Search This Blog

Friday, January 25, 2013

City of Fallen Angels



Judul     : City of Fallen Angels
Pengarang          : Cassandra Clare
Cetakan               : First edition, 2011
Ilustrasi cover   : Cliff Nielsen
Halaman              : 424 hlm
Penerbit              : WALKER BOOKS




                Love is the most powerful force on earth. More powerful than anything else.” (hlm 372)

                Sekilas tentang seri The Mortal Instrument karya Cassandra Clare, buku ini berkisah tentang keberadaan Penghuni Dunia Bawah yang tersembunyi dari pandangan manusia biasa (mundane). Mereka adalah kaum vampire (Anak-anak Malam), warlock (Anak-Anak Lilith), manusia serigala, dan faeries. Maisng-masing golongan tidak boleh mengganggu satu sama lain dan dilarang keras untuk mengganggu atau menyakiti manusia biasa berdasarkan semacam kontrak bersama yang telah mereka tanda tangani ratusan tahun yang lalu. Untuk menjaga agar masing-masing pihak tidak melanggar perjanjian, maka golongan shadowhunters (pemburu bayangan) yang dikatakan merupakan anak-anak malaikat. Para pemburu bayangan ini bertindak sebagai polisi atau semacam pasukan penjaga agar baik manusia biasa maupun penghuni dunia bawah tidak saling mengganggu dan menyakiti.

                Dalam buku ketiganya City of Glass (yang menurut saya menrupakan puncak dari seri ini), kota Idris yang merupakan kota sucinya para pemburu bayangan diserang dan hampir dilumpuhkan oleh serangan demon atau makhluk-mahkluk jahat dari dunia kegelapan yang dibawa oleh Valentine. Keempat faksi akhirnya dipertemukan kembali: faery, vampire, manusia serigala, dan warlock bahu membahu bersama para pemburu bayangan untuk melawan serangan tersebut. Di akhir buku, ketiga instrumen mortal berhasil diamankan dan Valentine pun dikalahkan.

                Setelah kejatuhan Valentine dan serangan terhadap Idris, Institute di New York seolah menjadi semakin muram. Atmosfer berat ini ditambah dengan kenangan buruk akan kematian Max, anggota termuda dari keluarga Lightwood, di tangan  Sebastian (saudara sekandung Clary yang ternyata adalah abdi kejahatan). Jace yang berhasil dibangkitkan kembali dari kematian oleh Malaikat Rhaziel terus mendapat mimpi buruk terkait hubungan asmaranya dengan Clary. Sementara, Simon masih bingung menentukan kemana ia hendak melabuhkan hatinya, apakah ia mencintai Maia ataukan Isabelle—atau kedua-duanya. Saat-saat labil ini semakin diperparah dengan adanya sekelompok orang misterius yang seolah hendak menangkap atau melukai Simon. Simon, yang adalah seorang Daylighter (vampire yang bisa berjalan-jalan di bawah sinar matahari tanpa terbakar menjadi abu) tentu saja menjadi incaran banyak Penghuni Dunia Bawah yang hendak menjadikannya sekutu. Masalahnya, Simon bukanlah vampire biasa. Tanda Cain (The Mark of Cain) yang diterakan oleh Clary di dahi Simon membuatnya hampir-hampir tak dapat dilukai. Semua yang hendak melukai, memukul, membakar, atau membunuh Simon, maka serangan itu akan berbalik dan mengenai pemiliknya. Walau hampir tak terkalahkan, Simon adalah vampire baru yang masih galau sehingga ia mudah diombang-amingkan oleh pengaruh luar. Ia tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar.

