisonal yang hanya membatasi aktivitas perempuan di
kasur, dapur, dan sumur benar-benar tidak bisa menerima adanya seorang
perempuan yang cerdas dan mampu membuka praktik sendiri. Dalam hal ini, niat
Gin bahkan ditentang habis-habisan oleh sang ibu yang sebelumnya membelanya
dalam perceraian dengan mantan suaminya. Tetapi Gin tidak peduli, ia telah
memutuskan dan mantap dengan tekadnya itu. Kepergiannya meninggalkan rumah
untuk belajar ilmu kedokteran di Tokyo lebih seperti pengusiran.
Selama
menjalani sekolah dan kuliah, cobaan dan ujian juga tiada henti menerpa gadis
muda ini. Pelecehan dan cibiran miring dari sesama mahasiswa (bahkan dari
sekolah) sudah sering ia dapatkan. Untuk semakin memantapkan tekadnya, ia
mengubah namanya menjadi Ginko sebagai simbol dari perlawanan terhadap tradisi
yang merendahkan perempuan.Bahkan, ia adalah satu-satunya mahasiswa kedokteran
yang berjenis kelamin perempuan di antara puluhan mahasiswa pria yang kasar. Di
tempat inilah, kesungguhannya benar-benar ditempa. Keputusannya untuk menjadi
dokter perempuan pertama di Jepang akan dibuktikan di universitas ini. Bahkan
setelah lulus dari universitas, Ginko masih harus menghadapi kesulitan dalam
mengikuti ujian sebelum bisa membuka praktik sendiri. Hampir tiga tahun ia
menunggu, dengan diselingi kerja keras dan banting tulang demi menghidupi
dirinya sendiri.
Namun,
seluruh pengorbanan, rasa sakit, dan kesulitan itu akhirnya terbayar. Tepat
pada Maret 1885, saat itu sedang musim semi, Ginko dinobatkan sebagai dokter
perempuan pertama di Jepang saat ia menginjak usia 34 tahun. Selanjutnya, pada
bulan Mei tahun yang sama, ia mulai membuka Klinik Obstetri dan Ginekologi
Ogino di Tokyo, dan segera mendapat banyak pasien. Namanya tiba-tiba melambung.
Semua yang mencibir akhirnya malah mengelu-elukannya. Dari yang semula buangan,
ia kini menjadi kebanggaan keluarga. Sayangnya, ketenaran dan idealisme Ginko
luntur sejak ia bertemu dengan Shikata—seorang mahasiswa yang usianya terpaut
13 tahun lebih muda darinya. Untuk yang ketiga kalinya, Ginko melanggar tradisi
dengan menikahi Shikata. Dan, sepertinya hal ini sudah sangat keterlaluan
karena kebahagiaan mereka ternyata memunculkan benih-benih yang memadamkan
idealisme Ginko.
Membaca
Ginko ibarat menjelajahi Jepang di
masa-masa Restorasi Meiji ketika westernisasi mulai merambah Jepang. Dengan
detail yang luar biasa, penulis ini mampu mendeskripsikan kisah kehidupan
Ginko, dokter perempuan pertama di Jepang, dengan begitu apik dan emosional.
Pembaca akan diajak merasakan emosi Ginko, melihat dunia dari sudut pandang
seorang gadis yang terkungkung oleh tradisi pada masa itu. Detail tentang
budaya Jepang juga sangat kental sehingga secara tidak langsung kita bisa
belajar tentang Jepang yang sebenar-benarnya—terutama dari sistem sosial
kemasyarakatannya.
Melalui Ginko, pembaca akan belajar tentang pentingnya ketekunan,
kemantapan hati, dan sikap pantang menyerah dalam meraih cita-cita. Tapi, ada
kalanya idealisme harus “dibengkokkan” sedikit jika kita ingin sukses secara
utuh. Bagaimanapun juga, manusia hidup di antara manusia-manusia lainnya.
Penerimaan pada fakta bahwa hidup tidaklah sempurna akan menjadi penutup yang
utuh dari sebuah kesuksesan yang ditempuh lewat perjalanan panjang yang keras
dan melelahkan. Tetapi, selalu pegang di dalam hati bahwa setiap kerja keras
dan tekad yang kuat adalah harga yang harus dibayar untuk kesuksesan.
Resensi ini disertakan dalam event What a Name Reading Challenge.
menarik resensi bukunya,,
ReplyDeletefollow balik ya mas
Bahasanya berat, ya? ><
ReplyDeleteKelihatannya menarik.