                Sementara, Clary dan Jace juga memiliki masalahnya sendiri. Mimpi buruk Jace terus menerus menghantuinya sehingga perlahan ia mulai menjauh dari Clary. Ia tahu bahwa itu yang terbaik, tetapi Clary tentu saja tidak akan membiarkan Jace mengabaikannya. Ia terus mendesak Jace hingga akhirnya Jace mengakui mimpi buruknya dan keduanya memutuskan untuk meminta bantuan para Saudara Hening. Dalam meditasinya, Jace berupaya mengeyahkan mimpi-mimpi buruk tersebut. Ada kekuatan jahat yang selama ini terus-menerus mengintai jiwa dan pikirannya, membuatnya membayangkan hal yang tidak-tidak tentang Clary yang amat dicintainya.
               
                “…if there was anything in the world as painful as not being able to protect the people you loved.” (hlm 308)

                Dalam kegalauannya, baik Simon maupun Jace dipertemukan dengan pemuda Kyle—yang ternyata menyimpan rahasianya sendiri. Sebuah rahasia yang jauh lebih dekat daripada yang mereka bayangkan sebelumnya. Pada akhirnya, semua karakter tersebut dipertemukan dan saling dikaitkan oleh benang merah yang sama. Mereka semua akan bahu-membahu melawan Iblis Tingkat Tinggi, Lilith yang dikatakan lebih tua daripada zaman. Dan, cinta antara Jace dan Clary pada akhirnya harus melalui satu lagi tantangan berat dalam hubungan mereka.
                Model cerita dalam seri City of Fallen Angels hampir mirip dengan genre-genre novel young adults yang selama ini membanjiri pasaran. Keberadaan vampire dan manusia serigala tampan seolah hendak mengikuti demam Twilight dan Vampire Diaries yang telah booming lebih awal. Ceritanya khas romance dan sebenarnya bukan jenis buku yang sangat saya sukai. Hampir 75% isi buku ini adalah tentang cinta dan romansa anak muda.

                Hal yang membuat saya betah membaca seri ini tidak lain adalah kepiawaian penulis dalam merangkai kata. Membaca versi asli dari City of Fallen Angels benar-benar mampu menyeret pembaca dalam keindahan orisinalitas yang ditorehkan penulis dalam karya ini. Diksi (pilihan kata) yang digunakan benar-benar deskriptif, ditambah dengan karakter-karakter di dalamnya yang dikisahkan dengan begitu mendalam. Membaca seri buku ini, kita akan menjumpai sosok jace, Isabele, Alec, Clary dan tokoh-tokoh lain yang dikisahkan dengan begitu kuatnya. Diksi dan pilihan kata para tokohnya begitu (apa ya istilahnya) “cerdas”. Mulai dari komentar Jace yang sarkartis, percakapan dalam diri Clary yang reflektif, hingga kalimat-kalimat romantis yang bertebaran di sana sini. Semuanya enak dibaca. Bukan indah seperti karya sastra fiksi klasik, tapi indah dengan caranya sendiri. Keindahan yang “orisinal” mungkin lebih tepat untuk menggambarkan kelebihan buku ini. 

Penulis juga sangat jeli perihal detail. Susuanan kalimat yang ia gunakan begitu deskriptif, indah, sekaligus mampu mengalir dengan lancar. Banyak kata-kata dan kalimat indah yang berterbaran dalam buku ini, yang pasti lebih terasa efeknya saat kita membacanya dalam bahasa asli. Dengan kata lain, tulisan dan kalimat yang digunakan penulis begitu “kaya”.

Nilai plus lainnya adalah kelihaian penulis dalam menuliskan apa-apa yang sering terlintas dalam pikiran kita dan kemudian mengaplikasikan pada tokoh atau karakter ciptaannya. Itulah menga[a tokoh dan setting dalam buku ini terasa begitu vivid, jelas, dan seolah-olah memang nyata. Dan, begitulah tulisan yang baik, yang bisa membuat pembaca berimajinasi secara utuh selama proses membaca sebuah novel. Orisinalitas dan penggarapan yang baik, keduanya merupakan kunci dari keunggulan novel ini.

                My will and my desire were turned by love, the love that moves the sun and the other stars. (Dante’s Paradiso).

Resensi ini dibuat untuk mengikuti reading challenge Book in English 2013. 

5 comments: